Minggu, 09 Oktober 2011

Analisis Cerpen "Orang-Orang Bloomingthon" Karya Budi Dharma


 Joshua Karabish
Karya : Hartana Adhi Permana



Seringkali yang terabaikan dalam membaca karya-karya Budi Darma adalah kaitan antara tokoh-tokoh yang terkenal dengan karakternya yang aneh dengan latar kota baik dalam arti latar fisik maupun latar sosial. Tokoh-tokoh macam Joshua Karabish, Ny Elberhart, Fanton Drummond, Olenka, Rafilus, dan Ny Talis, hanya dilihat sebatas bagaimana tokoh-tokoh tersebut tampak secara psikologis. Sekalipun cara ini memang dimungkinkan secara tekstual, namun untuk melihat bagaimana tokoh-tokoh dalam karya Budi Darma mewujud tidak bisa dilepaskan dari proses sosial yang memungkinkan tokoh-tokoh memiliki perwatakan yang aneh, pahit, kurang ajar, jauh dari norma sosial yang ideal.

Kebanyakan cara pandang terhadap prosa Budi Darma memang tidak lepas dari teks prosa itu sendiri yang semenjak awal cerita telah menetapkan jenis perwatakan tertentu yang dimiliki masing-masing tokohnya. Cerita berkembang dengan asumsi-asumsi perwatakan yang telah terbayang begitu kalimat dalam paragraf pertama terbaca. Selanjutnya, cerita berkembang dari pijakan awal yang seakan sudah baku tersebut dan semakin menguat dengan pergulatan tokoh dalam berhadapan dengan tokoh lain maupun dengan masalah yang dihadapi. Tokoh utama terhanyut dengan model pikiran dan tipe psikologis tokoh lain dan karena itu pada saat yang sama merefleksikan tipe psikologis tokoh utama sendiri. Ini kenapa nyaris semua karya prosa Budi Darma diangggap tidak atau jauh memberi kemungkinan secara tekstual kepada pembacanya untuk memahami tokoh dalam kaitannya dengan latar kota yang melingkupinya.

Misal tokoh Joshua Karabish dalam cerpen ”Joshua Karabish” dalam kumpulan cerpen Orang- Orang Bloomington (1980). Sosok tokoh Joshua Karabish ini tidak hadir dalam cerita langsung baik orang pertama atau orang kedua. Ia hadir dalam penceritaan tokoh saya. Tentu ini menimbulkan masalah representasi bagaimana tokoh Joshua Karabish hadir di dalam teks dan hadir dalam pikiran pembaca. Tokoh Joshua Karabish tidak memiliki suara sama sekali untuk langsung memberitahukan siapa dirinya secara tekstual kepada pembaca, tetapi melalui tokoh saya. Sekalipun kemudian tokoh ibu, kakak Joshua, pemilik apartemen mengemukakan pendapatnya mengenai tokoh Joshua, pendapat mereka selalu diartikulasikan oleh tokoh saya. Pembaca cerpen ini bukan hanya harus memiliki daya interpretasi yang kuat untuk memahami bagaimana sebenarnya tokoh Joshua Karabish sebenarnya, tetapi terutama harus memahami tokoh saya sendiri. Lapisan-lapisan ini menjadikan kenyataan sesungguhnya dalam teks menjadi kabur atau malah pembaca bisa berprasangka bahwa kenyataan sesungguhnya yang diharapkan tidak ada jika pembaca berprinsip kenyataan ada dalam dirinya (being itself). Kenyataan dalam cerpen ”Joshua Karabish” adalah masalah sudut pandang dan persepsi siapa yang melihat dan siapa yang mengartikulasikan. Nasib buruk yang menimpa Joshua Karabish atau nasib baik yang menimpa Ny Talis dalam novel Ny Talis (1986) bukan disuarakan oleh siapa pun, kecuali orang yang mengartikulasikannya, yaitu tokoh saya.

Lalu, bagaimana melihat latar kota dalam prosa Budi Darma dengan tokoh-tokoh utama yang memiliki jenis aneh, pahit, kurang ajar, jauh dari norma sosial yang ideal? Dari cara bercerita cerpen ”Joshua Karabish” ini sesungguhnya seorang pembaca dapat mengetahui tipe sosial yang menjadi latar cerpen ini. Cara bercerita dengan menggunakan pengakuan tokoh saya ini tidak harus dipahami masalah representasi bahwa realitas tidak ada yang objektif namun subjektif. Pengakuan tokoh ”saya” justru tepat untuk memasuki wilayah tipe sosial dari kota yang memang kehidupan sosialnya selalu mengandaikan keberjarakan antarpenghuninya. Keberjarakan ini sebagai konsekuensi hubungan manusia kota tidak ditentukan oleh nilai-nilai tradisional yang secara melekat diterimanya, melainkan hubungan ini ditentukan oleh berbagai determinasi ekonomi-sosial-politik yang melingkupinya. Tokoh Joshua Karabish adalah sosok khas yang berada dalam lingkungan kota. Mula- mula ia tamat di sebuah kampus dengan gelar diploma kemudian bekerja menjadi penyapu kamar di sebuah rumah sakit. Setelah keuangan kakaknya membaik, ia mendapat bantuan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Indiana, Bloomington, dengan harapan ketika ia lulus ia dapat memilih pekerjaan yang lebih disukainya. Di Bloomington inilah kemudian Joshua Karabish bertemu dengan tokoh saya. Pertemuan ini pun bukan terjadi begitu saja tanpa alasan sosial tertentu. Tokoh saya mengisahkan pertemuannya dengan Joshua Karabish lewat acara pembacaan sajak. Joshua Karabish menuturkan bagaimana ia tertarik dengan tokoh saya di acara itu ketika tokoh saya mengatakan bahwa ia bukanlah penyair hebat dan karena itu ia hanya bisa membaca sajak karya Yeats.

Simpati Joshua Karabish tercurah kepada tokoh saya dan justru bukan kepada teman-teman seapartemen Joshua sendiri yang menyukai musik cadas, bermain bola dalam apartemen, dan berteriak-teriak setiap kali mengikuti pertandingan olahraga melalui televisi, cukup menjelaskan bagaimana pilihan sosial tokoh Joshua. Demikian juga sebaliknya simpati tokoh saya terhadap Joshua. Keterbatasan ekonomi di satu sisi telah memberi sejenis dorongan sosial tertentu untuk memilih siapa saja yang tepat untuk menjadi anggota kelompok sosialnya. Jika dilihat dari sudut kelompok sosial ini, maka terang kenapa tokoh saya bersahabat dengan tokoh Joshua dan bukan dengan yang lain. Bahwa timbul balas dendam pada diri tokoh saya dengan mengklaim bahwa sajak karya Joshua Karabish sebagai karyanya dalam lomba penulisan sajak, ini menjelaskan bagaimana konflik dalam kelompok sosialnya bukan antarkelompok sosial. Alih-alih dilihat sejenis individu yang independen, yang terwujud justru ambivalensi yang terus-menerus merundung manusia kota. Manusia yang menginginkan privasi yang sempurna, tetapi sebagai makhluk sosial mau tak mau tokoh saya membutuhkan tokoh Joshua. Pun saat tokoh saya tidak sampai hati mengusirnya ketika tokoh Joshua menginap di apartemennya, mempersilakan tokoh Joshua bersamanya menyewa satu kamar, sampai tokoh saya mengetahui Joshua mengidap penyakit aneh, dapat dilihat sebagai ambivalensi pada tokoh saya antara kebutuhannya akan privasi di satu sisi dengan kebutuhannya akan sosialisasi.

Kegagalan dalam berkomunikasi yang dengan jelas diakui Budi Darma sebagai tema yang terus-menerus mengobsesi dirinya sepanjang masa kepengarangannya (1980) dapat kita baca bukan saja dalam cerpen ”Joshua Karabish”, tetapi hampir seluruh karyanya hingga saat ini. Tema kegagalan dalam berkomunikasi ini tak lain dari masalah sosial khususnya masyarakat kota. Masyarakat kota dengan strukturnya yang ketat dari kaitan ekonomi-sosial-politik memosisikan individu sebagai objek-objek yang dependen. Objek-objek yang berusaha keluar dari kungkungan materialisasi struktur, tetapi selalu gagal menjadi subjek yang mandiri dan bebas. Alih-alih mengendalikan infrastruktur, individu-individu di dalam kota tidak lebih pelengkap dari infrastruktur. Dalam keterengah-engahan menghadapi struktur yang mematerialisasi inilah salah satunya berakibat munculnya kegagalan dalam berkomunikasi masyarakat kota.

Kegagalan komunikasi berikut implikasinya berupa tipe psikologis tertentu dari manusia kota bukan masalah yang tepat jika dilihat sekadar masalah psikologi perseorangan, melainkan masalah struktur di mana seseorang berada. Terlebih struktur tersebut adalah kota, maka pemahaman yang telah menjadi baku mengenai unit analisis individu dalam psikologi arus utama mestilah dipertanyakan ulang. Dalam psikologi arus utama, perilaku menyimpang dari norma sosial masyarakatnya didefinisikan sebagai sebuah kekeliruan dalam diri si individu itu sendiri dan untuk mengubahnya diperlukan terapi dari si individu tersebut belaka. Sementara itu, tidak dipertanyakan bagaimana norma sosial yang dijadikan acuan untuk menilai perilaku individu tersebut menyimpang atau tidak mengalami tahap objektivikasi dan selanjutnya internalisasi dalam kesadaran individu-individu penghuni komunitas sosial tertentu.

Dalam pandangan psikologi kritis individu tidak relevan lagi dijadikan variabel bebas sebab ia berada dalam ranah sosial-ekonomi-politik yang sarat politis dan sifatnya memaksa individu-individu di dalamnya. Individu berada dalam determinasi struktur yang melingkunginya. Memang individu dapat dipandang sebagai agen yang mampu membuat tawar-menawar terhadap struktur yang determinis, tetapi seringkali masih bersifat spekulasi teoritis. Karena itu, dalam membaca karya-karya Budi Darma berkenaan dengan ”perilaku menyimpang” tokoh saya dalam cerpen ”Orez”, tokoh tiga perempuan tua dalam cerpen ”Lelaki Tua Tanpa Nama”, tokoh Olenka dalam novel Olenka (1983), kemudian tokoh Rafilus dalam novel Rafilus (1988), bukan masalah tokoh itu seorang diri tetapi masalah kompleksitas struktur di mana tokoh-tokoh tersebut berada, yaitu kota.

Analisis Cerpen "Orang-Orang Bloomingthon Karya Budi Dharma


 Laki-Laki Tua Tanpa Nama
Karya: Hartana Adhi Permana



Cerita pendek pertama pada karya tulisan Budi Dharma – “Orang-orang Bloomington” diberi judul “Laki-laki tua tanpa nama”. Cerpen tersebut memiliki judul yang sangat pas sewaktu dibanding dengan cerita yang terjadi dalam tulisan tersebut.

Perwatakan yang telah dijelaskan di Cerpen tersebut menjelaskan tokoh-tokoh dan sifat-sifat yang mereka miliki dengan cukup jelas dan tak begitu dalam. Darma menjelaskan sifat yang dimiliki oleh 5 tokoh primer yang muncul pada kisah “laki-laki tua tanpa nama”. Dia memperwatakan tokoh-tokoh dengan 2 cara, yaitu dengan  mempresentasikan sifat tokoh dengan jelas (tertulis), dan memaksa sang pembaca membuat inferensi tentang tokoh tersebut dan sikap-sikap mereka. Sewaktu kisah tersebut lagi mengalir, Darma menceritakan kisah sedih yang telah dialami oleh sang “laki-laki tua tanpa nama” hingga sang pembaca bisa merasakan bahwa sifat-sifat yang pertama bisa disebut aneh (menodong pistol dia di luar jendela), adalah sebuah cara untuk menjaga diri. Sang pembaca bisa merasa bahwa sifat laki-laki tersebut menodong pistol keluar jendela adalah sebuah cara yang dipakai laki-laki tua itu untuk menjaga diri dari siapapun yang ingin menyakiti dia. Inilah salah satu cara yang dipakai oleh Darma untuk menjelaskan perwatakan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut.

Tetapi dengan Darma memakai cara perwatakan hingga sang pembaca harus membuat inferensi tentang tokoh-tokoh tersebut, dia juga menjelaskan watak tokoh dengan cara tertulis atau dipresentasikan dengan jelas. Sebuah contoh yang bisa diberi untuk menjelaskan gaya perwatakan tersebut adalah sewaktu tokoh utama pertama menjelaskan tampilan fisik yang dimiliki oleh laki-laki tua tersebut: “…seorang laki-laki tua sekitar enam puluh tahun.”

Dikarenakan oleh kriteria-kriteria yang harus dimilikki oleh sebuah cerpen untuk dipanggil sebuah “cerpen,” yaitu untuk tidak menjelaskan sifat  yang dimiliki oleh tokoh dengan begitu dalam. Darma memakai gaya perwatakan inferensi, yaitu dimana sang pembaca harus memikirkan sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang tokoh dari apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka katakan.

Latar atau setting pada cerpen “laki-laki tua tanpa nama” adalah Fess, tetapi waktu peristiwa kejadian tak dijelaskan; sang pembaca harus membuat sebuah inferensi untuk menjelaskan waktu kejadian. Pekerjaan para tokoh di dalam cerpen tersebut tak di jelaskan, tetapi ada beberapa tokoh sampingan yang diceritakan pekerjaan mereka (contoh: supir taksi, pekerja toko). Tetapi pekerjaan tokoh tak begitu mengganti alur cerita dengan drastis, dan suasana umum yang diperlihatkan kepada cerpen tersebut tak begitu menggantikan alur, tetapi mengasih sebuah tambahan kepada cerpen yang membuat tulisan karya Darma menjadi lebih menarik.

Sudut pandangan yang dipakai pada cerpen “laki-laki tua tanpa nama” adalah sudut pandangan “peninjau”. Pernyataan tersebut bisa dijelaskan dikarenakan sifat-sifat sudut pandangan yang dimiliki oleh sudut pandangan seseorang “peninjau” yaitu: Seluruh kejadian yang muncul di cerita didapatkan dari tokoh, Tokoh memaparkan semua yang dirasa, dilihat, dipikirkan, dihayati, ataupun pengalaman, Tokoh utama hanya melaporkan tokoh-tokoh lainnya.

Sifat-sifat tersebut bisa dilihat pada cerpen “laki-laki tua tanpa nama” karena kisah tersebut diceritakan dengan seseorang tokoh utama yang menjelaskan segala yang ia rasakan, melihat, dan mempikir. Beberapa contoh yang bisa diberi untuk menjelaskan sifat-sifat tersebut bisa dibaca pada cerpen tersebut: “Apa yang terjadi hari berikutnya pun saya kurang tahu, kecuali tubuh saya panas bagaikan terbakar…”. Pada kalimat tersebut tokoh utama menjelaskan perasaan yang dia alami kepada sang pembaca, ini adalah salah satu contoh untuk memperjelaskan sifat-sifat sudut pandangan “peninjau” yang dipakai oleh cerpen “laki-laki tua tanpa nama.”

Gaya Bahasa yang telah dipakai oleh Budi Darma, pada cerita tersebut adalah gaya bahasa yang memakai grammar, penggunaan kata, dan alat-alat literatur yang gampang dan tak begitu komplek. Beberapa alat literatur yang dipakai oleh sang penulis adalah metafora, dan imajeri. Darma memakai alat-alat literatur untuk membuat cerpen tersebut menjadi lebih menarik, sekaligus dengan membuat tulisan karyanya makin menakjubkan dan menarik untuk dibaca; dia membuat gaya tulis khas yang hanya dimiliki oleh sendirinya.

Plot yang terlihat pada cerpen berjudul “Laki-laki Tua Tanpa Nama” bermula dengan latar yaitu di Fess, pada waktu yang tak cukup jelas. Tokoh utama menjelaskan ada penghuni baru pada apartmen milik Nyonya Casper. Permulaan pada cerita tersebut menceritakan adanya penghuni baru yang memungkinan adanya permasalahan pada Fess. Pada titik ini, muncullah pertikaian yang ada pada cerita pendek tersebut. Lelaki tua ini menyebabkan tokoh utama untuk menjadi tertarik kepada alasannya untuk menodongkan pistol miliknya ke luar jendela loteng miliknya. Sewaktu cerpen mengalur, tokoh utama mendapat berbagai informasi mengenai sang lelaki tua tersebut, pada titik-titik tersebut pada alur cerita, sang pembaca merasa bahwa akan ada akhirnya; tetapi sebuah pertikaian baru muncul hingga pengakhirannya menyebabkan Nyonya Casper menembak sang lelaki tua dan mengakhiri pertikaian tersebut yang menyebabkan kematiannya sang lelaki tua.

Alinea Awal yang dipakai oleh Darma cukup menarik perhatian kepada cerpen tulisannya Budi Darma, dengan cara dia langsung mengatakan latar dimana peristiwa kejadian terjadi. Darma mengambil perhatian pembaca dengan melanjutkan cerita dari alinea awal yang menyimpan sang pembaca di tempat kejadian peristiwa.

Alinea akhir yang dipakai oleh Darma bagus dikarenakan oleh akhir yang cukup menarik dan efektif untuk menutup cerita. Pada akhir cerpen tersebut, sang tokoh utama bertanya-tanya kepada diri sendiri, tetapi walaupun sang pembaca melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut, sang pembaca cukup “kenyang” membaca cerpen tersebut, ini bisa dibilang karena pembaca udah mendapat pembukaan, pertikaian, dan pengakhiran yang cukup “mengenyangkan”.

Cerpen " Surabaya" Karya Idrus


 Unsur Intelektual, Imajinasi, dan Emosi
"Surabaya"
Karya : Hartana Adhi Permana





Unsur Intelektual:

1.         “Teriakan-teriakan membelah udara, tapi pemimpin-pemimpin Indonesia membelah dua jantung rakyat. Mereka ini dengan sekuat tenaga memberikan penerangan kepada rakyat, sekutu tidak akan berlaku seperti di Jakarta. Sekutu hanya akan mengambil tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung rakyat yang sebelah percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi tetap mencurigai sekutu.”

Pengarang mengetahui betul tentang keadaan dan kondisi rakyat pada masa ini, dimana rakyat di Surabaya tidak ingin disamakan dengan rakyat Jakarta yang telah lebih dahulu ditindas oleh kejamnya penjajah. Rakyat menginginkan kebebasan dan perlindungan dari para pemerintah serta menginginkan kedamaian diantara kedua belah pihak. Namun disamping rasa kepercayaan yang diberikan rakyat pada pemimpinnya, mereka masih mengkhawatirkan sekutu yang masih akan bertubi-tubi menghancurkan bangsa.

2.         “Satu hari satu malam pertempuran itu. Sudah itu terbang dari Jakarta kepala cowboy dan kepala bandit. Mereka berapat dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Hasilnya sehelai kertas berisi huruf-huruf Inggris dan Indonesia. Dan di bawah huruf-huruf itu tanda-tanda tangan, Sukarno, Hawthorn. Bandit-bandit menyerah dan hanya dibolehkan tinggal dekat pelabuhan.”

Gaya penulisan sang pengarang (Idrus) dengan tidak menyebut pasti siapa si bandit dan cowboy cukup membuat otak berpikir siapa yang dimaksudkan. Sang pengarang tahu benar tentang kejadian waktu itu yaitu kepala cowboy dan kepala bandit berapat dengan pemimpin-pemimpin lainnya dengan hasil bahwa bandit-bandit menyerah dan hanya dibolehkan tinggal dekat pelabuhan.

3.         “Melihat senyum itu, pemuda-pemuda bertambah marah dan keras-keras katanya, “Hendak dibujuknya kita dengan senyum manisnya! Ya, begitu caranya selalu, selalu begitu. Hm, selendang merah, baju putih dan selop biru, he. Dikiranya kita tidak tahu cara-caranya.””

Dalam kutipan ini pengarang secara tersirat menyebutkan alasan mengapa rakyat selalu menaruh curiga kepada siapapun orang, termasuk disini seorang wanita yang memakai selendang merah, baju putih dan sepatu biru dimana sangat mencirikan bendera negara Belanda yang telah menjajah negara ini.
                                                                                            
4.         “Sudah itu rapat memutuskan menerima usul ketua rapat untuk mati semuanya di Surabaya, karena di tempat aman banyak lagi yang akan lahir. Mereka akan bertahan sampai titik darah yang penghabisan.”
Kutipan ini cukup menggugah perasaan karena keyakinan para pejuang atas generasi selanjutnya. Mereka rela untuk mati semuanya di Surabaya, karena di tempat aman banyak lagi yang akan lahir.

Unsur Imajinasi:

1.         “Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitralyur, mortir.”

Imajinasi pengarang yang hebat dalam menamakan senjata sebagai Tuhan dituangkan pengarang dalam cerpen ini agar nuansa peperangan dapat lebih hidup. Maksud pengarang mungkin pada masa itu senjata-senjata memang mempunyai andil besar dalam peperangan. Para pejuang bagai mengagungkan senjatanya secara berlebih hingga terkadang melupakan Tuhan yang sebenarnya.

2.         “Dimana-mana tampak kegelisahan, pada orang-orang, pada mobil-mobil yang menderu-deru di tengah jalan, pada mesin-mesin cetak dan pada anjing-anjing. Anjing-anjing ini menyalak sampai parau, akhirnya suaranya hilang sama sekali dan perutnya kempes seperti ban sepeda bocor, mereka kelupaan diberi makan.”

Penulis mengisahkan suatu keadaan dimana seluruh makhluk hidup merasakan kesulitan hidup pada masa itu digambarkan cukup dramatis dalam kutipan ini. Anjing-anjing sebagai peliharaan mereka pun sampai tersiksa karena kelaparan dalam keadaan mengkhawatirkan ini ditambah kegelisahan dan ketakutan rakyat akan ancaman dalam hidupnya.

3.         “Tank-tank ini turun dari kapal seperti malaikalmaut turun dari langit, diam-diam dan dirahasiakan oleh orang yang menurunkannya. Asap Vesuvius bertambah tebal dan bergumpal-gumpal. Hujan surat selebaran turun dari langit, orang-orang Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada sekutu! Persis seperti perintah Tuhan dalam mimpi-mimpi orang Roma, Hai, orang-orang Roma, kamu harus menyerahkan dirimu kepadaKu, kalau tidak Gunung Vesuvius akan Kuletuskan. Malaikalmaut akan Kuturunkan memusnahkan kamu! – dan persis pula seperti orang-orang Roma, orang-orang Indonesia menolak perintah itu dan tidak mengindahkannya. Malaikalmaut berjalan di atas dunia, menderu-deru dengan giginya yang besar-besar.”

Penggunaan kata ganti dari sebuah ‘tank’ menjadi ‘malaikalmaut’ merupakan imajinasi yang cukup kontras dalam penggunaan bahasa pada umumnya. Selain itu ‘hujan surat selebaran’ yang dimaksudkan pada kutipan ini tidak mengartikan kesungguhan ‘hujan’ melainkan penekanan arti disebarkannya surat-surat agar Indonesia memberikan senjatanya kepada para sekutu. Namun, pada nyatanya rakyat tidak menghiraukan peringatan tersebut dan hasilnya pecahlah peperangan lagi dimana tank-tank menyerang rakyat untuk kesekian kalinya.

