Senin, 15 April 2013

Analisis Cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” Karya Linda Christanty



Menelaah Bahasa dan Makna yang Terkandung dalam
Cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” Karya Linda Christanty

                                              Oleh: Hartana Adhi Permana


 Mengapa sebuah karya patut untuk diapresiasi oleh kita sebagai penikmatnya? Tentu, jawabannya berbeda-beda. Yang jelas, tidak ada salah satu di antara kita dapat memaksakan tafsir dan penafsiran atas sistem tanda yang seolah-olah bergerak masuk menelikung, kemudian bersemayam pada keyakinan setiap manusia. Misalnya, ada yang berkata, “Saya membeli buku ‘Kuda Terbang Mario Pinto’ karena ingin mengenang kembali pegasus kecil dan sama sekali bukan karena Linda Chrystanti, si pengarangnya.” Apa yang dapat kita katakan? Tentu, kita hanya akan tersenyum sambil berharap semoga si empunya berhasil mendapatkan apa yang ia cari.
Tak ada yang salah. Jelas, tak ada yang salah karena makna bersifat arbriter. Ia semena-mena. Bahkan, Tuhan bisa tewas dalam sekejap dalam genggaman jari-jari kita. Tentu saja, itu terjadi bila kita memang sungguh-sungguh menginginkannya. Sama seperti Nietzshe, kita bisa sangat berkuasa atas apa saja. Sebab, memang ada kedaulatan berpikir atas manusia selain tentunya ada juga aspek kesadaran yang menjadi standar nilai di dalam mekanisme kehidupan itu sendiri. Dan makna bergerak sekaligus bersamaan dengan sistem tanda dan tentunya juga bersamaan dengan bagaimana kekuasaan yang ada di sekeliling pemaknaan itu bekerja. Maka, ketika sebuah karya berhasil menerobos sistem pasar, dan telah berhasil menunjukan kemampuannya menancapkan kuku di ruas-ruas ranah publik, ini menjadi hal penting dan patut kita bicarakan. Sebab, sebuah karya atau sesuatu –apapun ketika-, berada di ruang itu, akan memperoleh kembali haknya yang hilang untuk, minimal, dimaki. Apa pentingnya pemaknaan? Dan apa pentingnya kita membicarakan apa pentingnya pemaknaan di sini? Ah, tentu kita harus merelakan tak sedikit waktu buat ini. Sebab,ini sama halnya dengan persoalan pascamembaca, pascamelihat, dan pascamemilih.
Jelas, semua memiliki konsekuensi. Membaca adalah hal yang mudah, tetapi memaknai adalah kerja yang menguras energi beberapa kali lipat dari pada sekadar membaca. Dalam memaknai, kita dipaksa untuk mampu merekonstruksi pemahaman. Sementara, konstruksi pemahaman sudah terlalu lalu-lalang dalam kehidupan. Kita masih pula diharuskan untuk menetapkan pilihan atau bagian mana yang kita percayai. Pemaknaan mengandaikan pemahaman meski dalam banyak hal memahami berarti ‘berdamai’. Tetapi, kita memperoleh tuntutan untuk menyatakan gagasan sampai pada batas pemaknaan. Sehingga, sistem pemaknaan juga adalah usaha keberpihakan. Sebuah tindakan politis dari tubuh kehidupan kita. Bagaimana kedudukan karya? Dalam hal ini, karya sastra. Sebuah kumpulan cerpen `KudaTerbang Mario Pinto` karya Linda Chrystanti. Apa perlunya, kita melakukan usaha pemaknaan dalam hal ini? Apa menariknya seorang Linda Chrystanti dengan `Kuda Terbang`nya?
