Minggu, 09 Oktober 2011

Cerpen " Surabaya" Karya Idrus


 Unsur Intelektual, Imajinasi, dan Emosi
"Surabaya"
Karya : Hartana Adhi Permana





Unsur Intelektual:

1.         “Teriakan-teriakan membelah udara, tapi pemimpin-pemimpin Indonesia membelah dua jantung rakyat. Mereka ini dengan sekuat tenaga memberikan penerangan kepada rakyat, sekutu tidak akan berlaku seperti di Jakarta. Sekutu hanya akan mengambil tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung rakyat yang sebelah percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi tetap mencurigai sekutu.”

Pengarang mengetahui betul tentang keadaan dan kondisi rakyat pada masa ini, dimana rakyat di Surabaya tidak ingin disamakan dengan rakyat Jakarta yang telah lebih dahulu ditindas oleh kejamnya penjajah. Rakyat menginginkan kebebasan dan perlindungan dari para pemerintah serta menginginkan kedamaian diantara kedua belah pihak. Namun disamping rasa kepercayaan yang diberikan rakyat pada pemimpinnya, mereka masih mengkhawatirkan sekutu yang masih akan bertubi-tubi menghancurkan bangsa.

2.         “Satu hari satu malam pertempuran itu. Sudah itu terbang dari Jakarta kepala cowboy dan kepala bandit. Mereka berapat dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Hasilnya sehelai kertas berisi huruf-huruf Inggris dan Indonesia. Dan di bawah huruf-huruf itu tanda-tanda tangan, Sukarno, Hawthorn. Bandit-bandit menyerah dan hanya dibolehkan tinggal dekat pelabuhan.”

Gaya penulisan sang pengarang (Idrus) dengan tidak menyebut pasti siapa si bandit dan cowboy cukup membuat otak berpikir siapa yang dimaksudkan. Sang pengarang tahu benar tentang kejadian waktu itu yaitu kepala cowboy dan kepala bandit berapat dengan pemimpin-pemimpin lainnya dengan hasil bahwa bandit-bandit menyerah dan hanya dibolehkan tinggal dekat pelabuhan.

3.         “Melihat senyum itu, pemuda-pemuda bertambah marah dan keras-keras katanya, “Hendak dibujuknya kita dengan senyum manisnya! Ya, begitu caranya selalu, selalu begitu. Hm, selendang merah, baju putih dan selop biru, he. Dikiranya kita tidak tahu cara-caranya.””

Dalam kutipan ini pengarang secara tersirat menyebutkan alasan mengapa rakyat selalu menaruh curiga kepada siapapun orang, termasuk disini seorang wanita yang memakai selendang merah, baju putih dan sepatu biru dimana sangat mencirikan bendera negara Belanda yang telah menjajah negara ini.
                                                                                            
4.         “Sudah itu rapat memutuskan menerima usul ketua rapat untuk mati semuanya di Surabaya, karena di tempat aman banyak lagi yang akan lahir. Mereka akan bertahan sampai titik darah yang penghabisan.”
Kutipan ini cukup menggugah perasaan karena keyakinan para pejuang atas generasi selanjutnya. Mereka rela untuk mati semuanya di Surabaya, karena di tempat aman banyak lagi yang akan lahir.

Unsur Imajinasi:

1.         “Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitralyur, mortir.”

Imajinasi pengarang yang hebat dalam menamakan senjata sebagai Tuhan dituangkan pengarang dalam cerpen ini agar nuansa peperangan dapat lebih hidup. Maksud pengarang mungkin pada masa itu senjata-senjata memang mempunyai andil besar dalam peperangan. Para pejuang bagai mengagungkan senjatanya secara berlebih hingga terkadang melupakan Tuhan yang sebenarnya.

2.         “Dimana-mana tampak kegelisahan, pada orang-orang, pada mobil-mobil yang menderu-deru di tengah jalan, pada mesin-mesin cetak dan pada anjing-anjing. Anjing-anjing ini menyalak sampai parau, akhirnya suaranya hilang sama sekali dan perutnya kempes seperti ban sepeda bocor, mereka kelupaan diberi makan.”

Penulis mengisahkan suatu keadaan dimana seluruh makhluk hidup merasakan kesulitan hidup pada masa itu digambarkan cukup dramatis dalam kutipan ini. Anjing-anjing sebagai peliharaan mereka pun sampai tersiksa karena kelaparan dalam keadaan mengkhawatirkan ini ditambah kegelisahan dan ketakutan rakyat akan ancaman dalam hidupnya.

3.         “Tank-tank ini turun dari kapal seperti malaikalmaut turun dari langit, diam-diam dan dirahasiakan oleh orang yang menurunkannya. Asap Vesuvius bertambah tebal dan bergumpal-gumpal. Hujan surat selebaran turun dari langit, orang-orang Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada sekutu! Persis seperti perintah Tuhan dalam mimpi-mimpi orang Roma, Hai, orang-orang Roma, kamu harus menyerahkan dirimu kepadaKu, kalau tidak Gunung Vesuvius akan Kuletuskan. Malaikalmaut akan Kuturunkan memusnahkan kamu! – dan persis pula seperti orang-orang Roma, orang-orang Indonesia menolak perintah itu dan tidak mengindahkannya. Malaikalmaut berjalan di atas dunia, menderu-deru dengan giginya yang besar-besar.”

Penggunaan kata ganti dari sebuah ‘tank’ menjadi ‘malaikalmaut’ merupakan imajinasi yang cukup kontras dalam penggunaan bahasa pada umumnya. Selain itu ‘hujan surat selebaran’ yang dimaksudkan pada kutipan ini tidak mengartikan kesungguhan ‘hujan’ melainkan penekanan arti disebarkannya surat-surat agar Indonesia memberikan senjatanya kepada para sekutu. Namun, pada nyatanya rakyat tidak menghiraukan peringatan tersebut dan hasilnya pecahlah peperangan lagi dimana tank-tank menyerang rakyat untuk kesekian kalinya.

4.         “Diudara, di atas kaum pelarian, sering terbang burung-burung putih sebagai perak. Burung-burung itu menderu-deru dan menjatuhkan kotoran sedang terbang itu, peluru-peluru senapan mesin. Kaum pelarian bersiduga cepat masuk got-got. Mereka sangat takut kepada burung-burung putih itu seperti kucing dibawakan lidi. Kotoran-kotoran itu menembus badan-badan kaum pelarian dan meninggalkan lobang-lobang terbakar dalam badan itu. Sudah itu burung-burung itu menghilang, seperti Malaikalmaut yang sudah menjalankan kewajibannya.”

Yang ditangkap dari kutipan ini ialah penyerangan yang dilakukan sekutu dengan menjatuhkan peluru-peluru untuk memberantas Indonesia dari pesawat sehingga para rakyat yang hendak berpindah tempat menuju tempat yang lebih aman nyatanya tidak merasa aman dan berlindung dibalik got-got. Tapi ada diantara rakyat yang terbunuh oleh serangan peluru-peluru itu. Pengarang memadukan kesamaan sayap dalam mengganti kata ‘pesawat’ dengan ‘burung’ sehingga pembacanya dapat berpikir keanehan yang terjadi dimana kotoran burung dapat membuat orang terluka dan bahkan terbunuh.

Unsur Emosi:

1.         “Tidak banyak orang yang mengacuhkan nasib ibu-ibu ini. Mereka berjalan dengan kaki-kaki berat seperti terbuat dari timah menuju tujuan hidupnya yang utama pada waktu itu: kota lain yang aman, rumah tempat menginap. Panas membakar segalanya: daun-daun, punggung manusia dan kerongkongannya. Daun-daun membalikkan diri menghindarkan panas itu, tapi manusia tiada berbuat apa-apa. Mereka terus berjalan, berjalan terus sambil berdiam diri dengan pikirannya masing-masing.”

Pengarang menyertakan emosi yang dirasakan para ibu yang hendak mencari tempat aman untuk menghindari serangan-serangan sekutu. Terik panas yang menyertai perjalanan mereka dilukiskan dengan cukup baik dan menyentuh pembacanya.

2.         “Ia berlari kian ke mari dan berteriak tak keruan. Dirobek-robeknya bajunya, kutangnya, ditanggalkannya kainnya dan dalam keadaan seperti Siti Hawa ia lari kencang-kencang menuju ke Surabaya untuk membelai-belai barang-barangnya dan radio Erresnya.”

Penulis memainkan emosi pembacanya dengan mengisahkan luapan emosi wanita pada kutipan ini sangat berguncang. Hingga ia tak sadar telah merobek pakaiannya serta berlari hanya untuk membelai radio kesayangan punya menantunya. Ia tidak ingin melarikan diri, tapi pada akhirnya ia berlari juga ketika bom itu jatuh di depan rumahnya. Sehingga wanita ini menjadi gila.

3.         “Bergegas-gegas dibukanya pintu kandang anjing itu. Anjing itu menyalak kepada Tuminah, tapi Tuminah tidak mendengarnya, ya ia tidak melihat anjing itu sama sekali. Bau buah-buahan busuk dan kotoran anjing menguap melalui pintu masuk ke dalam lubang hidung Tuminah, tapi Tuminah tidak membauinya. Yang dilihatnya hanya sebidang lantai dalam kamar itu, persis sepanjang badannya dan dibaringkannya badan itu, di atas lantai itu dan segera mendengkur seperti kerbau. Di bawah kakinya dan di ujung kpalanya terdapat onggokan-onggokan kotoran anjing itu dan anjing itu sendiri menjilat-jilat dahi Tuminah dengan senangnya.”

Keletihan Tuminah yang digambarkan pengarang dalam cerpen ini berhasil membawa pembaca larut dalam keadaan yang sama. Tak pedulikan lagi dengan bau busuk maupun kotoran anjing di tempat itu yang diinginkan Tuminah ialah hanya beristirahat dengan tenang tanpa gangguan. Hingga jilat-jilat anjing pemilik tuan rumahpun tak dirasakannya. Beban berat Tuminah sekejap hilang dalam istirahatnya di dalam ruang yang sebenarnya tak layak.

4.         “Tiap waktu lagu ‘Indonesia Raya’ dimainkan, mereka berdiri dengan tegap seperti prajurit dan ikut menyanyikan lagu kebangsaan itu. Setiap orang merasa tengkuknya seperti digili-gili orang. Segala bulu berdiri: bulu tengkuk dan bulu kaki. Dan waktu lagu itu habis, beberapa orang nasionalis tulen menangis dan katanya parau. “Itu yang kita perjuangkan sepanjang masa. Dan untuk itu kita mengorbankan harta benda dan jiwa pemuda-pemuda kita. Bukan main indahnya lagu itu. Ya, perjuangan kita tidak sia-sia!!””

Penulis menggambarkan emosi menggebu-gebu tampak sangat jelas dalam kutipan ini, dimana semangat kemerdekaan mengalir dimasing-masing rakyat untuk berjuang. Keyakinan mereka dalam perjuangan yang tidak mungkin sia-sia setelah mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya muncul. Dan tentunya kutipan ini dapat sampai juga pada pembacanya, bahwa semangat pejuang untuk mempertahankan negara sangat besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar