Minggu, 18 Desember 2011

Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari


Sebuah Pilihan Hidup
 Karya: Hartana Adhi Permana


Novel dengan tema budaya yang berseting perjuangan hidup seorang perempuan berhasil digarap oleh Ahmad Tohari, yakni novel yang berjudul “ Ronggeng Dukuh Paruk”. Novel ini berlatarbelakang tentang sebuah kebudayaan di daerah tertentu. Bagaimana pengaruh kebudayaan itu bagi masyarakat. Novel ini menjadi sebuah refleksi bagi kehidupan bermasyarakat. Dapat dipergunakan sebagai literatur dengan pesan-pesan yang ada di dalamnya. Pesan yang berusaha digarap oleh pengarang. Novel yang bertema kebudayaan dan merupakan satu dari trilogi yang ditulis oleh Ahmat Tohari. Novel ini mengambil cerita tentang seorang ronggeng dengan kehidupannya dan bagaimana dia di dalam masyarakat. Perjuangan seorang perempuan di dalam meniti pilihan hidupnya.

Srintil adalah seorang penduduk di dukuh Paruk. Konon di dukuh itulalah dulu Ki Secamanggala bermukim, leluhur dari warga dukuh Paruk. Srintil adalah gadis kecil yang dipercaya oleh kakeknya kelak akan menjadi inang ronggeng. Akhirnya Srintil belajar menjadi calon ronggeng pada Kartareja. Kartareja adalah dukun ronggeng. Ayah dan ibu Srintil telah meninggal. Ayahnya, Santayib adalah penjual tempe bongkrek. Mereka berdua meninggal karena keracunan tempe bongkrek. Semenjak itu Srintil tinggal bersama kakek dan neneknya. Srintil berasal dari keluarga yang tidak punya dan tidak berada. Seorang gadis yatim piatu yang semenjak bayi kehilangan ayah dan ibunya. Ibunya dan beberapa warga dukun Paruk meninggal karena racun yang ada pada tempe bongkrek. Selanjutnya dia dirawat oleh nenek dan kakeknya. Srintil disetir kakeknya agar mau menjadi seorang ronggeng. Terhimpit oleh kemiskinan, menjadi seorang ronggeng berarti menjanjikan sebuah kemapanan. Itu satu diantara alasan mengapa Srintil mau menjadi Ronggeng.

Saat itu memang keadaan masyarakat Paruk tengah miskin- miskinnya. Susah makan dan serba kekurangan. Sangat memprihatinkan. Banyak gadis- gadis Paruk yang hendak menjadi ronggeng. Mereka menginginkan perubahan nasib. Mereka ingin terbebas dari jeratan kemiskinan.

Srintil yang menjadi penari ronggeng, Srintil seperti sebuah titisan roh moyang yang akan meneruskan tradisi Ronggeng di Dukuh Paruk. Menjadi seorang ronggeng juga, Srintil harus rela dan siap melayani setiap lelaki yang membayarnya untuk tidur bersama. Layaknya pelacur yang digambarkan terhormat dan di puja-puja. Sedangkan Rasus sendiri lelaki yang menghormati wanita. Dia membayangkan Srintil adalah sosok perempuan yang seperti ibunya yang selama ini belum pernah dilihat.

Pergolakan batin seorang Rasus yang menjadi tokoh utama juga dalam cerita ini, yang bercerita sebagai ‘Aku’. Menghidupkan dan membuat kita menjadi tahu seperti apa sebenarnya adat tradisi untuk menjadi ronggeng sejati. Tentang pencariannya dengan sosok emak yang dia ejawantahkan ke Srintil yang diam-diam dia cintai, namun tidak berdaya untuk menentang adat ronggeng, bahwa Srintil milik semua orang bukan untuknya. Dia memilih pergi dari dukuh Paruk untuk menghilangkan pikiran tentang Srintil yang dia gambarkan menjadi ibunya. Sesosok wanita cantik yang selama ini dia impikan.

Novel ini sebenarnya lebih banyak bercerita tentang Rasus, bukan Srintil sebagai Ronggeng. Tapi dari Rasus kita tahu hidup kedua tokoh tersebut. Tokoh Rasus, lelaki muda yang tegas. Menggunakan logika saat melakukan sesuatu, tidak tergoda saat Srintil mengajaknya berbuat dosa di tanah perkuburan. Tidak tergoda juga saat Srintil memintanya untuk dijadikan istri. Dia teguh dalam pikirannya menjadikan Srintil wanita yang terhormat dalam hatinya.

Kita bisa merasakan perasaan Rasus yang tidak rela melihat pujaan hatinya di miliki oleh banyak orang sebagai ronggeng, disentuh oleh banyak lelaki dengan bayaran. Walaupun itu lumrah untuk seorang ronggeng. Rasus tidak ingin sosok emak yang sudah dia tanamkan pada diri Srintil menjadi pudar oleh profesi ronggeng.

Sesuatu hal yang tidak mudah untuk menjadi seorang ronggeng. Butuh perjuangan dan ketegaran dari seorang Srintil. Srintil harus melewati banyak hal sebelum menjadi seorang ronggeng, Srintil haarus menjalani sekian macam rittual sebelum kemudian dia berhak menarik bayaran dari aksi pentasnya. Sebelum menjalani ritual., Srintil belum sah diwisuda menjadi seorang ronggeng. Srintil sudah bulat tekadnya, apa yang dianjurkan dan disaratkan sebelum wisuda ditelateninya dengan seksama. Memang begitu aturannya, ketika seorang gadis yang ingin menjadi ronggeng dukuh Paruk, dia harus melewati serangkaian ritual adat yang telah menjadi tradisi masyarakat Dukuh Paruk.

Salah satu alasan seseorang memutuskan diri menjadi seorang ronggeng adalah karena tuntutan dan himpitan faktor ekonomi. Karena keadaan ekonomi yang serba sulit, seseorang memilih menjadi seorang ronggeng. Kehidupan seorang ronggeng memang meyakinkan dan menjanjikan kemapanan. 

Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi amparan sawah terbatas kaki langit, tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam. Perhatikan kutipan berikut: 

“Lihat. Baru beberapa bulan menjadi ronggeng sudah ada gelang emas di tangan Srintil. Bandul kalungnya sebuah ringgit emas pula,” kata seorang perempuan penjual sirih. (Ronggeng Dukuh Paruk, hlm.81).

Dari kutipan di atas jelas bagaimana perubahan dalam hidup Srintil. Dia yang memperoleh kemapanan setelah sah menjadi seorang ronggeng. Hidupnya seratus persen berubah. Dari yang tidak punya apa-apa menjadi kaya raya. Perhatikan kutipan di atas.

        Hal tersebut juga terjadi di dalam kehidupan sehari- hari. Seseorang yang memutuskan menjadi seorang ronggeng karena himpitan faktor ekonomi.

Analisis Novel Ziarah 1960 Karya Iwan Simatupang


Menggenggam Kebebasan yang Tak Pasti
 Karya: Hartana Adhi Permana


Karya sastra Iwan Simatupang tahun 1960, 'Ziarah', merupakan karya sastra yang menarik dan berbeda dibandingkan dengan karya sastra Indonesia lainnya. Ziarah banyak mendapat kritik dari para pakar sastra karena isi ceritanya melibatkan budaya Barat dan menganggap Iwan Simatupang sebagai pengarang borjuis. Dalam penerbitannya, Ziarah mengalami kesulitan hingga akhirnya Ziarah dapat diterbitkan pada tahun 1969 berkat surat rekomendasi yang dikirim oleh HB. Jassin dan Bangun Siagian ke penerbit.

Novel “Ziarah” sulit dimengerti oleh pembaca biasa, sehingga untuk memahami Ziarah, pembaca perlu menggunakan kesadaran filsafat tentang kehidupan dan kematian manusia, pemberontakan, dan kesadaran sosial. Berdasarkan analisis, dapat diketahui Ziarah melanggar kaidah novel tradisional. Pengarang melakukan pemberontakan dalam sastra melalui tokoh pelukis yang tidak mau dijadikan budak birokrasi. Fiktif hilang pada identitas tokoh pelukis tidak dikenal. Kerangka dan waktu pada peristiwa pernikahan hanya sebagai simbolik. ia penganut aliran kesusastraan Perancis.

Sebelumnya saya akan menceritakan sinopsis dari novel “Ziarah” karya Iwan Simatupang sebagai berikut.

Di sebuah negeri yang bernama Kotapraja, terdapat seorang pelukis terkenal di seluruh negeri yang dibuat terkapar tidak berdaya alias shock dan trauma setelah ditinggal mati istrinya yang sangat dia cintai, istri yang dia kawini dalam perkawinan secara tiba-tiba. Suatu ketika Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya lukisnya yang memikat semua orang dijagat bumi ini yang mengakibatkan ia memiliki banyak uang dan membuat dia bingung. Karena kebingungannya ini sang pelukis berniat bunuh diri dari lantai hotel dan ketika terjun dia menimpa seorang gadis cantik. Dan tanpa diduga pula sang pelukis langsung mengadakan hubungan jasmani dengan si gadis di atas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang histeris dan akhirnya seorang brigadir polisi membawa mereka ke kantor catatan sipil dan mengawinkan mereka.

Pelukis merasa benar-benar kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati, pelukis pun langsung pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya tetapi tak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena pelukis tak tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada istrinya. Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat penguburan yang sah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat menjadi walikota setelah walikota pertama gantung diri karena tak bisa memecahkan masalah mengundang pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing) yang ikut menghadiri penguburan Istri pelukis.

Sampai akhirnya pengusaha penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan keputusan walikota akhirnya mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai, sang pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru membuat dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian pelukis memandangi keadaan sekitar yang penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut kemudian membakar gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan. Ziarah tanpa melihat makam istrinya.

Setelah itu hidup pelukis semakin tak tentu arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya di tikungan entah tikungan mana dan malam harinya di tuangkan arak ke perutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras. Hingga akhirnya datang opseter perkuburan yang meminta dia mengapur tembok perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa dia dicari.

Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan opseter perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga Walikota akan memberhentikan opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat pemberhentian kerja itu, Walikota malah mati sendiri karena kata-kata opseter tentang proporsi. Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri karena opseter pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja pada selembar kertas pada pegawainya.

Setelah beberapa hari pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari dia bergegas pulang sebelum 5 jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian mendatanginya dan ternyata pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa selain untuk kepentingan opseter sendiri, opseter ingin pelukis menziarahi istrinya yang sudah tiada itu. Keesokan harinya opseter ditemukan gantung diri. Pekuburan geger, tetapi hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan opseter berlangsung cepat. Setelah penguburan, pelukis bertemu maha guru dari opseter yang kemudian menceritakan riwayat opseter.

Pada akhirnya pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat istrinya.

Alur dalam novel ini memang sedikit membingungkan pembaca, pengarang sengaja menggunakan alur “Flash Back”. Pembaca diajak untuk mengernyitkan dahi karena cerita di awal novel bukanlah awal cerita, melainkan awal cerita baru diceritakan di bagian berikut dalam novel. Alias pembaca diajak ke waktu sebelumnya oleh pengarang dengan sentuhan filsafat yang amat menarik dan berkesinambungan.

Ini jelas terlihat di awal novel saat disebutkan sang pelukis begitu kehilangan setelah ditinggal mati istrinya, tetapi di bagian belakang malah pembaca diajak untuk mengikuti kisah pertemuan pelukis dengan istri, kehidupan mereka yang mengundang banyak pesona, dan saat-saat terakhir istrinya mati. Bukan hanya pelukis dan istri saja, tetapi pengarang juga mengajak pembaca untuk mengikuti kisah balik kehidupan opseter sebelum menjadi opseter.

Tema pada novel “Ziarah” ini adalah memberitahukan tentang kehidupan dan realitas dunia yang tidak memiliki dalamnya sebuah kepastian, selalu terjadi sebuah peristiwa kematian. Sesungguhnya manusia dapat menggenggam kebebasan dalam kedua tangannya sendiri, dan membentuk kebebasan yang dimilikinya menurut kehendaknya sendiri. Manusia dihadapkan pada sebuah kematian, dihadapkan pada batas akhir hidup, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang harus dijalani, sebagaimana kelahirannya sendiri.

Novel Ziarah karya Iwan Simatupang ini merupakan tipe novel sastra karena pengarang banyak menggunakan ungkapan-ungkapan ataupun konotasi,dan majas-majas terutama majas personifikasi serta terdapat juga istilah-istilah berbau filsafat yang diolah menjadi kesatuan kalimat yang benar-benar membawa pembaca ke arah pemikiran-pemikiran logis dan membenamkan pembaca dalam novel yang memiliki keindahan ilmu filsafat dari pengarang sendiri.

Bahasa dalam novel ini sangat penuh dengan ungkapan-ungkapan dan majas-majas sehingga menimbulkan keindahan bahasa. Selain itu, banyak pula terdapat istilah-istilah filsafat di dalamnya sehingga semakin menambah kememikatan terhadap novel “Ziarah” ini sastra karena penuh dengan ungkapan dan majas-majas. Ungkapan-ungkapan ataupun konotasi:

-          Pada kedua matanya yang redup, zenith bertemu nadir. (Simatupang, 2001:26)

-          Hanya untuk mempersaksikan sepasang merpati yang sedang asyik di atas aspal panas itu. (Simatupang, 2001:73)

-           Yang mulia ini bersama staf ahli-ahlinya juga cuma dapat garuk garuk kepala saja.( Simatupang, 2001:35)

-           Fraksi-fraksi pro dan kontra sama-sama tarik urat lehernya. (Simatupang, 2001:35)

-          ..seolah udara kutub menghembus masuk ke dalam tubuhnya melalui rongga mulutnya.( Simatupang, 2001:46)

Majas Personifikasi

-          Rasa riang mendaki dalam dirinya.( Simatupang, 2001:2)
-           Dia, Opseter berpikiran setan…( Simatupang, 2001:9)
-           …praktek-praktek menjilat atasannya…( Simatupang, 2001:20)
-           …mereke terbang ke pintu gerbang.( Simatupang, 2001:28)
Majas Hiperbola
-          Tuan adalah nabi seni lukis masa datang. (Simatupang, 2001:69)

Filsafat karena terdapat beberapa istilah filsafat di dalamnya.

-           …kebenaran dari jenis subtil, yakni: yang memperhitungkan apa yang disebut nuans. Ya! nuanslah yang terlalu sedikit sekali diperkirakan dalam undang-undang dasar tiap-tiap Negara. Dan kini, demi nuans itu, dia harus membangkang. (Simatupang, 2001:17)

-          Yes, truly; for, look you, the sins of the father are to be laid upon the children; therefore, I promise ye, I fear you. I was always plain with you, and so now I speak my agitation of the matter; therefore be of good cheer, for truly I think you are damn’d. The is but one hope in it that can do you any good; and that is but a kind of bastard hope neither. (Simatupang, 2001:38)

Ceritanya sangat menarik, sentuhan filsafat pengarang benar-benar tersaji dalam novel ini. Tak kurang dalam setiap bagian novel terdapat kalimat-kalimat yang merupakan ilmu filsafat. Contoh kalimat itu seperti “Balas dendam memerlukan persiapan, pemikiran, memerlukan sistem filsafat tersendiri yang merentangkan isi, tujuan, faedah dan dalih balas dendam itu nanti kepada dirinya sendiri, kepada anak cucunya dan apabila masih ada juga umat manusia dan kemanusiaan sesudah kurun sejarah kini juga kepada umat manusia dan kemanusiaan yang akan datang…(20)”. Juga dalam kalimat “selanjutnya,filsafat murni hanya didapat pada suasana disebelah dalam dari tembok-tembok itu…(46).

Gaya humor pengarang juga samar-samar,pembaca harus benar-benar mengerti maksud pengarang dulu sebelum dibuat tertawa membayangkan bahwa itu sangat lucu. Ada beberapa bagian dalam novel yang bisa dikatakan sebagai penunjuk bahwa pengarang memiliki daya humor yang cukup tinggi. Seperti saat ketika opseter dan walikota saling melihat bola mata. Dan saling terkejut dan saling berteriak. Tentu saja mengundang tawa bagi pelukis yang menyaksikannya…(14-15). Juga saat menceritakan kisah ketenaran pelukis, yang justru membuat dia hampir bunuh diri sebelum akhirnya mengawini seorang gadis…(68-74)

Dalam menghadirkan sebuah masalah pengarang tidak sungkan untuk mendramatisir, tapi endingnya juga sangat mengaggumkan. Karena dengan penambahan cerita yang didramatisir itu justru semakin membuat semangat pembaca. Ini terlihat saat menceritakan kematian walikota setelah gemetar mendengar kata-kata proporsi dari opseter..(18-26) dan saat sang istri kehilangan giginya…(90-91) yang dibuat begitu terasa dihati pembaca.

Dalam analisis novel “Ziarah” yang saya buat ini dapat disimpulkan bahwa:

(1). Ziarah karya Iwan Simatupang mengandung pemikiran budaya Barat karena ia termasuk pengagum karya Camus dan Sartre (Prancis), gaya novelnya modern dan sederhana, ceritanya berdasarkan kehidupan biografinya. (2). Ziarah merupakan hal baru dalam karya sastra Indonesia karena sebagai karya roman yang menarik dan lucu sulit dimengerti oleh pembacanya. (3). Tema Ziarah mengenai kesadaran filosofi (membahas kehidupan dan kematian) dan kesadaran sosial. (4). Ziarah menyembunyikan makna dengan menggunakan simbol yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian

Analisis Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer



Keganasan Kuasa Sang Feodal Jawa
Karya: Hartana Adhi Permana



           Suatu hari dia dikawini oleh seorang pribumi pejabat pemerintah kolonial yang tidak dia kenal.  Apa yang dia tahu hanyalah dia harus taat dan hormat pada suaminya yang dipanggil bendoro (sebutan kehormatan untuk kaum feodal Jawa). Sampai menikah dan punya anakpun dia tidak memiliki hubungan hati ke hati dengan suaminya. Tidak ada hubungan manusiawi. Di rumah tempat tinggalnya ada bagian di mana dia tidak pernah menginjakkan kaki, bahkan masih ada ruangan yang baginya tetap asing selamanya. Di rumah kabupaten itu ada beberapa anak yang tidak ada ibunya karena mereka sudah dicerai sedangkan anak-anak itu diasuh pembantu.

Suatu hari datang Mardinah, seorang pelayan baru. Dia anak seorang jurutulis dari kota. Sikapnya berani kepada Gadis pantai. Belakangan terungkap bahwa dia diutus Bendoro Putri Bupati Demak untuk mengupayakan agar anak Bendoro Putri bisa dikawini oleh suami Gadis pantai. Mardinah diberi janji apabila berhasil maka dia akan diambil jadi istri kelima. Secara ekonomi dan sosial memang gadis pantai mengalami kemajuan. Dia naik kelas sosial dan ekonomi. Ketika dia diberi ijin pulang ke desanya untuk menengok orang tuanya, orang se-desa menyambut meriah dan memperlakukannya dengan istimewa. Dia membiayai pesta dan dia beri kain kepada tetua kampung.

Suatu saat Gadis pantai hamil dan beberapa bulan kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Jenis kelamin perempuan ini membuat suaminya kecewa. Tidak lama kemudian orang tua Gadis pantai datang menjenguk anak cucunya. Bendoro memanggil bapak Gadis pantai ke dalam rumah. Ketika keluar wajahnya sudah suram karena Gadis pantai sudah dicerai. Bendoro memberi uang dan dia harus membawa Gadis pantai meninggalkan rumah Bendoro segera, sedangkan bayinya harus ditinggal dan akan di asuh pembantu. Sampai di rumah Gadis pantai tidak mau tinggal. Dia memilih pergi. Selama sebulan dia masih sering lewat depan rumah Bendoro, tapi setelah itu tidak lagi.

Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, merupakan novel pertama dari trilogi yang ditulisnya, sebuah novel tanpa terselesaikan, karena dua buku kelanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Novel ini bercerita mengenai relasi antara mas nganten dengan pembesar yang “memeliharanya”. Pembesar atau Ndoro merupakan orang Jawa yang berdarah biru yang memiliki korelasi dengan pemerintah Belanda. Novel ini sangat kritis sekali membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Pada dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat mencolok, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu. Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya, termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu saja.

Novel ini menggunakan teknik penceritaan orang ketiga mahatahu yang memungkinkan narator tidak terikat pada dunia cerita dan dapat bergerak bebas di dalamnya. Gerakan itu antara lain dinyatakan dalam penempatan posisi dan jarak dari narator terhadap dunia yang ada di dalam novel tersebut. Tokoh-tokoh dalam novel ini, terutama tokoh yang berasal dari rakyat biasa, memperlihatkan sikap mereka yang menentang dan akhirnya menerima begitu saja dalam menghadapi sikap dan kuasa para pembesar Jawa, yang akhirnya membawa kesengsaraan dan kenestapaan bagi mereka, dan tiada dampak sedikitpun bagi para pembesar karena bagi para bendoro rakyat biasa adalah orang golongan bawah yang tak sederajat dengan mereka. Bagi para bendoro (priyayi), rakyat jelata adalah budak yang dapat mereka perintah dan perlakukan semaunya.

Dalam struktur ruang dalam novel ini hanya banyak bergerak pada kamar dan ruang rumah sang Bendoro saja. Hanya sedikit pergerakan di sebuah jalan yang menghubungkan perkampungan nelayan dengan kota dimana Bendoro itu tinggal, dan juga kampung nelayan itu sendiri. Dari situ kita bisa melihat betapa kuatnya kuasa sang Bendoro. Segala aturan, norma dan tata karma yang tertanam kuat bersama keangkuhan feodalisme Jawa pada masa itu. Gadis Pantai tak leluasa bergerak bebas, sebebas usianya yang masih terlalu belia untuk mengerti mengapa ia dijadikan Mas Nganten. Lingkungan pergaulan yang sangat diatur, tak boleh berbicara dengan orang yang tak sederajat, tak boleh bergaul dan bercengkrama dengan orang rendahan. Terlebih lagi, tak boleh keluar rumah tanpa ijin. Pengekangan hak sebagai manusia yang bebas.

Di dalam novel ini waktu terus bergerak maju, sesuai bertambahnya usia Gadis Pantai. Masa lalu, masa sekarang dan masa depan sang Gadis Pantai tampil secara terpisah dan tersusun rapi; tanpa saling membayangi, tanpa saling menghancurkan dan membuat gerakan waktu yang terus bergerak maju. Sehubungan dengan struktur waktu yang demikian, dengan menampilkan kisah pilu Gadis Pantai yang menjadi Mas Nganten seorang Bendoro hingga pada akhir cerita yang tragis, dapat dilihat bahwa novel ini bersikap kritis terhadap feodalisme Jawa pada masa itu. Betapa kekuasaan, derajat dan harta adalah segala-galanya, dan manusia yang paling beruntung adalah mereka yang berderajat tinggi dan bahkan mereka yang menjadi kaki-tangan Belanda.

Dalam novel ini pun terdapat pula isu-isu gender di dalamnya. Penindasan laki-laki terhadap perempuan, pengekangan hak ibu terhadap anak dan tak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah tersebut di dalam sistem feodalisme Jawa pada masa itu. Laki-laki yang bebas berpoligami, dan perempuan dijadikan budak nafsu baginya. Sang Bendoro bebas mengambil gadis manapun, siapapun dari kelas bawah dan menjadikannya Mas Nganten, Bendoro pun berkuasa mencampakkannya begitu saja dan mencari gadis lain untuk dijadikannya Mas Nganten, selama itu pula Bendoro dianggap masih perjaka sebelum ia menikahi gadis yang sederajat atau sekelas dengannya. Dan perilaku itu terus berlangsung hingga ia menikahi seorang gadis yang sederajat dengannya. Pada akhirnya pula, ketika para Mas Nganten melahirkan seorang anak, ia langsung menceraikannya dan mengambil anaknya itu. Ia memisahkan ibu dengan anak. Terlebih lagi, anggapan rakyat feodal bahwa anak laki-laki adalah anak yang bisa dibanggakan dan anak yang bisa meneruskan kekuasaannya, sehingga anak perempuan itu seperti manusia yang menyusahkan, tak berdaya dan tak dapat dibanggakan. Hal ini terlihat dari sikap sang Bendoro ketika ia tahu bahwa Gadis Pantai melahirkan seorang bayi perempuan, betapa murkanya ia. Secara struktural, dalam relasi-relasi konkret antar tokoh, novel ini cenderung menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior di hadapan laki-laki. Tentu saja, dari situ, novel ini mengandung banyak gagasan mengenai emansipasi perempuan, pembebasan perempuan dari penindasan budaya yang patriarkis.

Sejak semula novel ini menggambarkan betapa hebatnya feodalisme Jawa pada masa itu. Dan juga menggambarkan bagaimana masyarakat setempat berlomba untuk menikahkan anak gadisnya dengan para pembesar Jawa (Bendoro) dengan maksud untuk menaikkan derajat, menjadi orang yang berderajat dan mendapatkan prestisi di kalangannya. Selain itu juga, novel ini juga menggambarkan usaha-usaha masyarakat setempat (terutama kalangan Bendoro atau priyayi) untuk menjadi sama dengan Belanda. Dari makanan yang para priyayi makan, dari perangkat makan (seperti sendok-garpu, pisau makan, serta piring yang digunakan), kebiasaan dan simbol-simbol budaya yang ke-belanda-belandaan, hingga sampai kemampuan dalam berbahasa Belanda.

Hal ini dapat kita lihat dari kutipan sebagai berikut.

“Seperempat jam kemudian terdengar suara Bendoro Guru berbicara dengan bahasa yang mereka tak kenal dan suara Agus Rahmat menjawab dalam bahasa yang mereka pu tidak kenal.

“Betapa hebatnya Bendoro mengajar putera-puteranya,” kepala kampung berbisik. “Sekecil itu sudah bisa bicara bahasa Belanda. Satu kata pun kita tak paham. Anakmu nanti,” kepala kampung menghadapkan mukanya kepada Gadis Pantai, “juga bakal diajarkan seperti itu.” Gadis Pantai Kecut, wajahnya meraih tangan emak dan menggenggamnya erat-erat.” (Pramoedya, 2007:20)

“… Roti hangat yang masih mengepul yang dikirimkan tadi dari bengkel roti, telah tersayat-sayat di atas meja. Botol-botol selai, serbuk coklat, gula-kembang, perasan air jeruk, krupuk udang, dan bubur havermouth, telah terderet diatas meja. Kopi mengepul-ngepul dari cangkir porselen buatan Jepang. Sendok-garpu, pisau, semua dari perak putih mengkilat berderet-deret memusingkan kepala Gadis Pantai. Sebuah tempat buah dari perak begitu menyilaukan matanya. Otaknya terpilin-pilin dan ia lapar. apia pa guna alat sebanyak itu dan serba mengkilat?”

“…. Gadis pantai menggigil. Ia tak tahu yang bernama coklat, gula-kembang, dan mana pula selai.” (Pramoedya, 2007:42)

Dari kutipan diatas dapat dilihat dengan jelas, betapa kemampuan berbahasa Belanda itu menjadi sesuatu yang sangat mewah. Keinginan mereka selain mendapatkan prestisi masyarakat dan juga menaikkan derajatnya, mengawinkan anaknya dengan Bendoro adalah salah satu tujuan agar kelak anak yang dilahirkan oleh anaknya (cucu) dapat hidup dan dibesarkan di lingkungan priyayi sehingga anak tersebut dapat menjadi seorang pembesar pula.

Selain itu juga, pola makan ala Eropa dengan mengkonsumsi roti dan bubur gandum sebagai sarapan paginya, memberikan nilai-nilai sosial tersendiri bagi feodal Jawa. Pada masa itu, beras nasi menjadi barang yang mewah, apa lagi roti. Tak seorangpun dapat mencicipi roti dan bubur gandum terkeculai jika ia seorang priyayi, orang berdarah biru (ningrat), orang Belanda, orang yang menjadi kaki tangan Belanda, dan juga orang yang menjadi Mas Nganten bagi Bendoro. Mereka (khususnya orang kalangan atas/priyayi) berusaha menyetarakan diri dengan Belanda, setidaknya dalam pola makan tidaklah akan merugi karena mereka akan diihat sebagai mahluk bermartabat karena bisa makan seperti orang Belanda, dan menggunakan sendok-garpu seperti apa yang orang Belanda gunakan untuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

Pola pikir dan bahkan bentuk fisik pun tergambar dalam novel ini. Betapa sungguh berbedanya tubuh seorang priyayi dengan rakyat jelata. Sehingga terlihat sekalimana ia yang seorang priyayi dan mana pula ia seorang dari kalangan bawah. Orang yang langsat adalah orang yang mulia, sedangan orang yang tubuhnya terkelantang sinar matahari adalah hina. Seperti kutipan berikut.

“Waktu Bendoro terlelap tidur, dengan kepala pada lengannya, ia mencoba mengamati wajahnya. Begitu langsat, pikirnya. Orang mulia, pikirnya, tak perlu terkelantang di terik matahari. Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan lemak muda! Ia ingin rasai dengan tangannya betapa lunak kulitnya, seperti ia mengemasi si adik kecil dulu. Ia tak berani. Ia tergeletak diam-diam di situ tanpa berani bergerak, sampai jago-jago di belakang kamarnya mulai berkokok. Jam tiga. Dengan sigap Bendoro bangun. Dan dengan sendirinya ia pun ikut serta bangkit.” (Pramoedya, 2007:33)

Pentingnya gaya hidup atau penampilan dalam novel ini tidak hanya terdapat dalam persoalan hubungan rasial antara priyayi dengan rakyat biasa, melainkan juga dalam persoalan hubungan sosial antar anggota masyarakat setempat itu sendiri. Gaya hidup adalah indicator penting dari status sosial seseorang dan gaya hidup itu pula lah yang menempatkan Bendoro ke dalam golongan masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Sedangkan, Gadis Pantai, walaupun ia telah dinikahi oleh Bendoro dan tinggal di gedungnya, namun tetap saja ia dianggap sebagai perempuan kelas rendah, sehingga membuatnya terjepit dalam status sosial yang telah membiarkan ia lahir dan besar di dalamnya. Kekuatan tangan-tangan feudal Jawa yang tak kan mampu terlawan bagi tangan-tangan semacam Gadis Pantai, kepala kampung atau bahkan bapaknya sendiri.

Sungguh, novel ini bentuk dari resistensi terhadap feodalisme Jawa pada masa itu. Mengkritis feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Inilah potret nasib buruk kaum perempuan desa di bawah feodalisme Jawa selama beberapa abad bahkan sampai abad 20.

Roman yang menjadi sekuel pertama dari trilogi roman keluarga ini adalah roman yang indah dan mempesona. Pramodya berhasil membongkar dan menunjukkan kontradiksi negative praktik feodalisme Jawa yang tidak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Tentu saja, roman ini berhasil menusuk feodalisme Jawa tepat di jantungnya.

Pramoedya Ananta Toer lahir pada tahun 1925 di Blora Jawa Tengah. Ia merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di dalam penjara; tiga tahun dalam penjara kolonial, satu tahun di masa Orde Lama, dan 14 tahun pada masa Orde Baru tanpa proses pengadilan. Dalam masa-masa hidupnya di dalam bui, Pramoedya menghasilkan beberapa karya, diantaranya adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

Setiap kali membaca tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer, kita pasti selalu merasa kagum. Di setiap lembaran kita menemukan sesuatu. Bukan hanya bahasa saja yang menarik tetapi juga idealisme. Karya-karyanya terlalu banyak melontarkan humanisme. Pramoedya mengaku tema seperti itu dalam sebahagian besar tulisannya banyak dipengaruhi oleh Multatuli, pengarang Max Havelaar yang mengatakan bahawa tugas manusia adalah menjadi manusia. Beliau juga belajar tentang humanisme daripada karya-karya John Steinbeck dan menelusuri ideologi daripada penulis agung Rusia, Mar Xim Gorky.

Melalui watak-watak tertentu, yang pastinya perwatakan dari golongan kelas bawah, Pramodya mewujudkan watak hero yang menentang berbagai situasi yang tidak manusiawi. Antaranya feodalisme priyayi Jawa, kolonialisme dan imperialisme. Watak-watak hero itu akan mengkritik, membidas dan mengutarakan pandangan-pandangan tertentu yang mewakili golongan masyarakat bawahan di Jawa. Pandangan tidak manusiawinya feodalisme Jawa dikritik dengan begitu luas oleh Pramoedya terutama dalam Gadis Pantai. Ia mengangkat kisah betapa rendahnya seorang rakyat kecil hanya sama dengan sebilah keris pembesar.

Analisis Novel Atheis ( 1949 ) karya Achdiat K. Mihardja

Tergoyahnya Keyakinan
 Karya: Hartana Adhi Permana


Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampong di kota Bandung, Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh. Sudah sedari kecil hidupnya ditempuh dengan tasbih. Iman Islamnya sangat tebal. Lukisan inilah yang menggambarkan latar keagamaan dalam kehidupan Hasan, kehidupan yang bernaung Islam.

 Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah agama semua tentang ajaran – ajaran agamanya makin menempel terus di dalam hatinya. Sampai – sampai Hasan menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik.

Hasan kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor jawatan pemerintah,sebagai penjual tiket kapal di Kota Praja. Di tempat penjualan tiket inilah Hasan bertemu orang – orang yang akhirnya mengubah jalan hidupnya. Berawal dari pertemuannya dengan Rusli, temannya pada saat bersekolah di Sekolah Rakyat. Rusli mengajak untuk bertamu ke rumahnya dan terlebih lagi ada perasaan tertentu yang menghinggapinya kala bertemu dengan Kartini, yang merupakan saudara angkat Rusli. Hasan jadi sering mampir ke tempat Rusli.Dan mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli dan Kartini, dan kawan-kawan mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis.

Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sebagaimana biasa di desanya walaupun berada di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Hal yang utama adalah menyangkut sisi relijiusitas yang selama ini sanggup dipegang teguhnya. Semakin sering ia berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli dan kawan-kawannya, juga semakin akrab ia dengan mereka, mulai semakin tak perlahan Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis akan sangat menubruk pemahaman keagamaan yang sangat tradisionalnya Hasan. Dan ini juga tak berlangsung mudah. 

Pada awalnya Hasan masih sangat keras untuk berusaha melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya. Hal ini ditunjukkan dengan tekadnya suatu kali untuk menyadarkan Rusli guna kembali ke jalan yang benar. Dengan semangat ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat.Hasan menyerah, ia terus menggabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus tambah terpengaruh. Sewaktu suatu saat kembali ke rumah orang tuanya di Desa Panyeredan, kebetulan bersama Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang paling gila), ia bahkan berani berteus terang pada kedua orang tuanya tentang pemahaman keimanan terbarunya. Dan tentu saja untuk itu Hasan harus membayar dengan perpisahan untuk selamanya.

Namun ketika menceburan Hasan ke dalam lingkungan Marxis, ia sebetulnya juga tak sepenuhnya sanggup dan mau untuk mengikuti ideologi tersebut. Keberadaan seorang Kartinilah yang menjadi perangsang baginya untuk terus ada di komunitas yang membuat ia kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif dalam berbagai saling lempar wacana yang ada. Hingga akhirnya Hasan kawin dengan Kartini dan pada awalnya berbahagia sentosa raya. Tentu, tak lama pula, datanglah juga masa sengsara, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar. Dan pertengkaran inipun berujungkan perpisahan. Sumber konfliknya adalah, utamanya, ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup modern Kartini. Hasan masih memendam cara pikir yang konservatifnya ternyata. Dan memang begitulah. Dalam keterlibatan ia berkecimpung di dunia pemikiran kaum “atheis”, ia masih sangat mendekap erat pandangan-pandangan masa lalunya. Dan pertentangan pikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan, yang hanya sanggup diobati, awalnya, dengan impian akan keanggunan Kartini, tetapi selain itu Hasan pun berhadap dengan penderitaan fisik berupa penyakit paru-paru yang dideritanya.

Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat memperkosa Kartini, dalam marah, ketika berjalan mencari Anwar, ia ditembak oleh tentara Jepang ( Kusyu Heiho ) yang menuduhnya mata-mata. Hasan tersungkur oleh terjangan peluru dan diakhir hayatnya ini Hasan masih sempat mengucapkan Allahu Akbar sebagai tanda keimanannya.

Tema yang diangkat novel ini adalah persoalan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Novel Atheis ( 1949 ) karya Achdiat K. Mihardja adalah karya sastra yang mengetengahkan perkembangan awal abad ke – 20, yakni pergeseran gaya hidup tradisional ke gaya hidup yang modern. Atheis menyoroti kebiasaan umum dalam menanamkan ajaran Islam secara dogmatis. Atheis mengambil tema benturan Islamisme yang ditanamkan secara dogmatis melawan komunisme. Sifat keberagamaan dalam novel ini terasa begitu kental hampir di setiap bagiannya. Seperti dalam kutipan :

“Sesungguhnya, semua itu meminta cara. Meminta cara oleh karena hidup di dunia ini berarti menyelenggarakan segala perhubungan lahir batin, antara kita sebagai manusia dengan sesama makhluk kita dengan alam beserta pencintanya. Dan penyelenggaraan semua perhubungan itu meminta cara. Cara yang sebaik – baiknya, seadil – adilnya, seindah – indahnya, setepat – tepatnya, tapi pun sepraktis – praktisnya, dan semanfaat – manfaatnya bagi kehidupan segenapnya.” ( Atheis, hal. 9 )

Hal ini menggambarkan tentang kehidupan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya. 

Banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dari novel Atheis ini. Dalam novel ini kita seakan – akan diingatkan, tentang kehidupan orang yang begitu fanatik dalam menjalankan agamanya, orang – orang yang hanya memikirkan urusan akhirat saja. Padahal Tuhan menyuruh manusia beribadah dengan tidak melupakan kewajibannya sebagaimana manusia di dunia. Ketaatan Hasan bersembahyang, melakukan ibadah semata – mata karena ketakutannya pada neraka yang selalu dipikirkannya, bukan ketakutan akan Tuhannya. Seperti ditulis dalam halaman 20 :

“Dalam khayalku sebagai anak kecil, segala dongeng itu alangkah hidupnya, seolah – olah aku sudah betul – betul melihat neraka.
Aku merasa takut. Menggigil ketakutan. Merapatkan badanku kepada badan Ibu yang sedang mendongeng itu. Ibu memeluk aku. Dibujuk – bujuknya aku,”Tidak usah engkau takut – takut, asal engkau jangan nakal. Mesti selalu turut kepada perintah ayah dan ibu, kepada orang – orang tua, dan mesti rajin bersembahyang dan mengaji.”
 
Achdiat seolah ada di samping kita bercerita tentang pemeluk agama yang keliru mengkuti tradisi semata. Membuat kita sadar bagaimana menjalankan agama yang sesungguhnya.

Kemudian kita juga diberitahukan jangan tergantung pada cinta yang didasari nafsu duniawi. Cinta mengubah Hasan menjadi lupa diri. Karena cintanya kepada Kartini, ia telah menyingkirkan cintanya terhadap Tuhannya dan orang tuanya. Seperti dalam kutipan di bawah ini, bagaimana kuatnya pengaruh Kartinin terhadap kehidupan Hasan :

 “Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding dulu. Dulu artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku selalu kusesuaikan dengan “pendapat umum”, terutama dengan pendapat para ahli ulama. Aku selalu berhati – hati jangan sampai menjadi noda dalam pendangan umum, alias “klaim alim – ulama” itu. Tapi sekarang pandangan umum itu sudah tidak begitu kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini.” ( Atheis, hal. 108 )

Sebenarnya cinta itu bukan berarti rasa sayang terhadap lawan jenis saja, tetapi untuk Tuhan kita. Cinta itu harus dibarengi dengan akal, pikiran, dan keimanan yang kokoh agar cinta tidak memberi kesesatan dalam hidup kita.

Latar ( setting ) adalah waktu, tempat, atau lingkungan terjadinya peristiwa. Tempat penceritaan novel adalah di Jawa Barat dan khususnya di Kota Bandung . Hal ini bisa dilihat dari kutipan isi novel, yaitu :

“Di lereng gunung Telaga Bodas di tengah – tengah pegunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik hijau pohon – pohon jeruk Garut.” ( Atheis, hal. 16 )

Dapat kita ketahui jeruk Garut berasal dari Jawa Barat karena Garut adalah nama salah satu kota di sana, dan pegunungan Priangan terdapat di kota Bandung. Pernyataan itu dipertegas lagi dalam kalimat berikut :

“Aku tunduk saja. Mengerti aku, bahwa orang tuaku itu takut kalau – kalau aku akan menjadi buaya atau akan tersesat ke jalan pelacuran. Maklumlah kota Bandung.” ( Atheis, hal. 26 )

“Stasiun Bandung sudah samara – samara diselimuti oleh senja, ketika kereta api dari Cibatu masuk. Matahari sedang mengundurkan diri, pelan – pelan dan hati – hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar untuk menghilang ke dalam gelap.
Kota Bandung tidak seperti tiga tahun yang lalu. Pada senja hari yang indah seperti itu, di zaman yang lalu kota itu seolah – seolah mulai berdandan. Lampu – lampu listrik di jalan – jalan, di toko – toko dan di rumah – rumah mulai dipasang, seakan – akan manusia bersedia – sedia untuk mulai berjuang membantu Ormurd, dewa terang, dalam perjuangannya yang abadi melawan Ahtiman, dewa gelap.” ( Atheis, hal.224 )

Latar waktu cerita ini terjadi dari tahun 1940 – an ketika Belanda dan Jepang mulai memperebutkan Indonesia sebagai tanah jajahannya. Sampai massa menjelang proklamasi kemerdekaan ketika perang dunia II mulai. Hal ini dibuktikan dari tanggal pernikahan Hasan dan Kartini yaitu tanggal 12 Februari 1941. dan dijelaskan dalam novel pada halaman 171 bahwa pemerintah Hindia – Belanda tekuk lutut kepada kekuasaan balatentara Dai Nippon dengan tidak memakai syarat apa – apa. Selain itu, akhir hayat Hasan, dia dibunuh oleh Kusyu Heiho ( yaitu tentara Jepang ) karena dianggap mata – mata. 

Latar sosial ( lingkungan ) dapat kita bedakan. Saat usia anak – anak dan remaja Hasan tinggal bersama orang tuanya yang pengaruh agamanya sangat kental. Bandung juga mampunyai latar budaya yang unik, karena hampir semua penduduknya adalah penganut agama yang taat. Dapat dilihat dalam kutipan :

“Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh alim. Sudah sedari kecil jalan hidupnya ditempuhya dengan tasbeh dan mukena. Iman Islamnya sangat tebal.” (Atheis,hal. 16 – 17 )

Lukisan ini memberikan gambaran latar belakang keagaaman yang melatarbelakangi kehidupan tokoh Hasan sebagai bagian kehidupan suatu keluarga yang beragama Islam. 

Sedangkan pada saat dia tinggal di Bandung, dia memasuki latar sosial yang berbeda. Orang – orang yang tidak peduli pada Tuhan, orang – oran yang bebas ( kapitalis ) menjadi teman dalam pergaulannya. Orang yang seperti Anwar yang menganggap “Ik ben een god in het diepst van migh gedach ten” ( dalam pikiranku yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan), di halaman 104. dan pernyataan di bawah ini yang memperkuat latar sosial tersebut :

“Juga dalam hal musik dan seni umumnya Rusli ternyata mempunyai pengetahuan dan pemandangan yang luas. Apa yang kuanggap sebagai buah “kebudayaan kapir”; oleh Rusli disebut buah “kebudayaan burjuis”, yang katanya dengan sendirinya akan hilang apabila masyarakat kapitalis sekarang sudah berganti menjadi masyarakat sosialis. Sebab, katanya pula, seperti cabang – cabang kebudayaan lainnya seni dan musik pun adalah hasil masyarakat. Masyarakatnya kapitalis, kebudayaan pun kapitalisme. Demikian selanjutnya,… ( Atheis, hal. 93 )

Dalam novel ini pengarang menempatkan sudut pandangnya sebagai tukang cerita, di mana di beberapa bab dalam novel ( pada bab I, II, dan bab XIII ), pengarang pun ikut masuk di dalam cerita tersebut. Dari awal sampai akhir pengarang tetap konsekuen dengan sudut pandangnya. Pengarang tidak menggubris/ menguak tentang dirinya, tetapi menceritakan tokoh utama/ sentral dari cerita tersebut. Yang diperkuat dengan kutipan :

Pendek kata, saya akan berusaha supaya sedapat mungkin saya bisa memberi lukisan yang tidak begitu banyak menyimpang dari kejadian – kejadian yang sebenarnya tentang pengalaman – pengalaman Hasan itu, supaya karangannya betul – betul merupakan karangan yang bersifat “Dichtung und Wahreit”.( Atheis, hal. 197 )

Selain itu dalam novel banyak menggunakan kata “aku”. Hal ini terjadi karena dalam menuturkan kisahnya ini pengarang menduduki posisi tempat tersendiri di dalam cerita. Kadang – kadang pengarang melibatkan diri di dalam cerita dan pada cerita yang lain, ia berada di luar cerita sebagai pengamat. Jadi novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal.

Alur novel ini disajikan secara sorot balik ( flash back ), sebuah gebrakan baru era tahun ’45.
 Teeuw melukiskan alur cerita novel Atheis sebagai berikut :
[ C { B ( A ) B } C ] 

Bagian A merupakan bagian dari novel yang berisi riwayat pelaku utama ( tokoh utama ), yaitu Hasan. Bagian ini bermula dari bab III sampai bab XII, yaitu dikisahkan dalam bentuk “aku”, yaitu Hasan.

Bagian B, baik sebelum maupun sesudah A merupakan kisah pertemuan dan perbincangan pengarang dengan Hasan. Bagian ini diceritakan juga dalam bentuk “aku”, tetapi “aku” adalah pengarang bukan Hasan. Bagian – bagian ini hanya sedikit, B yang pertama meliputi bab II, sedangkan B yang kedua meliputi bab XII. Bab XII ini merupakan pertemuan pengarang dengan Kartini, ketika Hasan menghilang. Sedangkan bagian C kedua – duanya merupakan cerita pengarang tentang Hasan yang diperolehnya dari teman – teman dekat Hasan. Bagian C pertama terdiri atas bab I, yang hakikatnya merupakan kelanjutan bagian C kedua yang terdiri atas bab XIV dan XV. Maksudnya adalah bagian C terakhir ( bab XIV dan XV ) merupakan bagian ketika Hasan meninggalkan rumah dan mencari Anwar dengan penyakitnya yang tak kunjung sembuh, kemudian Hasan ditembak mati oleh tentara Jepang dan di bagian C pertama adalah Kartini, Rusli, dan pengarang mendapatkan kabar kematian Hasan. Ceritanya dibalik menjadi alur sorot balik.

Gaya bahasa adalah pencerminan kepribadian pengarang. Dalam novel Atheis, Achdiat banyak menggunakan majas personifikasi seperti :

Matahari sedang mengundurkan diri pelan – pelan dan hati – hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar untuk hilang dalam gelap. ( Atheis, hal. 6 )

Kemudian pada hal 123 :

Kalau dulu aku hidup di dalam ketenangan hati seperti air di danau, maka air itu seakan – akan sudah mendesah – desah penuh dinamik seperti air di sungai gunung. 

Kemudian pengarang juga menggunakan bahasa Belanda untuk kalimat yang ingin dipertegasnya, seperti :

In de nood leerf men bidden ( Kesusahan hidup mendorong kita sembahyang ). ( Atheis, hal. 20 )

Ik ben een god in het diepst van mijn gedach ten ( dalam pikiranku yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan ). ( Atheis, hal .104 )

Soal percabulan, Dat is het echte leven ( itulah hidup yang sebenar – benarnya ). ( Atheis, hal. 226 )

Tokoh Utama ( Protagonis ) adalah Hasan, karena novel ini banyak menceritakan tentang kehidupan Hasan, bagaimana Hasan dari seorang yang taat beragama menjadi seorang Atheis karena orang – orang disekitarnya, dan Hasan adalah tokoh yang berhubungan dengan seluruh tokoh lain, seperti pengarang, Kartini, Rusli, Anwar, orang tua Hasan, Rukmini. Adapun sifat – sifat Hasan adalah :

Seperti namanya pula, rupa, dan tampang Hasan pun bisa sederhana. Hanya badannya kurus, dan karena kurus itulah maka nampaknya seperti orang yang tinggi, mata, dan pipinya cekung portrayal of throught steam. ( Atheis, hal. 13 )

Menunjukkan bagaimana seorang Hasan yang sederhana dan tubuhnya kurus. Hasan juga seorang yang kurang teguh pendirian, seperti dikutip di bawah ini:

Dia seorang pencari. Dan sebagai seorang pencari, maka ia selalu terombang – ambing dalam kebimbangan dan kesangsian. Kesan ia bukan seorang pencari yang baik. ( Atheis, hal. 13 )

Hasan juga seorang yang fanatik dengan agamanya, yang dibuktikan dalam kutipan :

 Kadang – kadang aku tidak bisa menyembunyikan kebencian kepada orang yang tidak saleh atau kurang iman.

 … berpuasa tujuh hari tujuh malam. Hasan kemudian menyelesaikan ritualnya mandi di kali Cikapundang selama 40 kali, satu malam dan sembahyang Isya sampai shubuh. (Atheis, hal. 28 – 29 )

Kemudian tokoh lawannya adalah Kartini, Rusli, Anwar, yang sifatnya akan dijelaskan satu persatu.

a.       Kartini

Kartini adalah wanita korban Siti Nurbaya dipaksa kawin oleh ibunya dengan seorang rentenir Arab tua yang kaya. Suka belajar dan menempuh hidup kebarat – batan daripada “penjara timur kolot” menurutnya ( dalam Atheis, hal. 34 ). Kartini seorang yang berideologi tegas dan radikal. Etikanya menurut feodal/ burjuis, merupakan wanita yang berpikiran modern. Kartini adalah seorang Athei ( tidak percaya akan keberadaan Tuhan dan agama )

b.      Rusli

Rusli adalah teman kecil dari Hasan. Dari kecil Rusli adalah anak yang nakal, jarang sembahyang ( Atheis, hal. 33 ). Rusli juga seseorang yang dapat menghargai orang lain dan sopan, ditunjukkan dalam kutipan berikut :

Tentu saja saudara Hasan tidak akan membiarkan pendapat saya itu. Itu saya dapat mengerti dan hargai, dan memang tak asah saudara Hasan menerima segala apa yang saya katakan itu. ( Atheis, hal. 77 )

Rusli juga seseorang yang mudah mempengaruhi orang lain. Seperti dalam kutipan :

Karena kepandaian Rusli menguraikan pelbagai soal hidup, baik soal – soal kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan lain – lain yang selama itu tidak pernah menjadi soal bagiku dan agama. ( Atheis, hal. 104 ) 

Rusli juga seorang Atheis ( tidak percaya akan adanya Tuhan dan agama ).

c.       Anwar

Anwar adalah rekan dari Rusli dan Kartini. Anwar adalah seniman anarkhis dan ramah. Seperti dikutip, bagaimana fisik dari Anwar :

Ia pemuda yang cakap rupanya. Kulitnya kuning seperti kulit orang Cina dan matanya pun agak sipit. Mungkin ia keturunan Cina/ Jepang. Ia berkumis kecil seperti sepot sapu lidi masuk ter dan janggutnya jarang – jarang seperti akar yang liar. Rambutnya belum bercukur. ( Atheis, hal. 101)

Dan juga disebutkan bahwa Anwar adalah seorang yang periang dan selalu beranggapan bahwa Tuhan itu adalah aku sendiri ( telunjuknya sendiri menusuk dadanya ) dalam Atheis, hal. 104.

Anwar adalah inididualis anarkhis dan suka memaksakan kehendaknya. Dibuktikan pada kutipan di bawah ini :

Ia suka sekali mendesak – desakkan kehendak atau pendapatnya sendiri. Dalam hal ia selalu agresif. Selalu polemis dan mengemukakan dirinya sendiri, seolah – olah dialah saja yang paling pintar, paling benar dan tak diinsyafinya agaknya, bahwa kebenaran itu terlalu besar untuk dimonopoli oleh hanya 1 orang saja, seorang Anwar. ( Atheis, hal 130 )

Ada juga tokoh bawahan seperti Rukmini merupakan wanita penganut agama Islam yang taat, anak seorang raden. Tidak kaku dalam pergaulan, selalu riang dan ramah. Suka sekali bercakap –cakap dan pandai berdandan. Cita – citanya dalah mengabdi dan memajukan Islam.