4.         “Diudara, di atas kaum pelarian, sering terbang burung-burung putih sebagai perak. Burung-burung itu menderu-deru dan menjatuhkan kotoran sedang terbang itu, peluru-peluru senapan mesin. Kaum pelarian bersiduga cepat masuk got-got. Mereka sangat takut kepada burung-burung putih itu seperti kucing dibawakan lidi. Kotoran-kotoran itu menembus badan-badan kaum pelarian dan meninggalkan lobang-lobang terbakar dalam badan itu. Sudah itu burung-burung itu menghilang, seperti Malaikalmaut yang sudah menjalankan kewajibannya.”

Yang ditangkap dari kutipan ini ialah penyerangan yang dilakukan sekutu dengan menjatuhkan peluru-peluru untuk memberantas Indonesia dari pesawat sehingga para rakyat yang hendak berpindah tempat menuju tempat yang lebih aman nyatanya tidak merasa aman dan berlindung dibalik got-got. Tapi ada diantara rakyat yang terbunuh oleh serangan peluru-peluru itu. Pengarang memadukan kesamaan sayap dalam mengganti kata ‘pesawat’ dengan ‘burung’ sehingga pembacanya dapat berpikir keanehan yang terjadi dimana kotoran burung dapat membuat orang terluka dan bahkan terbunuh.

Unsur Emosi:

1.         “Tidak banyak orang yang mengacuhkan nasib ibu-ibu ini. Mereka berjalan dengan kaki-kaki berat seperti terbuat dari timah menuju tujuan hidupnya yang utama pada waktu itu: kota lain yang aman, rumah tempat menginap. Panas membakar segalanya: daun-daun, punggung manusia dan kerongkongannya. Daun-daun membalikkan diri menghindarkan panas itu, tapi manusia tiada berbuat apa-apa. Mereka terus berjalan, berjalan terus sambil berdiam diri dengan pikirannya masing-masing.”

Pengarang menyertakan emosi yang dirasakan para ibu yang hendak mencari tempat aman untuk menghindari serangan-serangan sekutu. Terik panas yang menyertai perjalanan mereka dilukiskan dengan cukup baik dan menyentuh pembacanya.

2.         “Ia berlari kian ke mari dan berteriak tak keruan. Dirobek-robeknya bajunya, kutangnya, ditanggalkannya kainnya dan dalam keadaan seperti Siti Hawa ia lari kencang-kencang menuju ke Surabaya untuk membelai-belai barang-barangnya dan radio Erresnya.”

Penulis memainkan emosi pembacanya dengan mengisahkan luapan emosi wanita pada kutipan ini sangat berguncang. Hingga ia tak sadar telah merobek pakaiannya serta berlari hanya untuk membelai radio kesayangan punya menantunya. Ia tidak ingin melarikan diri, tapi pada akhirnya ia berlari juga ketika bom itu jatuh di depan rumahnya. Sehingga wanita ini menjadi gila.

3.         “Bergegas-gegas dibukanya pintu kandang anjing itu. Anjing itu menyalak kepada Tuminah, tapi Tuminah tidak mendengarnya, ya ia tidak melihat anjing itu sama sekali. Bau buah-buahan busuk dan kotoran anjing menguap melalui pintu masuk ke dalam lubang hidung Tuminah, tapi Tuminah tidak membauinya. Yang dilihatnya hanya sebidang lantai dalam kamar itu, persis sepanjang badannya dan dibaringkannya badan itu, di atas lantai itu dan segera mendengkur seperti kerbau. Di bawah kakinya dan di ujung kpalanya terdapat onggokan-onggokan kotoran anjing itu dan anjing itu sendiri menjilat-jilat dahi Tuminah dengan senangnya.”

Keletihan Tuminah yang digambarkan pengarang dalam cerpen ini berhasil membawa pembaca larut dalam keadaan yang sama. Tak pedulikan lagi dengan bau busuk maupun kotoran anjing di tempat itu yang diinginkan Tuminah ialah hanya beristirahat dengan tenang tanpa gangguan. Hingga jilat-jilat anjing pemilik tuan rumahpun tak dirasakannya. Beban berat Tuminah sekejap hilang dalam istirahatnya di dalam ruang yang sebenarnya tak layak.

4.         “Tiap waktu lagu ‘Indonesia Raya’ dimainkan, mereka berdiri dengan tegap seperti prajurit dan ikut menyanyikan lagu kebangsaan itu. Setiap orang merasa tengkuknya seperti digili-gili orang. Segala bulu berdiri: bulu tengkuk dan bulu kaki. Dan waktu lagu itu habis, beberapa orang nasionalis tulen menangis dan katanya parau. “Itu yang kita perjuangkan sepanjang masa. Dan untuk itu kita mengorbankan harta benda dan jiwa pemuda-pemuda kita. Bukan main indahnya lagu itu. Ya, perjuangan kita tidak sia-sia!!””

Penulis menggambarkan emosi menggebu-gebu tampak sangat jelas dalam kutipan ini, dimana semangat kemerdekaan mengalir dimasing-masing rakyat untuk berjuang. Keyakinan mereka dalam perjuangan yang tidak mungkin sia-sia setelah mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya muncul. Dan tentunya kutipan ini dapat sampai juga pada pembacanya, bahwa semangat pejuang untuk mempertahankan negara sangat besar.

Analisis Cerpen "Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya Karya Ni Komang Ariani


 Penyesalan yang Tak Ada Gunanya
 Karya : Hartana Adhi Permana



            Salah satu cerpen yang cukup manrik perhatian saya ini adalah begitu saya membaca judulnya saja, di sana memiliki simbol yang luas tentang cerita ini. Cerpen yang berjudul “Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya” ini terselip makna yang cukup besar. Tentunya saya menerjemahkan simbol tersebut yaitu cerita tokoh perempuan yang diceritakan oleh tokoh “aku” ini yang tidak bukan adalah suaminya sendiri adalah seorang perempuan karir yang banyak memberikan ide-idenya kepada perusahaannya sendiri. Sehingga tokoh “aku” banyak menceritakan bahwa istrinya ini telah lupa kepada kesehatannya, karena istrinya ini gila kerja dan gila kepada ide-idenya yang diberikannya sehingga banyak sekali teman-temannya yang iri kepadanya.

            Cerpen ini dimulai dengan penyesalan tokoh “aku” yaitu sebagai suami dari tokoh perempuan ini yang sebagaimana terkutip pada kutipan berikut ini:

“Inilah saatnya aku menyesal telah menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya. Tidak cukupkah ia menjadi perempuan biasa saja, seperti aku suaminya yang merasa cukup hidup sebagai orang biasa. Seharusnya aku tahu perempuan ini akan memilih cara kematian yang indah untuk dirinya sendiri”.

        Kutipan tersebut bisa diterjemahkan sebagai penyesalan seorang suami yang telah menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya sendiri. Istrinya adalah seorang yang ambisius dan tidak cukup sebagai perempuan biasa saja, beda dengan suaminya yang merasa berkecukupan sebagai orang biasa. Dan tokoh “aku” menyesal karena tidak tahu bahwa istrinya itu memilih cara yang indah untuk dirinya sendiri.

            Dalam cerpen ini juga saya cukup menarik perhatian saya yaitu tentang kemarahan tokoh “aku” yang dengan marahnya memarahi semua yang ada dibenaknya akibat sakit parah yang menimpa istrinya. Sebagaimana terkutip dalam kutipan berikut:

Saat ini, aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan perintah dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa tidak merasakan dengan benar gejala di tubuhnya samapai semuanya terlalu terlambat. Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan sanak saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.

Dalam kutipan ini penulis menceritakan kemarahan tokoh “aku” yang marah kepada perawat istrinya karena begitu bego menerjemahkan perintah dokter dengan salah, tokoh “aku” juga marah kepada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istrinya sehingga gejala penyakit istrinya tidak diketahui lebih awal. Penulis juga menceritakan tokoh “aku” yang marah kepada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah dokter, dan juga marah pada istrinya sendiri yang dengan tanpa alasan yang jelas tidak merasakn dengan benar gejala di tubuhnya sampai semuanya sudah terlambat. Tokoh “aku” juga begitu marah kepada teman-teman istrinya, teman-temannya dan sanak saudara yang menambah perih hati tokoh “aku” dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.

            Saya juga tertarik dengan kutipan yang terdapat pada paragraf enam sebagai berikut:

“Kata orang, begitu kau berani mencintai, kau akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu merasakan luka terperih di hatimu dan ketakutan yang mengazab jiwamu. Cintaku padanya membuat aku harus siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu menunggu saat-saat terakhirnya.

Mungkin maksud penulis menyertakan kutipan di atas yaitu bahwa orang lain bilang bahwa bahwa kau berani mencintai, kau akan dibuat menderita olehnya. Penulis dengan sengaja menyampaikan suatu pesan kepada pembaca bahwa kalau kau dengan berani mencintai orang itu, kau juga akan dibuat menderita olehnya dengan cara apapun. Mungkin dengan patah hati, ditinggal oleh sang kekasih untuk selama-lamanya, dan mungkin ditinggal selingkuh oleh kekasih sendiri. Ini sangat ironi buat kita yang sering jatuh cinta, karena cinta itu buta. Cinta akan membuat kita merasakan luka terperih di hati kita dan ketakutan yang mengazab jiwa kita. Cinta membuat kita bisa merasakan berbagai rasa mulai dari senang, sedih, kesal, dan bingung dibuatnya. Cinta bisa membuat kita tentram juga bisa membuat kita sakit selamanya. Tetapi, kita jangan sampai terlena dengan sakitnya cinta, kita jangan sampai trauma dengan cinta, karena Tuhan telah menakdirkan kita untuk saling mencintai, tidak hanya cinta kepada lawan jenis dan sesama manusia saja, tetapi kita juga harus cinta pada hewan, tumbuhan dan sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak sampai disitu saja, kita juga harus cinta sama segala hal yang ada di dunia ini.

            Terdapat kutipan yang cukup menarik perhatian saya ataupun pembaca lainnya, yaitu dengan salah satu kutipan berikut ini:

Sesungguhnya aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan segala hal tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di cermin. Sudah seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam hitungan detik, tanpa pernah memperhatikan apa rambutku sudah rapi atau tidak. Seperti apa rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan burung yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar kedinginan dan sayap-sayapku tidak sangguh lagi mengepakkan sayap ke tempat yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya melihat wajahku sendiri.

Dalam kutipan ini tokoh “aku” ingin mengistirahatkan jiwanya sejenak dan melupakan segala hal tentang istrinya sesaat. Tokoh “aku”inging mengintip bayangan istrinya di cermin. Tokoh “aku” ingin mengetahui sudah seperti apakah rupa istrinya saat ini. Dan membandingakan dengan rupa tokoh “aku” yang mungkin tampak sudah seperti tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor, mirip dengan burung basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bunyi. Tokoh “aku” gemetar kedinginan dan sayap-sayapnya tidak sungguh lagi mengepakkan sayap ke tempat yang teduh. Maksud dari kutipan berikut adalah bahwa tokoh “aku” sangat menderita dengan sakit parah yang menimpa istrinya itu. Dia mengibaratkan bahwa rupa dia sekarang seperti tikus got dan burung yang basah kuyup. Dia sangat tertekan dengan sakit yang menimpa dirinya itu. Dia sangat menyesal dengan keterlambatan dia untuk mengetahui penyakit istrinya sehingga kalau dia sudah mengetahui gejala penyakit istrinya sejak dini, mungkin dia langsung memeriksa istrinya ke dokter dengan sesegera mungkin. Tapi ini sudah terlambat baginya.

            Tokoh “aku” tidak percaya ketika dia mendengar kabar terakhir istrinya dari dokter bahwa sudah memasuki babak akhir. Dokter memberikan kabar bahwa istrinya mengidap penyakir kanker paru-paru yang telah menggerogoti tubuh istrinyasudah sampai stadium akhir. Tak ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang umurnya lebih lama lagi. 

            Tetapi dia tidak percaya pada istrinya yang dahulu sebagai pekerja keras dan tubuhnya yang lincah seperti kijang tersimpan penyakit yang begitu ganas. Dia menyesal kembali karena sejak awal tidak mengetahui penyakit istrinya. Dia sangat merasa bersalah. Tetapi dia akan tetap mengenang kepergian istri tercintanya dalam rasa sakit yang jauh merajam hatinya.

            Dengan beratnya nasib yang dihadapinya, tersirat kutipan berikut ini:

Kami akan menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol sampai subuh. Kami saling memeluk dan memberi ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan lama sekalli seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelagak-gelagak tangis tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang terasa terpantul pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba, nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan yang menungguku di sana. Aku merasakan rasa sakit yang tak terperikan dari sebuah bolong hitam besar hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu tiba?

Penulis dengan sengaja menuliskan tentang setelah tokoh “aku” mengetahui bahwa umur istrinya itu sudah tidak lama lagi pergi meninggalkan tokoh “aku” dengan menceritakan keseharian tokoh “aku” yang sudah tidak kuat dan sanggup menanti kepergian istrinya itu. Di samping rasa bersalahnya yang menghantui dia sendiri, juga ketidakinginan sang istri untuk meninggalkan dirinya karena sang istri adalah seorang wanita yang tangguh dan kuat. Tetapi semuanya sudah terlambat karena dokter sudah memberi kabar buruk bagi dirinya dan istrinya.

            Dalam akhir cerita terdapat  sebuah kutipan yang menceritakan tentang kesungguhan hati tokoh “aku” dengan sadarnya bahwa sangat wajar sang istri meninggal dengan cara seperti ini. Berikut kutipannya:
Sungguhkah ini cara kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mengering tepat ketika aku siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali kedalam kehidupan. Aku tahu perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi cintaku padanya aku rela ia memilih.