Rabu, 06 Februari 2013

Gebyar Puisi Indonesia


Sajak Gadis Dan Majikan
 
Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.
Aku bukan ahli ilmu menduga,
tetapi jelas sudah kutahu
pelukan ini apa artinya…..
Siallah pendidikan yang aku terima.
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,
kerapian, dan tatacara,
Tetapi lupa diajarkan :
bila dipeluk majikan dari belakang,
lalu sikapku bagaimana !

Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.
Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,
Ketika tuan siku teteku,
sudah kutahu apa artinya……

Mereka ajarkan aku membenci dosa
tetapi lupa mereka ajarkan
bagaimana mencari kerja.
Mereka ajarkan aku gaya hidup
yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.
Diajarkan aku membutuhkan
peralatan yang dihasilkan majikan,
dan dikuasai para majikan.
Alat-alat rias, mesin pendingin,
vitamin sintetis, tonikum,
segala macam soda, dan ijazah sekolah.
Pendidikan membuatku terikat
pada pasar mereka, pada modal mereka.

Dan kini, setelah aku dewasa.
Kemana lagi aku ‘kan lari,
bila tidak ke dunia majikan ?

Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Aku bukan cendekiawan
tetapi aku cukup tahu
semua kerja di mejaku
akan ke sana arahnya.
Jangan tuan, jangan !
Jangan seenaknya memelukku.
Ah, Wah .
Uang yang tuan selipkan ke behaku
adalah ijazah pendidikanku
Ah, Ya.
Begitulah.
Dengan yakin tuan memelukku.
Perut tuan yang buncit
menekan perutku.
Mulut tuan yang buruk
mencium mulutku.
Sebagai suatu kewajaran
semuanya tuan lakukan.
Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.
Mereka pegang kedua kakiku.
Mereka tarik pahaku mengangkang.
Sementara tuan naik ke atas tubuhku.                                                           
 (W. S. Rendra)


            Puisi yang berjudul “Sajak Gadis dan Majikan” karya W.S. Rendra ini menceritakan tentang seorang pembantu yang diperlakukan secara tidak wajar oleh majikannya sendiri. Dia merasa risih karena majikannya memeluknya. Dia dipeluk bukan karena dia mendapat hadiah dari majikannya, tetapi ada maksud lain dari pelukannya tersebut.  Dia merasa sial karena selama dia belajar, dia hanya mendapatkan ilmu yang biasa saja tetapi dia tidak tahu ilmu bagaimana caranya menolak bila dipeluk oleh majikannya dari belakang.
            Majikannya telah membuatnya semakin tidak nyaman. Dia sudah tahu maksud dari majikannya telah menyiku tetenya. Dia sangat kecewa pada majikannya karena pacarnya pun tidak pernah memperlakukannya sedemikan itu.
            Orang-orang mengajarkan dia bagaimana caranya untuk membenci dosa, tetapi dia tidak diajarkan bagaimana caranya mencari pekerjaan yang layak untuknya. Dia diajarkan gaya hidup yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan tapi hanya peralatan yang dihasilkan oleh majikannya dan yang hanya dikuasai oleh majikannya. Melihat dari diksinya Alat-alat rias, mesin pendingin, vitamin sintetis, tonikum, segala macam soda, dan ijazah sekolah telah nampak bahwa dia adalah seorang pegawai salon. Pendidikan menuntutnya untuk terikat pada pasar mereka yaitu pada modal mereka.
            Dia telah dewasa. Dia tidak tahu apalagi pekerjaan yang pantas untuk dirinya. Maka dari itu salah satu pilihan nya adalah menjadi seorang bawahan yang harus nurut pada majikannya.
            Dia tidak ingin diperlakukan seenaknya. Dia bukan seorang yang banyak tahu tetapi dia cukup tahu bahwa pekerjaannya akan mengarah pada majikannya. Dia sudah menolak semua yang diperbuat majikannya tetapi apa daya uang yang diselipkan ke behanya adalah hasil dari pendidikannya. Begitulah dengan yakin majikannya memeluknya. Perut majikannya yang buncit menekan perutnya. Mulut majikannya yang buruk telah menciumnya. Semua seperti sah-sah saja majikan memeperlakukan bawahannya. Para anggota masyarakat membantu kebusukan majikannya. Mereka menarik pahanya untuk mengangkang dan majikannya turun naik di atas tubuhnya.
            W.S. Rendra sangat berani menampilkan diksi yang sangat vulgar. Dia merupakan sastrawan yang hebat. Saya kagum akan karya-karya yang ditulis oleh beliau. Dia seakan-akan menyindir akan realita kehidupan yang biasanya orang bawahan selalu diperlakukan secara tidak adil oleh atasannya. Kekuasaan seolah-olah menjadi syarat akan semua keinginan untuk selalu terwujud.







Kepada Istriku 


pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul di dinding-dinding gua

pandanglah dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia
langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata           
(Sapardi Djoko Damono)


          
             Puisi yang berjudul “Kepada Istriku” karya Sapardi Djoko Damono ini menceritakan tentang kesetiaan seorang suami tehadap istrinya. Dia meminta istrinya untuk melihat apa yang masih ada. Pandanglah dia sebelum dia hilang dari pandangan istrinya. Sebelum pohon-pohon di luar tinggal namanya saja tetapi keindahannya telah hilang.
            Pandanglah dia dengan cinta walau semua telah sepi adanya. Ketika istrinya menanayakan tentang kesetiaanya, langit pun menjawab dengan warna birunya dan bumi pun menjawab dengan seberkas bunga yang hanya untuknya.
            Sapardi Djoko Damono merupakan sastrawan yang puitis. Dia sangat pandai merangkai kata untuk dijadikan sebuah puisi yang indah. Pada puisi yang berjudul “Kepada Istriku”ini dia berhasil menuangkan isi hatinya yaitu untuk setia pada seorang istri. Dia ingin membuat istrinya percaya padanya walaupun semuanya terasa telah berbeda.  




Ibuku 


Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan
ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu.
Aku pun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat
yang belum kukenali. Ketika bangun, kurasakan basah
di celana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.

Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal
dan bodoh, jangan membantah guru dan menyanggah buku.
Ibu hanya mengecup jidatku: Buka hidupmu dengan buku.

Pada saatnya beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa
Selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru.
Sambil menahan airmata,  ibu memeluk dan menciumku:
Pergilah. Terbanglah. Aku pun terbang bersayapkan buku
ke antah-berantah yang bagiku sendiri masih entah.

Ketika suatu saat aku pulang ke rumah ibu,
ibu sudah menjadi buku yang tersimpan manis di rak buku.
(Joko Pinurbo)
           


Puisi yang berjudul “Ibuku” karya Joko Pinurbo ini menceritakan tentang kasih sayang seorang Ibu terhadap anaknya. Puisi ini sangat menyentuh hati. Bagi siapa saja yang membaca atau mendengar puisi ini pasti air matanya akan berkaca-kaca atau malah mungkin ada yang menangis.
Diawali dengan ibu yang suka membacakan buku untuk menghantar tidurnya. Dia terbuai mendengarkan ibunya membaca buku sambil membayangkan dan bertanya apabila ada yang tidak dimengerti. Dia pun terlelap dalam mimpi, ketika bangun dia merasa celananya sudah basah. Ternyata dia ngompol dalam dekapan ibunya.
Lalu, bila dia pamit sekolah, ibunya tidak pernah lupa bilang yaitu jangan nakal di sekolah dan jangan bodoh. Dan jangan pernah membantah guru dan menyanggah buku. Ibu megecup jidatnya dan berpesan untuk membuka hidup dengan buku.
Ketika umurnya telah dewasa dia harus meninggalkan ibunya sebab tak selamanya dia hidup dengan belaian ibunya. Dia harus mencari jati dirinya. Sambil menahan air mata, ibu memeluk dan menciumnya. Ibunya berpesan lagi yaitu pergilah dan terbanglah. Dia pun pergi dan terbang dengan berbekal ilmu yang tak tahu harus kemana dia berpijak.
Namun, saat dia sudah kembali pulang ke rumah ibunya, ibunya sudah meninggal dalam keadaan damai di sisi Tuhan.
Joko Pinurbo merupakan sastrawan yang hebat. Dia sanggup menghipnotis pembaca untuk bisa larut dalam lantunan syair-syair yang ditulisnya. Puisi ini penuh dramatis. Saya sendiri sebagai pembaca sempat terhanyut suasana yang ada dalam puisi tersebut. Sungguh. Dia adalah sastrawan yang menakjubkan.