Minggu, 09 Oktober 2011

Analisis Cerpen "Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya Karya Ni Komang Ariani


 Penyesalan yang Tak Ada Gunanya
 Karya : Hartana Adhi Permana



            Salah satu cerpen yang cukup manrik perhatian saya ini adalah begitu saya membaca judulnya saja, di sana memiliki simbol yang luas tentang cerita ini. Cerpen yang berjudul “Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya” ini terselip makna yang cukup besar. Tentunya saya menerjemahkan simbol tersebut yaitu cerita tokoh perempuan yang diceritakan oleh tokoh “aku” ini yang tidak bukan adalah suaminya sendiri adalah seorang perempuan karir yang banyak memberikan ide-idenya kepada perusahaannya sendiri. Sehingga tokoh “aku” banyak menceritakan bahwa istrinya ini telah lupa kepada kesehatannya, karena istrinya ini gila kerja dan gila kepada ide-idenya yang diberikannya sehingga banyak sekali teman-temannya yang iri kepadanya.

            Cerpen ini dimulai dengan penyesalan tokoh “aku” yaitu sebagai suami dari tokoh perempuan ini yang sebagaimana terkutip pada kutipan berikut ini:

“Inilah saatnya aku menyesal telah menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya. Tidak cukupkah ia menjadi perempuan biasa saja, seperti aku suaminya yang merasa cukup hidup sebagai orang biasa. Seharusnya aku tahu perempuan ini akan memilih cara kematian yang indah untuk dirinya sendiri”.

        Kutipan tersebut bisa diterjemahkan sebagai penyesalan seorang suami yang telah menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya sendiri. Istrinya adalah seorang yang ambisius dan tidak cukup sebagai perempuan biasa saja, beda dengan suaminya yang merasa berkecukupan sebagai orang biasa. Dan tokoh “aku” menyesal karena tidak tahu bahwa istrinya itu memilih cara yang indah untuk dirinya sendiri.

            Dalam cerpen ini juga saya cukup menarik perhatian saya yaitu tentang kemarahan tokoh “aku” yang dengan marahnya memarahi semua yang ada dibenaknya akibat sakit parah yang menimpa istrinya. Sebagaimana terkutip dalam kutipan berikut:

Saat ini, aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan perintah dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa tidak merasakan dengan benar gejala di tubuhnya samapai semuanya terlalu terlambat. Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan sanak saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.

Dalam kutipan ini penulis menceritakan kemarahan tokoh “aku” yang marah kepada perawat istrinya karena begitu bego menerjemahkan perintah dokter dengan salah, tokoh “aku” juga marah kepada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istrinya sehingga gejala penyakit istrinya tidak diketahui lebih awal. Penulis juga menceritakan tokoh “aku” yang marah kepada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah dokter, dan juga marah pada istrinya sendiri yang dengan tanpa alasan yang jelas tidak merasakn dengan benar gejala di tubuhnya sampai semuanya sudah terlambat. Tokoh “aku” juga begitu marah kepada teman-teman istrinya, teman-temannya dan sanak saudara yang menambah perih hati tokoh “aku” dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.

            Saya juga tertarik dengan kutipan yang terdapat pada paragraf enam sebagai berikut:

“Kata orang, begitu kau berani mencintai, kau akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu merasakan luka terperih di hatimu dan ketakutan yang mengazab jiwamu. Cintaku padanya membuat aku harus siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu menunggu saat-saat terakhirnya.

Mungkin maksud penulis menyertakan kutipan di atas yaitu bahwa orang lain bilang bahwa bahwa kau berani mencintai, kau akan dibuat menderita olehnya. Penulis dengan sengaja menyampaikan suatu pesan kepada pembaca bahwa kalau kau dengan berani mencintai orang itu, kau juga akan dibuat menderita olehnya dengan cara apapun. Mungkin dengan patah hati, ditinggal oleh sang kekasih untuk selama-lamanya, dan mungkin ditinggal selingkuh oleh kekasih sendiri. Ini sangat ironi buat kita yang sering jatuh cinta, karena cinta itu buta. Cinta akan membuat kita merasakan luka terperih di hati kita dan ketakutan yang mengazab jiwa kita. Cinta membuat kita bisa merasakan berbagai rasa mulai dari senang, sedih, kesal, dan bingung dibuatnya. Cinta bisa membuat kita tentram juga bisa membuat kita sakit selamanya. Tetapi, kita jangan sampai terlena dengan sakitnya cinta, kita jangan sampai trauma dengan cinta, karena Tuhan telah menakdirkan kita untuk saling mencintai, tidak hanya cinta kepada lawan jenis dan sesama manusia saja, tetapi kita juga harus cinta pada hewan, tumbuhan dan sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak sampai disitu saja, kita juga harus cinta sama segala hal yang ada di dunia ini.

            Terdapat kutipan yang cukup menarik perhatian saya ataupun pembaca lainnya, yaitu dengan salah satu kutipan berikut ini:

Sesungguhnya aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan segala hal tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di cermin. Sudah seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam hitungan detik, tanpa pernah memperhatikan apa rambutku sudah rapi atau tidak. Seperti apa rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan burung yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar kedinginan dan sayap-sayapku tidak sangguh lagi mengepakkan sayap ke tempat yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya melihat wajahku sendiri.

Dalam kutipan ini tokoh “aku” ingin mengistirahatkan jiwanya sejenak dan melupakan segala hal tentang istrinya sesaat. Tokoh “aku”inging mengintip bayangan istrinya di cermin. Tokoh “aku” ingin mengetahui sudah seperti apakah rupa istrinya saat ini. Dan membandingakan dengan rupa tokoh “aku” yang mungkin tampak sudah seperti tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor, mirip dengan burung basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bunyi. Tokoh “aku” gemetar kedinginan dan sayap-sayapnya tidak sungguh lagi mengepakkan sayap ke tempat yang teduh. Maksud dari kutipan berikut adalah bahwa tokoh “aku” sangat menderita dengan sakit parah yang menimpa istrinya itu. Dia mengibaratkan bahwa rupa dia sekarang seperti tikus got dan burung yang basah kuyup. Dia sangat tertekan dengan sakit yang menimpa dirinya itu. Dia sangat menyesal dengan keterlambatan dia untuk mengetahui penyakit istrinya sehingga kalau dia sudah mengetahui gejala penyakit istrinya sejak dini, mungkin dia langsung memeriksa istrinya ke dokter dengan sesegera mungkin. Tapi ini sudah terlambat baginya.

            Tokoh “aku” tidak percaya ketika dia mendengar kabar terakhir istrinya dari dokter bahwa sudah memasuki babak akhir. Dokter memberikan kabar bahwa istrinya mengidap penyakir kanker paru-paru yang telah menggerogoti tubuh istrinyasudah sampai stadium akhir. Tak ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang umurnya lebih lama lagi. 

            Tetapi dia tidak percaya pada istrinya yang dahulu sebagai pekerja keras dan tubuhnya yang lincah seperti kijang tersimpan penyakit yang begitu ganas. Dia menyesal kembali karena sejak awal tidak mengetahui penyakit istrinya. Dia sangat merasa bersalah. Tetapi dia akan tetap mengenang kepergian istri tercintanya dalam rasa sakit yang jauh merajam hatinya.

            Dengan beratnya nasib yang dihadapinya, tersirat kutipan berikut ini:

Kami akan menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol sampai subuh. Kami saling memeluk dan memberi ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan lama sekalli seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelagak-gelagak tangis tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang terasa terpantul pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba, nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan yang menungguku di sana. Aku merasakan rasa sakit yang tak terperikan dari sebuah bolong hitam besar hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu tiba?

Penulis dengan sengaja menuliskan tentang setelah tokoh “aku” mengetahui bahwa umur istrinya itu sudah tidak lama lagi pergi meninggalkan tokoh “aku” dengan menceritakan keseharian tokoh “aku” yang sudah tidak kuat dan sanggup menanti kepergian istrinya itu. Di samping rasa bersalahnya yang menghantui dia sendiri, juga ketidakinginan sang istri untuk meninggalkan dirinya karena sang istri adalah seorang wanita yang tangguh dan kuat. Tetapi semuanya sudah terlambat karena dokter sudah memberi kabar buruk bagi dirinya dan istrinya.

            Dalam akhir cerita terdapat  sebuah kutipan yang menceritakan tentang kesungguhan hati tokoh “aku” dengan sadarnya bahwa sangat wajar sang istri meninggal dengan cara seperti ini. Berikut kutipannya:
Sungguhkah ini cara kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mengering tepat ketika aku siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali kedalam kehidupan. Aku tahu perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi cintaku padanya aku rela ia memilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar