Minggu, 09 Oktober 2011

Analisis Cerpen " Langit Makin Mendung" Karya Kipandjikusmin


 Penghinaan Abstraksi dan Kemuliaan Tuhan Serta Nabi-Nya
 Karya : Hartana Adhi Permana



Tulisan ini saya angkat sebagai topik tanpa memiliki tendensi apa-apa. Apalagi, bermaksud mengungkit-ungkit “luka lama” tentang polemik antara kubu yang pro dan kontra terhadap keberadaan “Langit Makin Mendung”. Juga sejarah sastra Indonesia juga telah mencatatnya dalam “dokumen hitam” sebagai wujud “konflik” yang (nyaris) tak pernah berujung antara kebenaran “imajinasi” dalam teks sastra dan kebenaran objektif dalam realitas kehidupan. Saya juga tak bermaksud mengaitkannya dengan “heboh nabi baru” dalam isu mutakhir Indonesia saat ini yang juga disinggung-singgung dalam “Langit Makin Mendung”. Anggap saja tulisan ini sebagai nostalgia “tragik” yang menimpa seorang penulis berbakat Kipandjikusmin yang akhirnya harus terdepak dari “singgasana” sastra Indonesia akibat “menghamba” pada liarnya imajinasi dan ke-”kenes”-annya dalam mengangkat persoalan-persoalan religi yang peka dan rentan konflik.

Cerpen Langit Makin Mendung bertutur tentang Nabi Muhammad yang turun kembali ke bumi. Muhammad diizinkan turun oleh Tuhan setelah memberi argumen bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab kenapa akhir-akhir ini umatnya lebih banyak yang dijebloskan ke neraka. Upacara pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam yang dianggap sebagai pinisepuh swargaloka didapuk memberi pidato pelepasan. Dengan menunggangi buroq dan didampingi Jibril, meluncurlah Muhammad. Di angkasa biru, mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Rusia yang sedang berpatroli. Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur tak keruan. Sedangkan, Muhammad dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang empuk. Tak disangka, awan empuk itu berada di langit-langit. Untuk menghindari kemungkinan tak terduga, Muhammad dan Jibril menyamar sebagai elang. Dalam penyamaran itulah, Muhammad berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia dengan bertengger di puncak Monas (yang dalam cerpen itu disebut “puncak menara emas bikinan pabrik Jepang”) dan juga di atas lokalisasi pelacuran di daerah Senen.

Lewat dialog antara Muhammad dan Jibril maupun lewat fragmen-fragmen yang berdiri sendiri, Kipandjikusmin memotret wajah bopeng tanah air masa itu: negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala macam perilaku lacur, nista, maksiat, dan kejahatan tumbuh subur. Lewat cerpen ini, Kipandjikusmin menyindir elite politik dengan cara culas. Soekarno disebutnya sebagai “nabi palsu yang hampir mati”. Soebandrio yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri disindirnya sebagai “Durno” sekaligus “Togog”.

Cerpen diakhiri dengan sebuah sindiran halus tapi pedas; sebuah sindiran yang persis menancap di ulu hati kepribadian manusia negeri ini. Begini bunyinya: “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”Sebuah cerpen yang sungguh-sungguh “liar” imajinasi. Dalam penafsiran awam saya, “Langit Makin Mendung” bisa dibilang sebagai sebuah cerpen multiwajah. Ada banyak dimensi yang ingin dihadirkan di sana. Politik, ekonomi, agama, sosial, budaya, bahkan juga militer, tampak benar bagaikan mozaik yang saling bertempelan; membangun sebuah desain cerpen yang liar, menegangkan, sekaligus menghanyutkan. Lewat gaya bertuturnya yang kenes, satire, dan sarat kritik, “Langit Makin Mendung” mampu membombardir imajinasi pembaca dan hanyut dalam emosi purba; “gemas”, bahkan mungkin juga geram.

Paragraf pembukanya saja sudah cukup mampu membangkitkan “aura fanatisme” keagamaan bagi pembaca yang terbiasa membaca teks-teks sastra konvensional. Simak saja beberapa penuturannya berikut ini!

Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibuat, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti. ”Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw…

(Tuhan dipersonifikasikan dengan gaya bertuturnya yang kenes: “menggeleng-gelengkan kepala …”)

Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang. Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.
(Kritik terhadap rezim Orde Lama yang suka bernafsi-nafsi dan memanjakan nafsu hedonis, tak peduli terhadap nasib rakyat yang dijerat kemiskinan dan kelaparan).

Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot.

(Satire bagi kalangan wong cilik yang suka mengumbar nafsu birahi, tanpa memikirkan risiko penyakit kelamin).

Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak memimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah ke mana.

(Suasana main hakim sendiri sebagai potret ketidakpercayaan rakyat terhadap supremasi hukum).

Masih banyak ungkapan dan idiom menarik dalam “Langit Makin Mendung” yang terkesan vulgar, tetapi juga subtil; mampu membawa imajinasi pembaca pada suasana “tragis” yang berlangsung ketika negeri ini dipimpin oleh Panglima Besar Revolusi (PBR) Soekarno. Perilaku para elite penguasa yang dinilai korup dan culas tak luput dari bidikan Kipandjikusmin lewat gaya ucapnya yang khas; lugas dan apa adanya.

Terlepas dari kontroversi yang telah memancing emosi “fanatisme” umat Islam, “Langit Makin Mendung” secara literer bisa dibilang sebagai teks sastra yang kaya ide. Penuturan-penuturannya lugas dan tidak terjebak pada narasi yang melingkar-lingkar. Sesuatu yang abstrak bisa dikonkretkan lewat diksi yang bernas dan jernih. Sayang, “talenta” Kipandjikusmin telah terbunuh sebelum benar-benar mampu bertahta dalam singgasana sastra Indonesia. Kekayaan ide, imajinasinya yang liar dan mencengangkan, bisa jadi akan mampu menahbiskan Kipandjikusmin sebagai sastrawan “papan atas” seandainya tidak sembrono dan gegabah dalam mempersonifikasikan Tuhan, Muhammad, atau Jibril.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar