Selasa, 20 Maret 2012

Analisis Novel "Student Hidjo" Karya Marco Kartodikromo


Cinta Tumbuh dengan Seiringnya Waktu
Karya: Hartana Adhi Permana





Student Hijo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Buku ini diterbitkan kembali dengan dua versi pada tahun 2000, oleh Aksara Indonesia dan Bentang, keduanya penerbit dari Yogya. (wikipedia)

Novel ini mencoba berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni Balai Pustaka, bahkan sampai saat ini.

Mas Marco secara lugas juga menunjukkan keberpihakannya kepada kaum bumiputra. Ia menggunakan tokoh Controleur Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang mengkritik ketidakadilan kolonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia.

Novel yang menggambarkan tentang kehidupan kaum priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, seperti kemudahan menimba pendidikan. Suasana masa-masa pergerakan, terutama Sarekat Islam, yang merupakan organisasi masyarakat yang sangat popular.

Kisah diawali dengan rencana orangtua Hidjo menyekolahkan ke Belanda. Ayah Hidjo, Raden Potronojo, berharap dengan Hidjo ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah kolonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke negeri yang dinilai sarat "pergaulan" bebas.

Pendidikan di Belanda ternyata membuka mata dan pikiran yang sangat besar bagi Hidjo. Hidjo sang kutu buku yang terkenal "dingin" dan mendapat julukan "pendito" sampai onzijdig, banci, akhirnya pun terlibat hubungan seksual di luar nikah dengan Betje, putri directeur salah satu maatschapij yang rumahnya ditumpangi Hidjo selama studi di Belanda. Pertentangan batin karena melakukan aib dan panggilan pulang ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk memutuskan tali cinta pada Betje.

Persoalan menjadi sedikit berliku ketika perjodohan dengan Raden Adjeng Biroe yang masih sanak keluarga, meskipun sesungguhnya Hidjo terpikat dengan Raden Adjeng Woengoe, putri Regent Jarak yang sangat cantik. Di akhir cerita, ketegangan mendapat penyelesaian. Kebebasan memilih dan bercinta diangkat ketika Hidjo tidak langsung setuju pada pilihan orangtuanya akan tetapi mencari idamannya.

Rumus perjodohan berubah. Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe. Semua, baik yang menjodohkan dan yang dijodohkan, menerima dan bahagia. Betapa cerita perjodohan tidak selalu berakhir dengan tangis dan sengsara. Juga ditampilkan, bahwa mentalitas Nyai tidak selalu ada dalam diri inlander, yaitu ketika Woengoe menolak cinta Controleur Walter.

Selain itu, pengalaman Hidjo di Negeri Belanda telah membuka matanya. Ia melihat bahwa di negerinya sendiri bangsa Belanda ternyata tidak "setinggi" yang ia bayangkan. Hidjo menikmati sedikit hiburan murah ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau di rumah tumpangan yang mustahil dilakukan di Hindia.

            Tentunya banyak kesamaan dari strukturnya antara novel “Student Hijau” dengan novel “Siti Nurbaya” yang telah kita analisis minggu lalu. Di sini saya akan mencoba mencari persamaan dan perbedaan dari strukturnya antara kedua novel ini. Persamaannya: Keduanya sama-sama berbentuk novel. Sama-sama berbahasa Melayu dan mampu menarik perhatian dunia kesusastraan. Keduanya bertemakan perjodohan, namun Student Hidjo berakhir bahagia. Dalam novel ini Hidjo dijodohkan dengan Woengoe, lalu Widojo dengan Biroe. Mereka semua saling mencintai satu sama lain. Sedangkan Siti Nurbaya berakhir tragis. Siti Nurbaya yang dijodohkan dengan Datuk Maringgih terpaksa melakukan hal tersebut untuk melindungi ayahnya. Hal ini membuat akhir cerita cintanya menyedihkan. Dalam kedua novel tersebut, sama-sama menonjolkan lokalitas dari Indonesia dan memaparkan kesantunan rakyat pribumi terhadap orang lain. Sehingga hal ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa cinta tanah air.

Sedangkan perbedaan dari strukturnya kedua novel ini adalah Student Hidjo terbit pada tahun 1918. Siti Nurbaya terbit pada ahun 1922. Novel Student Hidjo karya Marco Kartodikromo yang merekam semangat zaman kala itu, bersifat pergerakan bumiputera mencari sikap politik yang baru. Pada awal dari cerita novel ini menceritakan tentang Hidjo, intelektual pribumi. Selain mengungkapkan kisah percintaan antar tokohnya, Mas Marco pun secara lugas menunjukkan keberpihakannya kepada kaum pribumi. Di sini  Ia memunculkan tokoh Controleur Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang mengkritik ketidakadilan kolonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia. Siti Nurbaya mengugkapkan keadaan sosial yang mengharuskan orang miskin tunduk kepada orang yang banyak uang. Hal ini dilakukan agar mereka dapat meminjam uang kepada Datuk  Maringgih.

Selain itu, ada nilai moral yang terkandung dalam kedua novel ini diantaranya dalam novel Student Hidjo: Jika belajar harus sungguh-sungguh  jangan  mudah tergoda oleh lingkungan. Kebaikan orang harus dibalas dengan kebaikan pula. Cinta dapat tumbuh seiring berjalannya waktu. Sedangkan novel Siti Nurbaya antara lain; Harus mampu mengorbankan apa pun demi orang yang dicintainya. Menjadi lintah darat sangat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Sedangkan untuk latar belakang kesusastraan masing-masing novel ini yaitu novel Student Hidjo dianggap sebagai sebuah Sastra Perlawanan. Sastra yang melawan arus besar sastra Balai Pustaka ketika itu. Namun perkembangan novel ini mendapat hambatan. Student Hidjo tidak lulus sensor dari penerbit Balai pustaka. Hal ini membuat Student Hidjo dianggap bacaan liar atau kesusastraan Indonesia yang tidak resmi. Sastra ini berjenis realisme sosialis.

Student Hidjo mengguncangkan dunia kesusastraan saat itu. Marco Kartodikromo dengan karyanya Student Hidjo mengkontraskan kehidupan di Nederland dan Hindia Belanda.

Bahkan ada penerbit buku Indonesia Boekoe (I:Boekoe) memasukkan karya ini ke dalam bukunya Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut dibaca Sebelum Dikuburkan. Dalam buku ini mendapat penilaian dari Ismanto, Anton Kurnia, Muhidin M Dahlan, dan Taufik Rahzen. Student Hijo yang ditulis dengan bahasa Melayu rendah atau melayu pasar. Student Hidjo merupakan sebuah karya hasil hubungan kausal antara estetika dan kehidupan sosial, antara kesadaran dan basis material.

Sedangkan untuk novel Siti Nurbaya merupakan hasil karya dari Marah Rusli yang lahir di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889 dan meninggal di Bandung pada tanggal 17 Januari 1968. Pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1922. Novel  ini menempatkan diri sebagai puncak roman di antara roman-roman lain dalam Sastra Indonesia Modern. Penilaian tersebut berdasarkan pemakaian bahasa melayu dan gayanya tersendiri. Hal ini mempermudah pembaca mengerti isi critanya. Novel ini berhasil merebut hadiah tahunan dalam bidang sastra oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969. Dalam Siti Nurbaya, menekankan kehidupan masyarakat Padang, Marah Rusli pun merubah adat yang berlaku pada masa itu yang dianggap melanggar hak asasi manusia.

Student Hidjo tentu saja tidak lulus sensor dari penerbit Balai pustaka yang selama ini menentukan kesusastraan Indonesia yang “resmi”. Student Hidjo merupakan karya sastra yang melawan arus besar sastra Balai Pustaka ketika itu. Juga bagaimana sastra realisme sosialis lahir dari perlawanannya terhadap karya sastara borjuis. Maka tidak salah, jika Student Hijo serta karya sastra Marco Kartodikromo lainnya disebutkan sastra perlawanan, atau istilah Eka Kurniawan dalam pengantar Dongeng Dari Sayap Kiri sebagai Sastra Berpihak.

Tidak heran jika penerbit buku Indonesia Boekoe (I:Boekoe) memasukkan karya ini ke dalam salah satu bukunya “Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut dibaca Sebelum Dikuburkan”, meskipun pemilihan tidak terlepas dari subjektivitas. Dalam buku ini, subyektivitas itu dibangun oleh empat orang, yaitu An Ismanto, Anton Kurnia, Muhidin M Dahlan, dan Taufik Rahzen. Sedangkan sebagian besar dari buku-buku yang hinggap dalam pikiran dapat ditolak atau diterima dengan menggunakan beberapa ukuran. Beberapa kriteria yang dipakai untuk memutuskan suatu karya sastra ke dalam kelompok buku yang wajib dibaca adalah Pertama, tentu saja, buku itu adalah buku karya sastra Indonesia—dalam pengertian yang paling luas, yang artinya akan mencakup buku-buku sajak, novel, esei, catatan perjalanan, biografi, cerita pendek, lakon/drama, fiksi, cerita silat, komik, dan sebagainya. Dengan atribut “Indonesia” dimaksudkan bahwa buku itu pada mulanya ditulis dalam bahasa Indonesia, Melayu Tinggi dan/atau Melayu Rendah/Pasar/Melayu Lingua Franca. Student Hijo yang ditulis dengan bahasa Melayu rendah /melayu pasar tentu masuk ke dalam kriteria yang pertama ini

Kedua, ia harus “menggoncang” kesusastraan Indonesia. “Goncangan” itu harus timbul sebagai akibat dari daya besar yang dimilikinya sebagai karya sastra. Student Hidjo tentunya sangat memenuhi kriteria yang kedua ini. Tentunya kritia ini adalah kriteria yang lebih utama bila dibandingkan dengan kriteria yang pertama. Novel yang berani mengkontraskan kehidupan di Nederland dan Hindia Belanda mampu menggoncang kesusastraan Indonesia. Marco Kartodikromo dengan karyanya Student Hijo memang terlalu jauh bila dibandingkan dengan Maxim Gorki. Tetapi setidaknya keduanya memiliki persamaan yaitu memiliki jiwa penolakan dan sikap untuk melakukan perlawanan terhadap sastra dan seni pada umumuya yang borjuis, kelas atas, megah. Tak lain karya-karya Balai Pustaka.

Dengan isinya yang melawan pemeritahan kolonial Belanda, Student Hijo tentu saja disebut sebagai “bacaan liar”. Penelitian mengenai “bacaan liar” dalam Student Hijo pernah dilakukan secara komprehensif oleh Paul Tickell. Tickell menguraikan struktur analisis antar teks, yakni Student Hidjo sebagai sebuah karya politik yang ditulis oleh seorang penggerak pergerakan dengan Salah Asoehan yang ditulis oleh Abdoel Moeis dan diterbitkan oleh Balai Poestaka. Dalam tesisnya ini Tickell berhasil mengungkapkan hubungan "bacaan liar" dengan pembacanya dan sekaligus membeberkan value (nilai) yang terkandung di dalam teks Student Hidjo. Artinya, Student Hidjo merupakan sebuah karya hasil hubungan kausal antara estetika dan kehidupan sosial, antara kesadaran dan basis material. Selain itu Tickell juga berhasil menjawab bagaimana perspektif negara kolonial dalam memandang "bacaan liar." Kekuasaan kolonial memberi pandangan dan makna untuk "bacaan liar" sebagai bacaan yang mengagitasi rakyat untuk melakukan "pemberontakkan," sehingga penulisnya pun diberi "cap" pengarang liar.

Student Hijo, setidaknya menegaskan dirinya sebagai sastra berlawanan ketika karya Mas Marco ini menyentuh dan merupakan representasi masyarakat Indonesia ketika itu yang dijajah Belanda. novel ini dengan sangat baik telah mencatat hiruk-pikuk suasana perjuangan bumi putera pada masa awal. Cinta, pendidikan, politik, sosio-kultur, dan bahkan semangat nasionalisme terjalin rapi dalam setiab babnya. Maka tidak berlebihan jika Nova Christina/Litbang KOMPAS memberi komentar pada rubrik pustakaloka (KOMPAS, Sabtu, 21 September 2002) bahwa, “Novel ini sebetulnya sudah membuka suatu soal bahwa kesusastraan bukan sekadar penghibur, tetapi suatu wacana politik dan sosial yang mengemban tugas menembus ruang-ruang publik. Pada gilirannya kesusastraan adalah jalan menuju pembebasan dari belenggu ketertindasan.” Novel inipun lahir sebagai sikap politik dari Mas Marco sendiri yang merupakan aktivis revolusioner yang berpindah dari penjara ke penjara. Selain Student Hijo, Sama Rata Sama Rasa, yang merupakan syair terkenal yang menyuarakan kebencian pada kolonial adalah karyanya yang lahir di penjara. Sikap politik dan perjuangannya melawan kolonial Belanda mengharuskannya ditahan dan dibuang di Boven Digoel dan menghembuskan nafas terakhirnya disana. 

Di antara karya-karya Marco Kartodikromo, Student Hijo adalah karya sastra yang paling monumental. Namun dalam buku Lintasan Sastra Indonesia Modern, Jacob Sumardjo mengatakan bahwa karya Marco Kartodikromo yang terpenting adalah Rasa Merdika atau juga disebut Hikayat Soedjanmo. Roman ini menunjukkan adanya pengaruh politik dan komunisme dalam diri Mas Marco. Sebelum menulis Student Hijo, Marco Kartodikromo menerbitkan sebuah novel kontroversial, Mata Gelap, novel ini penuh dengan pornografi sehingga memicu reaksi keras dari masyarakat.

9 komentar:

  1. wah analisis yang luarbiasa bagus ^-^

    BalasHapus
  2. analisisnya merinci banget :D

    BalasHapus
  3. siapa yg menanggapi novel ini bang

    BalasHapus
  4. Hasil cara menanggapi novel ini ya mana sih saya kelas 9 ada pertanyaan cara menanggapi novel karya hidjo

    BalasHapus
  5. Saya sbg guru sangat terbantu dg analisis yg disampaikan , trm ksh

    BalasHapus
  6. Simpulkanlah kedua teks tangapan lukisan afandi dan novel "student hijau"

    BalasHapus
  7. Makna dari setiap paragraf nya apa ya kk

    BalasHapus
  8. Panjang kali lebar, gc dot jawabannya

    BalasHapus