Karya merupakan kumpulan sistem tanda yang dalam hal ini menggunakan bahasa nonverbal sebagai medium utamanya. Bahwasanya, tulisan (cerpen) adalah media yang dipilih Linda Chrystanti untuk mentransformasikan realitas yang berkembang di sekitarnya. Sementara, bahasa sebagaimana kita ketahui adalah sebuah pernyataan sikap. Itu adalah hal paling mudah yang dapat kita identifikasi. Meski demikian, ia sesungguhnya adalah alat mobilisasi peran yang paling efektif yang dapat digunakan untuk mendukung sebuah program kerja –jelas politis. Kerja-kerja ini mengharuskan kita untuk mau mempelajari teks-teks budaya yang berkembang dan sekian kemungkinan yang dihasilkannya. Pada bahasa ada, gerak perlawanan sebagai sebuah upaya merenkonstruksi realitas melalui pernyataan yang diamini sang pengarang (author). Bahwasanya, di dalamnya, termaktub paham nilai yang jika di-metafora-kan akan menjadi bendera yang dikibarkan si pengarang. Pada Linda, kita akan mengidentifikasi kecenderungan yang ada sekaligus menjawab bagaimana konsistensinya dalam hal tersebut. Yang akan kita gunakan sebagai tonggak -tolakan berfikir- adalah asumsi bahwa karya Linda sepenuhnya bertutur dengan gaya psikologi nonmedik. Hal ini dapat dengan mudah kita lacak melalui permainan kata yang digunakannya.
Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana sikap Linda sebagai author atas bahasa. Sastra-karya, sebagaimana fungsi kerja dalam kehidupan, sudah sejak awal berdiri di antara silang lintas paham. Tetapi, sebagaimana kita memahami dialektika triadik (triad dialectic) Berger; korelasi antara internalisasi, eksternalisasi dan objektifikasi menjembatani ruas-ruas persoalan yang ditimbulkan oleh pemahaman binner. Konsepsi dialektika triadik ini menjadi jalan keluar di antara pertentangan binner. Ini semacam sintesa atas logika yin-yang yang menggenapi korelasi kontradiktif. Sehingga, kini tidak menjadi penting, pernyataan -pun sekaligus pertanyaan -; misalnya, apakah sastra merupakan representasi hidup atau justru sebaliknya. Dengan dialektika triadik ini, kita diajarkan untuk tak menafikkan unsur kesejarahan dalam turbulensi kehidupan seorang pengarang. Bahwa sesungguhnya, ada hal penting dibalik sebuah kerja: bahwa hakikat menjadi sebuah dasar, das sein yang bukan beban atau kemudian sering kita dengar dengan sebutan cemooh `tugas mulia manusia` yang kemudian memang menjadi sebuah keharusan yang wajib. Wajib pada aras ini, diartikan sebagai sebuah bagian yang tak mungkin terpenggal dari tubuh sosial manusia. Bahwa kerja dan karya memiliki implikasi logis secara sosial, yakni pemenuhan kesadaran sebagai seorang manusia yang mampu memanusiakan dirinya maupun sekelilingnya.
Dalam bahasa mudahnya, adalah, kesatuan / penyatuan makro dan mikrokosmik menjadi sebuah harmonisasi yang dialektis. Dengan itu, kita akan mampu membedah kedirian sebuah karya tak terlepas dari teks maupun konteks yang menghinggapinya. Untuk itu, sungguh sangat membantu, misalnya strukturalisme genetik yang dikembangkan Lucien Goldmann: bahwa untuk menjabarkan sebuah kedirian karya kita akan sampai pada satu pemahaman yang lebih baik apabila kita mampu merangkum kisi-kisi struktur karya, memahami subjek atau individu di belakang karya tersebut sekaligus paham pandangan dunia yang melingkupi karya tersebut. Nilai yang ditransformasikan dalam karya akan terungkap melalui intimasi dengan teks dan konteks yang dibangun berdasar kesadaran. Sehingga, tidak ada lompatan ekstrem yang meninggalkan lubang gelap dalam struktur sejarah maupun kebudayaan kita yang berkembang. Dengan metode ini, kita bisa tetap berjaga-jaga untuk sekadar sadar di tengah berbagai kemungkinan.
Kumpulan cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” karya Linda Christanty ini memuat dua belas cerpen. Semuanya bertema kemanusiaan. Variasi bahasan atas narasi besar kemanusiaan ini dihadirkan beragam. Hubungan antara pengalaman kemanusiaan dengan sejenis trauma politis ataupun sekadar berupa penghadiran latar peristiwa politik dapat ditemukan pada cerpen “Makan Malam”, “Pesta Terakhir”, “Danau”, “Rumput Liar”, dan “Makam ke Empat”. Lebih spesifik lagi, peristiwa politis ini dihadirkan atau sangat dikaitkan dengan bentuk kejadian perang. Ini terdapat pada cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”, “Perang”, “Joao”, dan “Qirzar”. Berikut adalah sinopsis dari cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” karya Linda Christanty:
Menjelang senja Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala. Ia tertegun, menengadah, mendekap senjata laras panjang otomatis, dan teringat pesan komandannya, "Biarkan dia lewat, jangan menembak."
Menjelang senja Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala. Ia tertegun, menengadah, mendekap senjata laras panjang otomatis, dan teringat pesan komandannya, "Biarkan dia lewat, jangan menembak."
Gaun lembut Maria Pinto membelah anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Yosef seperti terjebak cinta lama. Dalam baur rasa takut dan ingin, ia tak bisa lari.
Desis angin makin kejam ketika sebuah kereta perang melayang mengikuti arah terbang kuda. Dua pengawal—raksasa berkulit kelam, berambut terurai--menyertai perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka. Yosef membiarkan iring-iringan di langit itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah, mendekap senjata.
Angin pun berangsur tenang. Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah gersang, dan gunung batu terjal di kejauhan kembali memenuhi penglihatannya bersama kenangan pada gadis itu.
Kisah tentang Maria pertama kali didengar Yosef dari teman yang lebih dulu dikirim ke pulau ini, "Makanya kita sulit menang, karena para pemberontak itu punya pelindung. Perempuan lagi. Huh! Menyebalkan."
Maria Pinto semula hanya gadis biasa, sempat kuliah di fakultas sastra sebuah universitas terkemuka di Jakarta dan bertahan sampai semester tiga, sebelum kembali ke negeri jeruk dan kopi. Para penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, atau masuk hutan bersatu dengan babi liar dan rusa.
Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menahbiskan Maria sebagai panglima dengan senjata sihir tua dan kuda terbang, karena dialah yang terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan nyali orang-orang yang bersandar pada hal-hal nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan mimpi.
"Ketika kabut datang, bergulung-gulung melewati medan pertempuran, anggota pasukan kami satu demi satu mendadak gugur dengan luka tembak. Suatu hari kabut itu datang lagi, bergulung-gulung di atas kami dan aku menembaknya, tanpa henti. Ketika kabut lenyap, aku saksikan tujuh orang terkapar mati di tanah. Negeri itu memang ajaib," kisah teman Yosef, tersenyum pahit.
Kini Yosef terkurung dalam kereta yang melaju tengah malam dan gagal memejamkan mata. Rasa kantuknya telah lenyap, bertukar rasa gusar. Kereta ini seperti melayang di tengah gelap. Noktah-noktah cahaya dari perkampungan, seperti barisan kunang-kunang muncul di jendela. Namun, selebihnya gelap pekat. Di sebelahnya duduk perempuan yang asyik menyimak novel Stephen King—begitulah nama yang tertera di sampul buku—dan sesekali tersenyum atau berseru takjub mendengar kisah-kisahnya.
"Tapi, saya tak pernah menembak Maria Pinto dan kuda terbangnya, tak akan, ....ia sangat sakti, percuma saja," ujar Yosef pelan, nyaris bergumam.
Perempuan muda itu terusik sebentar, lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula ia kurang berminat mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan penembak jitu memercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan kasatmata. Tetapi, dia terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang yang hidup-mati dari perang.
Wajah lelaki itu mirip boneka kain kanak-kanak yang terlalu disayang, meski sudah kumal dan koyak-moyak tak dibuang ke tong sampah; wajah penuh luka jahitan. Sepasang matanya sayu berhias bekas-bekas sayatan dekat alis, yang menyerupai sulaman bordir asal jadi dan bermotif sulur di tangan pemula.
"Tadi pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu saya trauma. Kasihan dia. Tapi, ini sudah pilihan," tutur Yosef, memandang lurus ke depan.
Enam bulan lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali tanpa jantung, usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. Kini Yosef satu-satunya anak lelaki dalam keluarga.
"Petinya berselubung bendera besar, besar sekali!" Ada nada bangga bercampur haru.
Perempuan muda malah menggigil. Betapa sunyi mayat yang berongga!
"Kami dari keluarga petani, miskin. Kamu enak bisa kuliah, punya uang untuk jalan-jalan. Kami makan saja susah. Menjadi prajurit membuat kami merasa terhormat. Orang-orang kampung menjadi segan." Kali ini ia pandangi wajah teman duduknya, yang telah kembali menekuri buku.
Ia merasa lega sudah membagi kisah-kisahnya yang terdengar lemah dan pengecut pada perempuan muda ini. Seperti ungkapan menjijikkan dalam roman, ia merasa tenang di sisinya, di sisi orang asing yang bertemu di perjalanan. Apakah ini pertanda ia tengah bersiap menyongsong maut, lalu membuat pengakuan dosa serta jadi amat perasa? Ah, bisikan maut sama sekali belum sampai sempurna.
Kereta terus menembus ke pedalaman, melintasi laut, ladang garam, hutan jati, kebun, sawah, dan perkampungan. Noktah-noktah cahaya timbul-tenggelam di bidang jendela. Keniscayaan yang lain memendarkan nyeri lagi pada ulu hati.
"Saya benar-benar mencintai kekasih saya. Tapi, sore ini saya benar-benar terpukul. Keluarganya tak merestui hubungan kami. Kakak-kakaknya mengancam akan mencelakai saya bila kami nekat juga. Salah seorang pamannya sangat dekat dengan penguasa. Mungkin, gaji saya terlalu kecil dan hidup seperti ini membuat keluarganya khawatir. Mungkin...," tutur Yosef, lirih.
Ia meraih sepotong brownies dari kotak penganan, mengunyah pelan. Lorong kereta begitu sunyi. Orang-orang lelap dalam selimut katun seragam biru tua. Dengkur halus terkadang merayap dari kursi-kursi yang berdekatan, menyerupai rangkaian olok-olok seorang kakek pada cucu tercinta.
"Ya, mungkin tugas saya harus ditunda. Lagi pula di tengah masalah begini, saya jadi tidak cekatan dan malas. Orang yang sedang bermasalah biasanya tak diberangkatkan perang, bisa terbunuh secara konyol."
Tiba-tiba angin berembus kencang di lorong itu. Ia berkawan dekat dengan angin, meresapi desirnya yang tajam atau membuai, membaca tanda-tanda yang terkirim.
"Coba, coba rasakan angin ini," bisiknya, menyentuh pundak perempuan muda.
"Ini bukan angin, tapi udara sejuk dari pendingin," tukas perempuan itu.
"Bila kita berada di posisi yang salah, bau tubuh kita akan tercium oleh musuh. Dengan mudah keberadaan kita diketahui." Ia mulai cemas.
Ia selalu waspada. Hanya satu kali khilaf dan akibatnya, memalukan.
Suatu malam Yosef terpisah dari pasukannya sesudah kontak senjata dengan anggota gerombolan. Ia berjalan sendiri menyusuri sungai di bawah kerlip bintang, mencari perkampungan terdekat.
Menjelang tengah malam, ia sudah mengendap-endap di belakang sebuah gubuk berdinding alang-alang, bergerak dengan moncong senapan terarah ke seluruh penjuru. Tak ada perkampungan, hanya gubuk terpencil di tepi hutan. Yosef berusaha mencuri percakapan yang barangkali terjalin antara penghuni gubuk. Kesenyapan dan kesabarannya saling beradu. Bunyi gesekan sayap-sayap jangkrik makin menggema, mengerat sepi.
Yosef memberanikan diri mendorong pintu gubuk itu dengan laras senapan, sambil bersiap menarik pelatuk bila bahaya datang. Gubuk itu gelap-gulita. Ia menyalakan pemantik. Pemandangan yang hadir membuat jantungnya berderak.
Seorang gadis terbaring di lantai gubuk memeluk kuda kayu bersayap, mainan kanak-kanak. Tenggorokannya bagai tercekik. Namun, tak urung ia mendekat, mengarahkan senapan ke wajah gadis yang terlelap. Butir-butir keringat dingin mulai mengembang pada pori-pori tubuhnya yang lelah.
Nyala pemantik membuat Maria Pinto menggeliat, menatapnya lembut, dan membisu. Sang panglima dan prajurit kini sama-sama sendirian, berhadap-hadapan. Maria Pinto bangkit perlahan, menggerakkan tangan ke udara... dan ribuan kunang-kunang berkumpul memberi cahaya dalam gubuk, menari, dan berpesta.
Maria Pinto melepaskan gaun perinya yang putih. Tubuh telanjang gadis itu menyerupai patung lilin para santa, lalu berangsur bening transparan. Ia bisa melihat jantung, usus, paru-paru, dan tulang-tulang tengkorak gadis tersebut dengan jelas. Kepala mungil yang cantik berubah membesar dengan pupil-pupil mata yang menonjol serta kulit wajah mengeriput. Sekilas ia teringat film tentang makhluk luar angkasa yang pernah ditontonnya di barak dulu.
Keesokan hari, saat embun masih melekat pada pelepah-pelepah ilalang dan rumput, ia sudah tersandar di muka pintu pos penjagaan setempat. Teman-temannya berlari mendekat, memandang heran. Ia malah buru-buru bangun untuk memeriksa tanah sekitar, tanpa berkata-kata. Teman-temannya bingung bercampur ngeri, mengira ia hilang ingatan. Yosef telah raib berhari-hari.
Ia terus membungkuk-bungkuk ke tanah. Tak ada jejak-jejak larsku di tanah yang lunak, pikirnya, kecewa. Mungkinkah sang panglima membawanya dengan kuda terbang kayu setelah melihat prajurit tolol pingsan di hadapannya? Mengapa Maria Pinto tak membunuhnya? Mengapa ia begitu bodoh tak membidikkan senapan ke ubun-ubun gadis itu?
Ia mulai tertawa-tawa, makin lama makin keras. Kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu.... Yosef terus mengucapkan kata itu seperti mantra, berulang-ulang. Perutnya yang kurus terguncang hebat, terpilin-pilin oleh rasa lucu tak tertahankan. Dokter menyatakan dia terserang depresi berat, lalu mendesak komandan pasukan memulangkannya ke zona tenang untuk istirahat sementara waktu. Namun, mustahil meyakini ada zona yang benar-benar tenang di wilayah perang. Ia segera dikirim pulang. Pemulihannya berlangsung cepat, tapi ia dialihtugaskan ke bagian lain.
"Ini rahasia saya, hanya antara kita," ujar Yosef, menyudahi kisahnya.
Perempuan muda menghela napas panjang. Kisah cinta segi tiga yang rumit dan tragis, pikirnya, sedih. Prajurit ini terombang-ambing antara pacarnya dan panglima hantu. Dua-duanya sad ending.
Kereta sebentar lagi mengakhiri perjalanan. Udara makin sejuk. Orang-orang mulai sibuk merapikan rambut, blus, atau kemeja yang kusut, dan menggunakan lagi bahasa tutur mereka. Dua pelayan pria mengumpulkan selimut-selimut penumpang dalam kantong hitam besar, terseok-seok di sepanjang lorong.
"Apakah mau menemani saya malam ini?" Yosef menatap perempuan itu, lurus-lurus.
"Saya ingin menyelesaikan novel ini."
"Saya ingin berjalan-jalan menenangkan pikiran."
"Semoga Anda bisa bersenang-senang."
Mereka berpisah, kembali menjadi asing satu sama lain.
Suatu siang dalam bulan cerah Yosef Legiman mendaki anak-anak tangga gedung pencakar langit di jantung kota, menenteng tas berisi senjata. Hampir sebulan ini dia mengintai seseorang. Ia bersembunyi di salah satu lantai gedung itu, mengawasi sekeliling dengan teropong inframerah, kemudian membiarkan angin menerpa tubuhnya. Ia merasakan arah dan embusan angin, membiarkan sayap-sayap angin menyapu kulitnya, lalu menetapkan posisi membidik yang tepat. Kesalahan membaca angin bisa berakibat fatal. Musuh bisa menyusuri jejak-jejaknya dari aroma tubuh atau amis darah luka yang mengelana dalam partikel-partikel udara. Namun, hidup dan mati adalah bait-bait pantun yang berdekatan, sampiran dan isi yang terikat dalam sajak. Ia siap menghadapi keduanya.
Langit biru muda terlihat sepi. Yosef mulai memasang peredam suara di mulut senjata. Matahari bersinar lunak. Ia kembali mengintai sasarannya.
Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar, sejajar dengan tempatnya berada. Seseorang terlihat mondar-mandir di kejauhan, berbicara pada dua teman. Titik merah dalam lensa Yosef ikut bergerak. Pupil matanya menajam. Ia membayangkan dirinya seekor elang. Kini sasarannya berdiri membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik merah pada lingkaran, menyambar.
Kaca jendela pecah berkeping di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur.
Yosef sudah melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon seluler dan melapor pada sang komandan.
Ketika pertama kali melihat potret perempuan muda itu, Yosef sempat tercenung lama: pemimpin para teroris. Ia teringat perempuan yang dijumpainya di kereta sebulan lalu. Pastilah dia, pikir Yosef. Ya, dunia ini memang kejam pada serdadu. Ia telah membunuh perempuan itu, melenyapkan nyawa orang yang menyimpan sebagian rahasia hidupnya.
Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Jarum-jarum dingin menembus tulangnya. Tubuh Yosef menggigil bercampur nyeri. Ketika hendak beranjak dari tepi jendela, ia melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir, Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya.
Misalnya saja, pada cerpen `Kuda Terbang Maria Pinto` yang mengambil ruang dan waktu di mana aspek psikologis dari seorang manusia prajurit dari satuan gugus depan harus memahami tugas dan kewajibannya. Bedanya, “Kuda Terbang Maria Pinto” mengambil setting Yosef Legiman. Seorang tokoh laki-laki Jawa-Khatolik yang berangkat ke Timor-Timur demi menunaikan tugas keprajuritannya.
Para penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, atau masuk hutan bersatu dengan babi liar dan rusa. Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menasbihkan Maria sebagai panglima dengan senjata sihir tua dan kuda terbang, karena dialah yang terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan nyali orang-orang yang bersandar padahal-hal nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan mimpi.
Cerita tersebut pada dasarnya merekam bagaimana unsur-unsur kewajiban militer yang pada banyak sisi telah mengebirikan manusia sebagai subjek-individu. Bahwa telah terdapat kontrak yang tak terelakkan, keharusan yang ada adalah semata sebuah kewajiban. Dan, hal tersebut, yang pada dasarnya adalah sebuah kebijakan atau instruksi struktural, menjadi mutlak dilaksanakan. Tidak ada lagi subjek-individu yang mahardika.
Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar. Seseorang terlihat mondar-mandir, berbicara pada dua teman. Titik merah dalam lensanya ikut bergerak. Pupil matanya menajam. Ia membayangkan dirinya seekor elang. Kini sasarannya berdiri membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik merah pada lingkaran, menyambar. Kaca jendela pecah berkepingan di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur dilantai. Ia sudah melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon selular dan melapor pada sang komandan.
Pada tataran ini, manusia digambarkan menjadi semacam boneka yang hanya mampu mengikuti aturan main yang bahkan tidak ia buat. Kesadaran yang tak menjadi. Bahkan, begitu mengerikan logika-logika macam ini berkembang. Hannah Arendt, filsuf berdarah Yahudi yang pernah mengalami masa kekejaman Nazi, menyebutnya sebagai banality of evil. Sebuah keadaan di mana kejahatan yang mereka lakukan sepenuhnya diyakini sebagai suatu bentuk kerja yang tak dapat digubah lagi sifatnya. Disiplin adalah agama, dan ketaatan adalah iman.Yakni, sebuah usaha untuk menerima perintah tanpa sedikit pun mengenal kata penolakan. Kini, segalanya bergerak menjadi rutinitas yang termaklumi. Tentu, kita tak akan berusaha berlama-lama di ruang ini. Sebab, yang kita bicarakan adalah bagaimana Linda menjabarkannya kesakitan-kesakitan jiwa yang terjebak dalam raga yang penuh dengan tekanan sistemik sehingga ia tak mampu menyatakan keutuhannya. Lalu bagaimana dia menggambarkan Yosef Legiman pada akhirnya? Apakah semata dosa itu tertanggung pada pundaknya?