Minggu, 09 Oktober 2011

Analisis Cerpen "Tuan Alu dan Nyonya Lesung" Karya Zelfeni Wimra


 Kesetiaan yang Tiada Henti
 Karya : Hartana Adhi Permana


           Cerpen yang akan saya analisis ini adalah cerpen terbitan koran Tempo edisi 15 Mei 2011 yang berjudul Tuan Alu dan Nyonya Lesung karangan Zelfeni Wimra penulis dari Kota Padang. Dia lahir di Sungai Naniang, Limopuluah Koto, Minangkabau, Sumatera Barat. Dia juga dikenal giat di kalompok studi Magistra Indonesia, Padang.

            Cerpen ini menceritakann tentang kehidupan sebuah alu kalau dalam bahasa Sunda disebut “halu” dan lesung kalau dalam bahasa Sunda disebut “lisung”. Keduanya adalah pekakas untuk menumbuk padi, buah kopi dan lainnya, caranya dengan cara alu dihentak-hentakkan ke lesung. Penulis sangat baik dalam menceritakan alu dan lesung dengan imajinasinya sendiri sehingga alu dan lesung diibaratkan sebagai pasangan yang saling setia, dan penulis mengibaratkan alu dan lesung sebagai benda hidup yang bisa berbicara sehingga diberi nama Tuan Alu dan Nyonya Lesung.

            Cerita ini dimulai dengan kehidupan Tuan Alu yang awalnya adalah sebatang pohon buah kopi yang diceritakan sehingga seperti manusia. Tuan Alu dahulunya tumbuh sebagai sebatang kopi yang ceria. Akarnya kuat. Batangnya liat. Daunnya rimbun, hijau gelap. Ulat bulu sangat senang mengakhiri petualangannya di salah satu dahan Tuan Alu. Sungguh kehidupan yang sangat nyaman bagi Tuan Alu. Ia terbilang paling rimbun di belantara kebun tinggal itu.

Diceritakan Tuan Alu memeriksa setiap pori-pori kepalanya. Bagian ujung dari tubuhnya yang selalu tertumbuk ke bumi itu kini ia sebut kepala. Ini bermula sejak sebilah parang memangkas badannya. Sejak ia terpisah dari akar yang membesarkannya. Sejak ia memutuskan untuk menerima hidupnya dengan perasaan terbalik. Diceritakan juga dahulunya Tuan Alu mengenal akar yang setiap detik mengedap-menyusup ke perut bumi. Menyerap sari tanah di kirim ke batang, ke daun hingga terbitlah buah dan bunga. Kini Tuan Alu hanya tahu dengan atas dan bawah. Ke atas untuk berayun dan ke bawah untuk menumbuk.

Ada kehidupan baru untuknya. Sisi bagian pangkal yang dulu menopang batangnya kini dibentuk sedemikian rupa yang jika diperlukan akan digunakan untuk menumbuk cekungan batu. Tuan Alu menamaninya kepala sekalipun posisinya selalu di bawah. Kehidupan yang terbalik. Perubahan nasib yang terbalik. Tapi ia menemukan sesuatu yang baru. Sakit sepi yang ia kandung perlahan kikis. Apalagi sejak ia diberi seorang teman yaitu Nyonya Lesung.

Seperti halnya dengan Tuan Alu, penulis juga menceritakan sosok lesung juga seperti manusia atau benda yang hidup. Penulis juga menamainya sebagai Nyonya Lesung. Seperti juga Tuan Alu, Nyonya Lesung hidupnya lumayan memprihatinkan. Dahulunya Nyonya Lesung awalnya terguling-guling digusur arus deras. Hujan paling garang turun berhari-hari dari langit. Kemudian dia tergusur ke tepi. Dahulu Nyonya Lesung tidak mempunyai lubang, tetapi semenjak terguling ke tepi, persis di bawah akar sebatang beringin yang kokoh, ada jalan air di atasnya. Ujung akar beringin yang berpilin meneteskan air itu ke tubuhnya. Tubuh Nyonya Lesung ditusuk setiap hari. Akhirnya dia berlubang. Seperti cerita Tuan Alu, Nyonya Lesung juga ditemukan sepasang tangan. Ia melihat lubang di tubuhnya sebesar kepalanya digenangi air. Kemudian Nyonya Lesung digelandang ke luar dari sungai. Seperti Tuan Alu yang sakit ditebas parang, Nyonya Lesung juga sangat kesakitan sekali karena setelah berhenti dari tusukan air, dia disambut tikaman pahat. Lubangnya diperbesar oleh pahat.

Setelah itu mereka melupakan masa lalu masing-masing. Mereka tidak bisa hidup dengan masa lalu. Mereka sudah dibentuk dan ditetapkan alam untuk bersatu. Mereka tidak mungkin lagi bercerai. Di mana pun, Tuan Alu adalah pasangan Nyonya Lesung. Sampai itu, memang, sampai cerita ini diterbitkan, Tuan Alu dan Nyonya Lesung tidka pernah terpisahkan. Sekalipun hanya satu dua orang menumbuk padi, tepung atau kopi, Tuan Alu dan Nyonya Lesung selalu terlihat bersama.

Kecuali, barangkali, alam berkehendak lain. Misalnya, karena jarang digunakan, ujung badan Tuan Alu kembali menerbitkan tunas lalu menjadi pucuk. Akar pun tersembul dari pangkalnya, menyerap makanan dari sari pati tanah dan akhirnya Tuan Alu tumbuh lagi sebagai sebatang kopi. Begitu juga dengan tubuh Nyonya Lesung, Lantaran jarang ditumbuki Tuan Alu, lubang di badannya kembali mengeras, kembali ke bentuk semula, seperti sebelum dilubangi air. Ia pun menggelinding lagi ke arus sungai. Berendam ke dalam sunyi abadi. Ya, jika alam berkehendak lain.

Dalam cerita ini saya sangat menarik dengan salah satu kutipan  yang dibisikkan oleh Nyonya Lesung kepada Tuan Alu yang sedang bersedih sebagai berikut:

“Jangan bersedih. Sedih itu sama dengan ngarai yang akan menggelindingkan kita kembali ke jurang sepi. Jangan berpikir, bahwa kau saja yang pernah luka, Sayang. Aku juga sudah kembali dari sakit menanggung sakit sepi itu!”.

            Kutipan ini sangat menarik pembaca, karena penulis menceritakan sosok Tuan Alu yang hanya sebatang pohon kopi dan Nyonya Lesung yang sebuah bongkahan batu yang terdampar di sungai sebagai sesuatu yang ada nyawanya dan menyerupai sosok manusia yang ada dalam tokh cerita tersebut. Kejeniusan dan imajinasi seorang penulis cukup dipertaruhkan dalam mengolah sesuatu yang kelihatannya mustahil menjadi sesuatu yang luar biasa. Seorang penulis cerita sangat susah membuat cerita yang objek untuk diceritakannya adalah sebuah benda mati yang tidak bisa diterima akal sehat oleh manusia karena kehidupan kita beda dengan benda mati manapun, karena mereka tidak bisa hisup layaknya seperti kita manusia.

            Saya juga tertarik dengan bagian cerita tentang di mana Tuan Alu yang terbilang paling rimbun di belantara kebun tinggal itu, ia tampak bahagia, selalu riang dan rindang, rupanya sedang mengandung malang. Ia mengidap sakit sepi. Sepi di tengah keramaian belantara. Tumbuh ceria, riang, dan rindang lalu setiap musim menerbitkan buah saja, ia rasakan tidak cukup. Selalu ada yang mengentak-entak dalam umbut batangnya.

            Teman-temannya yang lain, yang sama-sama tumbuh di kebun itu banyak yang iri. Kelemahan dan kesalahannya dicari-cari. Ia dimaki sebab tumbuh susah payah hanya untuk menerbitkan buah yang pahit. Kasihan pada manusia yang suka kopi. Ia dicerca, karena punya anak banyak. Selepas musim berbuah, anak-anak kopi akan bermunculan tidak hanya di sekitar batangnya. Buah yang keluar dari pencernaan luak pun bisa tumbuh di mana pun terserak.

             Juga saya cukup membuat menarik dengan salah satu kutipan pengakuan Nyonya Lesung yang menceritakan satu rahasia kepada Tuan Alu. Penulis sangat apik dalam menceritakan kejadian ini, berikut kutipannya:

Sayang, kau tahu, aku ini batu. Keras. Tapi aku takut air. Karena aku memang telah ditakdirkan keras, kami lawan perasaan takut itu. Ketakutan kami ganti dengan cinta. Maafkan aku Tuan, sebelum bersamamu, aku sudah pernah mencintai air.”

“Setelah hujan deras berhari-hari dan aku tergusur ke tepi, aku mulai memasrahkan diri. Jika cara mengungkap perasaan air seperti itu, aku belajar memahaminya. Sekali lagi, maafkanlah aku, Tuan.”

            Kutipan ini sangat menyayat hati pembaca. Penulis dengan jeniusnya membuat kutipan tersebut tentang pengakuan Nyonya Lesung yang sangat berat untuk diceritakan kepada Tuan Alu tentang kisah cintanya dahulu yang sebelum memadu kasih denga Tuan Alu , dulunya Nyonya Lesung sangat menyayangi air. Pembaca seakan-akan disuguhkan dengan cerita Romeo dan Juliet atau Ramayana dan Shinta yang dengan cinta sucinya mampu membius dan bisa mencampuradukan perasaan pembaca baik dengan rasa sedih, gembira maupun tertawa. Di sini penulis membuat hal seperti. Penulis menceritakan sebuah romansa cinta yang seakan-akan nyata, bak seperti pangeran dan putri yang sedang jatuh cinta.

            Penulis juga secara apik menceritakan kisah ini dengan seimbang, di mana cerita diawali dengan kisah dahulu Tuan Alu dan disambung dengan cerita Nyonya Lesung dengan masa lalunya yang diceritakan hampir menyerupai. Bedanya Tuan Lesung sangat hidup senang dan gembira, sedangkan Nyonya Lesung setiap hari menahan kesakitan karena diterjang tusukan air. Kemudian penulis juga menceritakan secara mendetail tentang pertemuan Tuan Alu dan Nyonya Lesung, sampai mereka hidup bersama sampai sekarang. Sungguh pasangan yang setia tiada henti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar