Selasa, 20 Maret 2012

Sastra Bandingan: Analogi dan Kemiripan


Analogi Tradisi dan Kasta Aljazair dengan Bali
dalam Novel Istri Untuk Putraku dan Cerpen Sagra
 
Oleh: Hartana Adhi Permana



 
             Novel Istri Untuk Putraku karya Ali Ghalem adalah sebuah novel alih bahasa yang berjudul A Wife for My Son yang diterjemahkan oleh Rizky Nur Zamzamy dan bahasanya disunting oleh Sapardi Djoko Damono. Ali Ghalem mengangkat perjuangan perempuan yang tidak keras dan tajam, namun caranya yang terkesan hati-hati mengusung gagasan perubahan dan modernisasi, Ghalem lebih menunjukkan bentuk pembelaan terhadap laki-laki. Laki-laki dalam teks dimunculkan juga sebagai korban budaya. Apalagi Ghalem secara tegas membedakan pemikiran tentang perubahan dan modernisasi dengan gagasan feminisme yang diangkat tokoh Fatouma. Dalam karyanya kali ini Ali Ghalem mendeskripsikannya dengan gaya yang sederhana namun cukup memikat para pembacanya, novel ini menguraikan pertentangan antara sebuah tradisi yang sudah mengakar serta dilaksanakan secara turun-menurun dan realitas modern masyarakat Aljazair. Fatiha, sebagai tokoh utama cerita ini, dipaksa kawin oleh orangtuanya dengan Husein seorang lelaki yang tak dikenalnya. Dari sini dapat disimak betapa gigih dan penuh derita perjuangan Fatiha melawan kaidah-kaidah sosial, kultural dan agama yang membelenggunya dalam "peranan wanita."

            Sedangkan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini mengungkapkan nilai-nilai, pemikiran, suasana hati, perasaan, kepercayaan, dan adaptasi kebiasaan masyarakat Bali. Pola penceritaan dengan komposisi kematian dan kehidupan merupakan representasi perpaduan harmonis antara kreativitas pengarang dengan tatanan kehidupan dan kepercayaan masyarakat dalam latar cerita. Gaya bahasa yang dimunculkan oleh Oka Rusmini cenderung feminisme dan vulgar. Cerpen ini memunculkan kebingungan Sagra, tokoh utama, akan siapa dirinya, akan peristiwa kematian-kematian yang datang secara berturut-turut, akan kehidupan orang-orang di sekitarnya, akan tradisi yang mengikat dan membatasi gerak langkahnya. Namun justru kematian tokoh-tokoh ini secara tidak langsung menjawab konflik dalam diri Sagra serta sekaligus menghidupkan cerita.

Dalam kedua karya sastra ini menceritakan pernikahan paksa antara dua kasta yang bertentangan. Seperti dalam Novel Istri untuk Putraku yaitu pernikahan antara Fatiha yang seorang wanita kaum proletar atau rakyat kaum bawah dengan Husein seorang pria kaum borjuis atau pengusaha. Begitu pula dengan Cerpen Sagra tidak menganut tradisi pernikahan beda kasta, yaitu antara Luh Sewir dan Made Jegog yang berkasta Sudra dengan Ida Pidada dan Ida Bagus Baskara yang berkasa Brahmana. Akibatnya terjadi tragedi dan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan di luar nalar manusia menimpa mereka hasil dari kisah percintaan mereka yang tidak dilandaskan cinta. Pernikahan paksa di sini bukan kehendak dari niat dan ketulusan mereka, tetapi tuntutan tradisi di tempat mereka tinggal yang membawa mereka pada keharusan mematuhi tradisi yang sudah mengakar dan dilaksanakan secara turun temurun.

Tema dari Novel Istri Untuk Putraku adalah kehidupan. Terutama kehidupan berumah tangga. Amanat yang terkandung dalam novel ini adalah bahwa kita tidak boleh memaksakan kehendak kepada seseorang apabila seseorang tersebut benar-benar tidak sanggup dan apabila kita ingin membangun sebuah kehidupan baru dengan seseorang sebelumnya kita harus saling mengenal secara mendalam agar kita tidak terjerumus ke dalam sebuah ketidakcocokan yang akan membuat kita tidak bahagia.

Begitu pula Cerpen Sagra juga mengangkat tema tentang kehidupan. Kehidupan Sagra sebagai pengasuh anak dan kehidupan rumah tangga Luh Sewir dengan Ida Pidada dan Made Jegog dengan Ida Bagus Baskara.

“Tampaknya bukan tanpa alasan Sagra dijadikan sebagai judul buku kumpulan cerpen prestisius dengan rentang tahun penciptaan 1994-2000 ini. Sagra bersama-sama Pemahat Abad, Putu Menolong Tuhan, dan Sepotong Kaki dapat dikatakan sebagai cerpen-cerpen masterpieces Oka Rusmini. Keempatnya memperlihatkan kemahiran pengarang mengelola alur yang berlapis-lapis, mengurus tema yang diturunkan dari persoalan rumit kosmologi kasta dan griya yang bagi orang Bali kebanyakan pun mengandung realitas eksklusif, dan bertutur dalam gaya kilas-balik yang memerlukan konsentrasi dan fokus yang biasanya cuma dimiliki pengarang dengan jam tulis telah teruji kumpulan cerita pendek ini tampaknya semakin meneguhkan posisi Oka Rusmini sebagai salah seorang pengarang kuat Indonesia dengan masa depan yang sangat cerah, terutama jika ia terus mengeksplorasi tema yang diangkat dari locus genus yang sangat dikuasainya.” (Horison, September 2001).

Dalam kedua karya sastra ini, pembaca dapat menemukan latar tempat yang diambil oleh kedua pengarang ini, yaitu di daerah yang menganut sistem kasta sebagai latar belakang sebuah masalah dalam cerita mereka. Istri untuk Putraku menjadikan negara Aljazair sebagai tempat pusat tinggalnya para tokoh dan berkembangnya alur cerita. Aljazair, negara bagian Afrika Utara, yang menganut sistem kasta borjuis, yaitu kaum-kaum tingkatan atas dan pemilik modal, serta kasta proletar, yaitu kaum-kaum tingkatan bawah dan buruh. Revolusi Perancis sangat memengaruhi sistem kasta setelah menjajah Aljazair. Sedangkan dalam Sagra, Oka Rusmini menjadikan Bali yang sejak zaman kerajaan di Nusantara sangat menganut pada ajaran keagamaan dan kebudayaan Hindu-Budha. Dengan begitu menguatkan latar belakang kisah pernikahan para tokoh.

            Berbicara tentang tradisi, Fatiha, dia dipaksa kawin oleh orang tuanya dengan lelaki yang tak dikenalnya. Pada saat itu Fatiha masih berusia sangat muda. Ia dapaksa kawin dengan lelaki yang belum ia kenal sebelumnya. Lelaki itu bernama Husein. Dia adalah anak sulung dari keluarga Amor. Husein adalah seorang pekerja bangunan di Paris yang usianya jauh lebih tua dari Fatiha. Sebenarnya Fatiha belum siap untuk menjadi seorang istri. Namun, ia tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Kesedihan Fatiha saat itu disebabkan karena ia tidak suka kawin dengan cara seperti itu. Ia tidak mau hidup seperti ibu-ibu yang hanya terkurung di rumah. Ia ingin bekerja. Menurutnya keputusan orang tuanya untuk menikahkannya adalah sebuah keputusan yang seperti zaman kuno.

            Dalam cerita ini juga menyebutkan ada sebuah tradisi yang sudah lama berakar, yaitu wanita yang sudah bersuami harus bercadar apabila mereka ingin berpergian keluar. Sebuah tradisi dari negara-negara Timur Tengah. Tapi Fatiha sangat menentang tradisi itu dan tidak akan bercadar selamanya. Seperti dalam kutipan berikut.

            “ ....Fatiha merasa terpukul lebih dari biasanya melihat wanita-wanita itu mengenakan cadar, satu hal yang pasti ialah ia tidak akan bercadar selamanaya! Baginya itu hanya lambang kehidupan wanita masa lalu. Ia ingin hidup di masa kini. Ia tidak menyetujui menyembunyikan wajah ini, kendatipun sewaktu-waktu berguna juga ... dan hanya menutupi wajah wanita!”. ( Istri untuk Putraku, 1989: 1-2).

            Akan tetapi, ketika Fatiha sudah menikah dengan Husein, Husein meminta Fatiha memakai cadar. Dan akhirnya Fatiha pun memakai cadar karena takut suaminya marah. Seperti kutipan berikut.

            “Kita pergi, dan kau pakai cadar! Apa yang kau cari? Mau dicemoohkan orang-orang dan bahkan anak kecil? Kau ingin melihat aku ditertawakan? Aku beritahu padamu, mulai hari ini kau keluar pakai cadar atau kau sama sekali tidak keluar! ....Akhirnya ia menoleh ke samping melepas dasternya dan meraih cadar yang telah disediakan oleh ibu mertuanya di lemari. Cadar yang ia pernah bersumpah untuk tetap membiarkannya di sana. Ia memakai benda itu perlahan-lahan pada wajahnya. ...... Husein mengamati Fatiha memakai cadar, tenteram hatinya. Istrinya sudah menyerah.” ( Istri untuk Putraku, 1989: 86-87).

            Cerita dalam Istri untuk Putraku ini, ditambah lagi dengan tradisi Timur Tengah memiliki tradisi pernikahan yang ekstrem, yaitu tradisi pemeriksaan keperawanan bagi gadis yang akan menikah. Menyakitkan. Begitulah yang ingin disampaikan Ali Ghalem, tradisi negara Aljazair yang menginduk pada ajaran agama Islam. Perempuan diibaratkan perhiasan yang harus selalu ditutup, dilindungi dan dijaga segala-galanya. Seperti dalam kutipan berikut.

            “ ...... Bidan tersebut menyusupkan tangannya ke pangkal paha gadis itu, menyentuh bibir, dan kemudian menyusup lebih dalam lagi. Fatiha terlonjak ke belakang dengan keras. Bidan itu bangkit dan menyuarakan teriakan kegembiraan yang segera disambut dan dikumandangkan oleh wanita-wanita lain. ........ si kecil Fatiha masih perawan. Telah dibuktikannya sejak dulu tapi perlu dibuktikan secara terbuka, diumumkan demi kehormatan keluarga. ..... Ia tahu itu adat-istiadat selama berabad-abad wanita harus tunduk kepadanya.” ( Istri untuk Putraku, 1989: 14).

            Begitu pula dengan tradisi dalam Sagra. Tradisi pernikahan kasta karena tuntutan sistem kasta di Nusantara. Ida Ayu Pidada yang keturunan kasta Brahmana mencintai Made Jegog, pria Bali berkasta Sudra. Muncul Ida Bagus Baskara, pria keturunan kasta Brahmana mencintai seorang wanita bernama Luh Sewir dari kasta Sudra. Kisah percintaan berbeda kasta antara dua makhluk yang saling mencintai ditemukan dalam alur cerita cerpen Sagra.

            Dari pernikahan Pidada dan Baskara lahirlah Ida Ayu Cemeti yang sebenarnya merupakan anak dari benih Made Jegog. Sedangkan dari pernikahan Made Jegog dan Luh Sewir melahirkan Luh Sagra, yang merupakan benih dari Ida Bagus Baskara dan sejatinya Sagra merupakan keturunan bangsawan kasta Brahwana.

Entah kenapa perempuan cantik berkasta paling tinggi ini hanya menemukan cintanya dengan lelaki berkasta paling rendah. Lelaki berkasta Brahmana sering digambarkan hanya bisa bermabuk-mabukan, main judi, sabung ayam atau meniduri segala macam jenis perempuan. Dalam cerpen Sagra, misalnya Ida Bagus Astara ditemukan mati di hotel besar dalam pelukan pelacur atau Ida Bagus Baskara yang hanya bisa berfoya-foya dan kemudian mati tenggelam di Kali Badug akibat menegak minuman keras.  

            Dalam kehidupan fisiknya, Sagra pada mulanya hanyalah perempuan sudra, anak Made Jegog dan Ni Luh Sewir. Secara biologis, Sagra lahir dari benih laki-laki bangsawan, Ida Bagus Baskara yang mencintai Sewir. Made Jegog juga sudah menanam benihnya pada rahim Ida Ayu Pidada sebelum ia menikah resmi dengan Baskara. Perkawinan resmi Jegog dan Sewir dapat dikatakan untuk menyelamatkan kebangsawanan Pidada dengan “merelakan” Baskara yang bangsawan mengawini Pidada. Sebagai akibat “perkawinan perkawinan resmi” ini, Sagra kehilangan hak kebangsawanannya sedangkan Cemeti, anak Pidada, menyandang gelar kebangsawanan dari surrogate father-nya, Ida Bagus Baskara. Peristiwa di atas merupakan kematian metafisik Sagra namun sebaliknya merupakan kehidupan metafisik Cemeti.

            Dalam kaitan kasta, dalam Istri untuk Putraku negara Aljazair, negara bagian Afrika Utara yang diceritakan dalam novel tersebut yang menganut sistem kasta borjuis, yaitu kaum-kaum tingkatan atas dan pemilik modal, serta kasta proletar, yaitu kaum-kaum tingkatan bawah dan buruh. Revolusi Perancis sangat memengaruhi sistem kasta setelah menjajah Aljazair. Dalam Sagra, sistem kasta sangat memengaruhi kehidupan dan pandangan mereka. Dalam cerita, ketika Ida Ayu Pidada dari kalangan Brahmana yang sebenarnya mencintai Made Jegog seorang turunan kaum Sudra, dan Ida Bagus Baskara yang keturunan Brahmana mencintai Luh Sewir yang seorang Sudra. Akan tetapi, bencana itu datang. Kedua perempuan itu akhirnya hamil di luar nikah. Untuk menutupi aib besar itu, akhirnya Ida Ayu Pidada menikah dengan Ida Bagus Baskara karena mereka sama-sama berkasta Brahmana, sedangkan Made Jegog menikahi Luh Sewir karena mereka sama-sama keturunan kasta Sudra.

            Dalam Sagra sistem kasta sangat dijunjung tinggi oleh mereka, sehingga dengan adanya kejadian kematian seorang anak di bak mandi. Mereka menyalahkan Sagra dengan tuduhan meninggalkan anak itu sendirian. Sampai-sampai ada usulan untuk sistem kasta dihapuskan. Mereka berpikir bahwa rentettan kematian yang menimpa keluarga mereka adalah adanya sebuah aib, yaitu pernikahan yang bukan seharusnya terjadi. Mereka takut akan kutukan bahwa kaum Brahmana harus menikah kembali dengan kaum Brahmana, sedangkan kaum Sudra tentu harus menikah dengan kasta Sudra. Seperti kutipan berikut.

            “ Mendung pertanyaan menghinggapi benak warga desa.
             Haruskah sistem kasta di Bali dihapus? Apakah kebangsawanan sudah tidak ada artinya lagi? Dan kematian beruntun yang menimba keluarga griya adalah pertandanya?Apakah kesialan yang turun-temurun mengaliri darah Luh Sagra telah menular ke orang-orang terdekatnya?” ( Sagra, 2001: 93-94).

            Kematian-kematian yang mengisi alur Sagra berbeda dengan konvensi kematian dalam cerita detektif. Kematian Prami digunakan untuk melacak dan membeberkan kehidupan dan kematian sistem dan nilai-nilai tatanan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Bali dari generasi ke generasi. Kematian Prami ini membuka kematian-kematian yang dialami oleh tokoh-tokoh lain dari generasi yang berbeda pula. Kematian Pangeran Kodok dan Ida Ayu Manik dari generasi pertama; kematian Jegog, kedua-dua orang tuanya, dan Ida Bagus Baskara dari generasi kedua; kematian Ida Ayu Cemeti dari generasi ketiga; dan kematian Prami dari generasi keempat merupakan kematian tidak wajar yang dalam cerita detektif dikatakan sebagai kematian misterius. Hampir semua kematian fisik tokoh terjadi di sungai Badung akibat tergelincir, terseret arus, atau menenggelamkan diri sedangkan kematian kedua-dua orang tua Jegog akibat tergilas mobil truk mundur.

Ketidakwajaran kematian fisik tokoh-tokoh ini menghidupkan tatanan kebudayaan Bali sehingga perlu diadakan upacara mecaru atau meruwat desa agar penduduk tidak terkena tulah dan terbebas dari kesialan oleh dosa dan kotoran moral yang lekat pada keturunan pelakunya, dan upacara ngaben atau pembakaran mayat sehingga abunya dapat dilarung. Upacara penangkal ini dimaknai sebagai usaha penduduk desa untuk melanggengkan kehidupan fisik mereka. Kematian fisik tokoh disamping berfungsi untuk menghidupkan kehidupan fisik tokoh lain juga berfungsi untuk menggulirkan cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar