Selasa, 20 Maret 2012

Sastra Bandingan: Pengaruh

Antara Kehendak dan Kerelaan
Oleh: Hartana Adhi Permana


 
Untuk yang kesekian kalinya saya menemukan sebuah buku yang tidak ada bandingannya. Betapa tidak, sebuah karya fenomenal yang berjudul “Anak Bajang Menggiring Angin” dari seorang filsuf yang juga menghadirkan karya-karya sastra yang begitu fantastis, yaitu Sindhunata. Inti ceritanya adalah kisah pewayangan Ramayana yang mungkin tidak asing bagi masyarakat Jawa atau Sunda, yang membuat buku ini berbeda adalah tata bahasa buku ini sangat indah sekaligus puitis dan ritmis. Saya pertama kenal buku ini ketika kelas 2 SMA, hampir genap empat tahun yang lalu. Saya jatuh cinta pada buku ini ketika pertama saya membacanya. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa ada sebuah buku yang menceritakan keanggunan dan kecantikan seorang wanita tanpa menggambarkannya dengan kata-kata porno dan tidak terkesan melecehkan. Tetapi, sampai saat ini masih banyak kata-kata dalam buku ini yang kurang saya pahami maksudnya karena ditulis dalam bahasa pewayangan. Seperti kutipan berikut.

"Sinta seramping seberkas cahaya ilahi yang memancar dari mata asamaara dewa surya. Kata-katanya merdu bagai suara embun yang malas jatuh dari pucuk daun kembang-kembangan. Bunga pudak hutan buru-buru memperelok diri ketika iri menyaksikan betis dewi sinta yang menyala seperti bianglala dan bunga-bunga angsoka itu lebih memilih mati daripada harus disingkirkan dari buah dadanya yang bundar laksana sepasang matahari senja yang terbelalak dirayu asamaara ketika menyaksikan bulan sedang mandi”. (Anak Bajang Menggiring Angin, Sindhunata, 1983).

Cerita Ramayana yang kita tahu memang identik dengan latar belakang dan budaya Hindu, tapi cerita ini justru ditulis oleh Sindhunata yang seorang Jawa Nasrani. Hal ini membuat saya berpikir bahwa nilai kebaikan dan humanisme mampu melewati batas agama dan bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan bagi penganutnya. Buku ini merefleksikan kedalaman spiritual dan pemahaman hidup sang penulis terlepas dari apapun kepercayaan yang dianutnya.

Dalam epos Ramayana, Sinta selalu digambarkan sebagai wanita yang lemah dan patuh pada Rama. Rama sendiri digambarkan sebagai pria yang sempurna, ia adalah raja yang bijaksana. Simbol-simbol tersebut merupakan gambaran yang terjadi pada masyarakat dulu sampai sekarang. Simbol bahwa wanita selalu digambarkan sebagai makhluk yang lemah, yang tidak mempunyai kehendak atas dirinya. Simbol tersebut juga merupakan gambaran tatanan masyarakat sekarang yang menempatkan pria lebih tinggi dari wanita atau patriarki.

Sindhunata memiliki kepekaan luar biasa untuk menjelaskan kakawin Ramayana itu secara surealis. Alam khayangan yang tergambar di sana terasa suralis. Sebab alam itu memang belum terjamah akal manusia. Kita juga meraba-raba, apakah seperti itu suasananya? Tapi itu menjadi tidak penting, karena yang lebih penting adalah apa yang kita peroleh setelah membaca buku itu. Adakah  pengayaan rohani setelah membacanya?

Cerita ini dimulai dengan kisah awal mula kelahiran Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka. Seorang Begawan Wisrawa yang memutuskan untuk menemui Prabu Sumali demi memintakan Dewi Sukesi untuk dijadikan istri Danareja, anak Wisrawa. Tetapi sesampainya di Alengka, Wisrawa memutuskan bersedia untuk menjelaskan apa itu Sastra Jendara pada Sukesi. Pada saat proses menjelaskan inilah, Batara Guru dan Dewi Uma mencoba kebersihan niat dua manusia ini, yang ternyata berakhir dengan niat yang berbelok. Wisrawa yang berniat mendapatkan Dewi Sukesi untuk anaknya, malah menghamili perempuan itu. Dua manusia itu akhirnya diusir dari Lokapala.

Hingga akhirnya di tengah sebuah hutan, Sukesi melahirkan kandungan, berupa darah, telinga, dan kuku manusia. Tak lama darah itu menjadi anak dengan sepuluh muka raksasa yang dinamai Rahwana. Telinga menjadi anak raksasa sebesar Gunung Anakan dan dinamai Kumbakarna. Dan kuku menjadi anak raksasa wanita yang tidak sedap baunya, Sarpakenaka.

Lalu kisah Sugriwa, kisah pembebasan Dewi Sinta oleh Ramawijaya dan pasukan kera yang dipimpin Anoman, dan kisah-kisah lain.

Sindhunata memiliki kemampuan cara bertutur yang indah. Entahlah, kadang di sebuah cerita atau buku lain saya membaca narasi berbunga sambil mengerutkan kening. Apa ini maksudnya? Pilihan katanya sungguh membosankan maksud saya, saya tidak merasa keluasan pengetahuan si penulis (bukan berarti saya lebih tahu), kegugupan pemilihan contoh analogi, dan peletakkan konteks yang kurang tepat di rasa saya. Tetapi kalau di buku ini tidak, saya merasa takjub terhadap susunan kalimat yang memesona, dan sesuai konteks cerita.

Dewi Sukesi bercahaya seperti menara emas di tengah lautan darah. Kecantikannya mengumandang ke segenap penjuru dunia. Bidadari pun menjadi rendah hati melihat keelokan putri raksasa yang berwujud manusia jelita ini. Sampai mega-mega mengurungkan niatnya menjadi hujan, supaya manusia bisa senatiasa terpukau akan putri bagaikan Dewi Ratih ini. Bibirnya membentuk senyuman bunga angkosa yang manja dibangunkan embun pagi. Matanya mengerling dengan kewaspadaan yang indah dari mata berlian kijang kencana. Rambutnya mengurai menghelai bunga-bungaan tanjung menyulamkan kehidupannya di pelataran bunga kenanga. Busananya direnda benang lentera. Sebagai bulan yang tertutup pelangi, demikian keadaan buah dadanya yang jelita, tersembunyi di balik kain bersulamkan manikan Batari ratih. (hal 7)

Penglihatan menjadi gelap karena debu yang bercampur dengan darah. Sementara petang pun tiba, dan malam pun datang memisahkan mereka. Para balatentara kera mundur ke Suwelagiri, dan raksasa kembali ke perkemahannya di depan benteng kota Alengka.

Tanggal lima pada paro petang bulan yang kelima. Sunyi sepi dan gelap gulita. Bangkai para prajurit berserakan di mana-mana, di tengah tumpukkan bangkai gajah dan kuda-kuda. Angin berembus pelan membawa bau anyir darah. Ada gumpalan darah para prajurit yang membentuk karang-karang padang berwarna merah. Lalu bagai sungai tanpa suara, mengalir darah-darah mereka. Maka terdengarlah suara rumput-rumput lelah, bersama nyanyian burung-burung malam yang berduka. (hal 272)

Tidak memusingkan dan berisi banyak hal, selain kisah-kisah para manusia, batara, dan raksasa di atas. Seperti salah satunya mengenai ilmu lima pancer.  

Kau dilahirkan dalam kesatuan dengan jagad semesta. Pada kelahiranmu kekuatan jagad semesta itu menyatu, menjadi milikmu, berwujud dalam rupa kawah, ari-ari (dua kembar), darah, dan pusar. Maka sebenarnya kau lahir bersama kakang kawah, adhi ari-ari, getih dan puser. Kelima saudaramu itulah yang menemani kelahiran dan hidupmu. Kami semualah kekuatan jagad semesta yang telah melahirkanmu. Dan ketika kau dilahirkan, tersebarlah kawahmu di timur, darahmu di selatan, ari-arimu di barat, dan pusarmu di utara. (hal 208).

Benang merah karya sastra ”Anak Bajang Menggiring Angin,” ini berkisah tentang nafsu yang bersemayam di setiap diri manusia. Tidak peduli dia itu raja, resi, begawan, pertapa, satria atau seekor kera sekalipun. Di sana ada nafsu amarah, nafsu birahi, ataupun nafsu kekuasaan. Bahwa kerinduan akan kesempuraan itu jauh lebih indah dan mulia daripada sudah merasa sempurna dan melupakan kodrat manusia yang akan mudah jatuh tergelincir dalam dosa-dosa.

Kisah Ramayana yang terkenal itu masih sangat relevan untuk menggambarkan karut marut kekuasaan yang sedang melanda bumi Indonesia. Manusia yang berkuasa tak lebih dari sosok Rahwana atau Dasamuka, yang hanya mengejar nafsu dunia, menghalalkan segala cara. Atau sosok manusia bertopeng dusta. Banyak juga tokoh-tokoh agama yang semestinya jadi pantutan ternyata juga hanya mudah berkotbah dan mudah tergelincir dalam nafsu birahi yang semestinya telah berhasil dia kekang erat, seperti tergambar dalam sosok Resi Wisrawa yang jatuh cinta pada Dewi Sukesi. Itulah awal petaka ketika keduanya justru tidak mampu menjalani rahasia kehidupan  yang tersurat dalam ”Serat  Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.” Cinta yang seharusnya tumbuh  sebagai cinta agape, telah tergelincir ke dalam jurang cinta eros yang terlarang!

Persoalan cinta itu menjadi kian pelik ketika dalam sosok  Rama masih meragukan kesucian cinta Dewi Shinta, setelah diculik Rahwana. Apa gunanya mengerahkan ratusan pasukan kera menyeberang ke Alengka, menewaskan ribuan nyawa, hanya untuk membuktikan cinta yang dia tolak sendiri? Ternyata Rama bukanlah sosok lelaki sejati, yang bisa menerima segala kekurangan yang ada. Justru saya menemukan sosok mulia pada diri Hanoman, sosok kera yang berhati manusia. Bukankah memang lebih baik menjadi kera yang berhati manusia, daripada jadi manusia yang berhati kera?

Epos Ramayana, sudah banyak yang tahu alur utamanya. Namun di tangan Sindhunata epos itu menjadi sangat berbeda. Alur Ramayana sendiri semua sudah tahu, sudah jadi, dan sesuai pakem. Namun karena dituturkan dengan diksi yang memikat, juga tafsir yang sedikit berbeda dengan pemahaman “mainstream”, epos kuni itu bukan lagimenjadi cerita yang membosankan.

Satu hal yang istimewa adalah cara pandang pengarang terhadap cerita awal dan ending dari tragedi Shinta, juga terdapat suasana bathin tokoh-tokohnya di akhir cerita. Perang besar itu hanyalah demi sebuah ambisi tak ada yang dihasilkan, kecuali sebuah puing kesia-siaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar