Unsur Intelektual, Imajinasi, dan Emosi
"Surabaya"
Karya : Hartana Adhi Permana
Unsur Intelektual:
1. “Teriakan-teriakan
membelah udara, tapi pemimpin-pemimpin Indonesia membelah dua jantung rakyat.
Mereka ini dengan sekuat tenaga memberikan penerangan kepada rakyat, sekutu
tidak akan berlaku seperti di Jakarta. Sekutu hanya akan mengambil
tawanan-tawanan perang dan orang-orang Jepang. Jantung rakyat yang sebelah
percaya kepada kata-kata pemimpin, tapi jantungnya yang sebelah lagi tetap
mencurigai sekutu.”
Pengarang
mengetahui betul tentang keadaan dan kondisi rakyat pada masa ini, dimana
rakyat di Surabaya tidak ingin disamakan dengan rakyat Jakarta yang telah lebih
dahulu ditindas oleh kejamnya penjajah. Rakyat menginginkan kebebasan dan
perlindungan dari para pemerintah serta menginginkan kedamaian diantara kedua
belah pihak. Namun disamping rasa kepercayaan yang diberikan rakyat pada
pemimpinnya, mereka masih mengkhawatirkan sekutu yang masih akan bertubi-tubi
menghancurkan bangsa.
2. “Satu
hari satu malam pertempuran itu. Sudah itu terbang dari Jakarta kepala cowboy
dan kepala bandit. Mereka berapat dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Hasilnya
sehelai kertas berisi huruf-huruf Inggris dan Indonesia. Dan di bawah
huruf-huruf itu tanda-tanda tangan,
Sukarno, Hawthorn. Bandit-bandit menyerah dan hanya dibolehkan tinggal dekat
pelabuhan.”
Gaya penulisan
sang pengarang (Idrus) dengan tidak menyebut pasti siapa si bandit dan cowboy cukup membuat
otak berpikir siapa yang dimaksudkan. Sang pengarang tahu benar tentang kejadian waktu itu yaitu kepala cowboy
dan kepala bandit berapat dengan pemimpin-pemimpin lainnya dengan hasil bahwa
bandit-bandit menyerah dan hanya dibolehkan tinggal dekat pelabuhan.
3. “Melihat
senyum itu, pemuda-pemuda bertambah marah dan keras-keras
katanya, “Hendak dibujuknya kita dengan senyum manisnya! Ya, begitu caranya
selalu, selalu begitu. Hm, selendang merah, baju putih dan selop biru, he.
Dikiranya kita tidak tahu cara-caranya.””
Dalam kutipan
ini pengarang secara tersirat menyebutkan alasan mengapa rakyat selalu menaruh
curiga kepada siapapun orang, termasuk disini seorang wanita yang memakai
selendang merah, baju putih dan sepatu biru dimana sangat mencirikan bendera
negara Belanda yang telah menjajah negara ini.
4. “Sudah
itu rapat memutuskan menerima usul ketua rapat untuk mati semuanya di Surabaya,
karena di tempat aman banyak lagi yang akan lahir. Mereka akan bertahan sampai
titik darah yang penghabisan.”
Kutipan ini
cukup menggugah perasaan karena keyakinan para pejuang atas generasi
selanjutnya. Mereka rela untuk mati
semuanya di Surabaya, karena di tempat aman banyak lagi yang akan lahir.
Unsur Imajinasi:
1. “Tuhan
baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitralyur, mortir.”
Imajinasi pengarang yang hebat dalam menamakan senjata
sebagai Tuhan dituangkan pengarang dalam cerpen ini agar nuansa peperangan
dapat lebih hidup. Maksud pengarang mungkin pada masa itu senjata-senjata
memang mempunyai andil besar dalam peperangan. Para pejuang bagai mengagungkan senjatanya secara
berlebih hingga terkadang melupakan Tuhan yang sebenarnya.
2. “Dimana-mana
tampak kegelisahan, pada orang-orang, pada mobil-mobil yang menderu-deru di
tengah jalan, pada mesin-mesin cetak dan pada anjing-anjing. Anjing-anjing ini
menyalak sampai parau, akhirnya suaranya hilang sama sekali dan perutnya kempes
seperti ban sepeda bocor, mereka kelupaan diberi makan.”
Penulis mengisahkan suatu keadaan dimana seluruh
makhluk hidup merasakan kesulitan hidup pada masa itu digambarkan cukup
dramatis dalam kutipan ini. Anjing-anjing sebagai peliharaan mereka pun sampai tersiksa
karena kelaparan dalam keadaan mengkhawatirkan ini ditambah kegelisahan dan
ketakutan rakyat akan ancaman dalam hidupnya.
3. “Tank-tank
ini turun dari kapal seperti malaikalmaut turun dari langit, diam-diam dan
dirahasiakan oleh orang yang menurunkannya. Asap Vesuvius bertambah tebal dan
bergumpal-gumpal. Hujan surat selebaran turun dari langit, orang-orang
Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada sekutu! Persis seperti perintah Tuhan
dalam mimpi-mimpi orang Roma, Hai, orang-orang Roma, kamu harus menyerahkan
dirimu kepadaKu, kalau tidak Gunung Vesuvius akan Kuletuskan. Malaikalmaut akan
Kuturunkan memusnahkan kamu! – dan persis pula seperti orang-orang Roma,
orang-orang Indonesia menolak perintah itu dan tidak mengindahkannya.
Malaikalmaut berjalan di atas dunia, menderu-deru dengan giginya yang
besar-besar.”
Penggunaan kata
ganti dari sebuah ‘tank’ menjadi ‘malaikalmaut’ merupakan imajinasi yang cukup
kontras dalam penggunaan bahasa pada umumnya. Selain itu ‘hujan surat
selebaran’ yang dimaksudkan pada kutipan ini tidak mengartikan kesungguhan
‘hujan’ melainkan penekanan arti disebarkannya surat-surat agar Indonesia
memberikan senjatanya kepada para sekutu. Namun, pada nyatanya rakyat tidak
menghiraukan peringatan tersebut dan hasilnya pecahlah peperangan lagi dimana
tank-tank menyerang rakyat untuk kesekian kalinya.
4. “Diudara,
di atas kaum pelarian, sering terbang burung-burung putih sebagai perak.
Burung-burung itu menderu-deru dan menjatuhkan kotoran sedang terbang itu,
peluru-peluru senapan mesin. Kaum pelarian bersiduga cepat masuk got-got.
Mereka sangat takut kepada burung-burung putih itu seperti kucing dibawakan
lidi. Kotoran-kotoran itu menembus badan-badan kaum pelarian dan meninggalkan
lobang-lobang terbakar dalam badan itu. Sudah itu burung-burung itu menghilang,
seperti Malaikalmaut yang sudah menjalankan kewajibannya.”
Yang ditangkap
dari kutipan ini ialah penyerangan yang dilakukan sekutu dengan menjatuhkan
peluru-peluru untuk memberantas Indonesia dari pesawat sehingga para rakyat
yang hendak berpindah tempat menuju tempat yang lebih aman nyatanya tidak
merasa aman dan berlindung dibalik got-got. Tapi ada diantara rakyat yang
terbunuh oleh serangan peluru-peluru itu. Pengarang memadukan kesamaan sayap
dalam mengganti kata ‘pesawat’ dengan ‘burung’ sehingga pembacanya dapat
berpikir keanehan yang terjadi dimana kotoran burung dapat membuat orang
terluka dan bahkan terbunuh.
Unsur Emosi:
1. “Tidak
banyak orang yang mengacuhkan nasib ibu-ibu ini. Mereka berjalan dengan kaki-kaki
berat seperti terbuat dari timah menuju tujuan
hidupnya yang utama pada waktu itu: kota lain yang aman, rumah tempat menginap.
Panas membakar segalanya: daun-daun, punggung manusia dan kerongkongannya.
Daun-daun membalikkan diri menghindarkan panas itu, tapi manusia tiada berbuat
apa-apa. Mereka terus berjalan, berjalan terus sambil berdiam diri dengan
pikirannya masing-masing.”
Pengarang
menyertakan emosi yang dirasakan para ibu yang hendak mencari tempat aman untuk
menghindari serangan-serangan sekutu. Terik panas yang menyertai perjalanan
mereka dilukiskan dengan cukup baik dan menyentuh pembacanya.
2. “Ia
berlari kian ke mari dan berteriak tak keruan. Dirobek-robeknya bajunya,
kutangnya, ditanggalkannya kainnya dan dalam keadaan seperti Siti Hawa ia lari
kencang-kencang menuju ke Surabaya untuk membelai-belai barang-barangnya dan
radio Erresnya.”
Penulis memainkan emosi pembacanya dengan mengisahkan luapan emosi wanita pada kutipan ini sangat berguncang. Hingga ia tak
sadar telah merobek pakaiannya serta berlari hanya untuk membelai radio
kesayangan punya menantunya. Ia tidak ingin melarikan diri, tapi pada akhirnya
ia berlari juga ketika bom itu jatuh di depan rumahnya. Sehingga wanita ini
menjadi gila.
3. “Bergegas-gegas
dibukanya pintu kandang anjing itu. Anjing itu menyalak kepada Tuminah, tapi
Tuminah tidak mendengarnya, ya ia tidak melihat anjing itu sama sekali. Bau
buah-buahan busuk dan kotoran anjing menguap melalui pintu masuk ke dalam
lubang hidung Tuminah, tapi Tuminah tidak membauinya. Yang dilihatnya hanya
sebidang lantai dalam kamar itu, persis sepanjang badannya dan dibaringkannya
badan itu, di atas lantai itu dan segera mendengkur seperti kerbau. Di bawah
kakinya dan di ujung kpalanya terdapat onggokan-onggokan kotoran anjing itu dan
anjing itu sendiri menjilat-jilat dahi Tuminah dengan senangnya.”
Keletihan
Tuminah yang digambarkan pengarang dalam cerpen ini berhasil membawa pembaca
larut dalam keadaan yang sama. Tak pedulikan lagi dengan bau busuk maupun
kotoran anjing di tempat itu yang diinginkan Tuminah ialah hanya beristirahat
dengan tenang tanpa gangguan. Hingga jilat-jilat anjing pemilik tuan rumahpun
tak dirasakannya. Beban berat Tuminah sekejap hilang dalam istirahatnya di
dalam ruang yang sebenarnya tak layak.
4. “Tiap
waktu lagu ‘Indonesia Raya’ dimainkan, mereka berdiri dengan tegap seperti
prajurit dan ikut menyanyikan lagu kebangsaan itu. Setiap orang merasa
tengkuknya seperti digili-gili orang. Segala bulu berdiri: bulu tengkuk dan
bulu kaki. Dan waktu lagu itu habis, beberapa orang nasionalis tulen menangis
dan katanya parau. “Itu yang kita perjuangkan sepanjang masa. Dan untuk itu
kita mengorbankan harta benda dan jiwa pemuda-pemuda kita. Bukan main indahnya
lagu itu. Ya, perjuangan kita tidak sia-sia!!””
Penulis menggambarkan emosi menggebu-gebu tampak
sangat jelas dalam kutipan ini, dimana semangat kemerdekaan mengalir
dimasing-masing rakyat untuk berjuang. Keyakinan mereka dalam perjuangan yang
tidak mungkin sia-sia setelah mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya muncul.
Dan tentunya kutipan ini dapat sampai juga pada pembacanya, bahwa semangat
pejuang untuk mempertahankan negara sangat besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar