Kesetiaan yang Tiada Henti
Karya : Hartana Adhi Permana
Cerpen
yang akan saya analisis ini adalah cerpen terbitan koran Tempo edisi 15 Mei
2011 yang berjudul Tuan Alu dan Nyonya Lesung karangan Zelfeni Wimra penulis
dari Kota Padang. Dia lahir di Sungai Naniang, Limopuluah Koto, Minangkabau,
Sumatera Barat. Dia juga dikenal giat di kalompok studi Magistra Indonesia,
Padang.
Cerpen ini menceritakann tentang
kehidupan sebuah alu kalau dalam bahasa Sunda disebut “halu” dan lesung kalau
dalam bahasa Sunda disebut “lisung”. Keduanya adalah pekakas untuk menumbuk
padi, buah kopi dan lainnya, caranya dengan cara alu dihentak-hentakkan ke
lesung. Penulis sangat baik dalam menceritakan alu dan lesung dengan
imajinasinya sendiri sehingga alu dan lesung diibaratkan sebagai pasangan yang
saling setia, dan penulis mengibaratkan alu dan lesung sebagai benda hidup yang
bisa berbicara sehingga diberi nama Tuan Alu dan Nyonya Lesung.
Cerita ini dimulai dengan kehidupan
Tuan Alu yang awalnya adalah sebatang pohon buah kopi yang diceritakan sehingga
seperti manusia. Tuan Alu dahulunya tumbuh sebagai sebatang kopi yang ceria.
Akarnya kuat. Batangnya liat. Daunnya rimbun, hijau gelap. Ulat bulu sangat
senang mengakhiri petualangannya di salah satu dahan Tuan Alu. Sungguh
kehidupan yang sangat nyaman bagi Tuan Alu. Ia terbilang paling rimbun di
belantara kebun tinggal itu.
Diceritakan
Tuan Alu memeriksa setiap pori-pori kepalanya. Bagian ujung dari tubuhnya yang
selalu tertumbuk ke bumi itu kini ia sebut kepala. Ini bermula sejak sebilah
parang memangkas badannya. Sejak ia terpisah dari akar yang membesarkannya.
Sejak ia memutuskan untuk menerima hidupnya dengan perasaan terbalik. Diceritakan
juga dahulunya Tuan Alu mengenal akar yang setiap detik mengedap-menyusup ke
perut bumi. Menyerap sari tanah di kirim ke batang, ke daun hingga terbitlah
buah dan bunga. Kini Tuan Alu hanya tahu dengan atas dan bawah. Ke atas untuk
berayun dan ke bawah untuk menumbuk.
Ada
kehidupan baru untuknya. Sisi bagian pangkal yang dulu menopang batangnya kini
dibentuk sedemikian rupa yang jika diperlukan akan digunakan untuk menumbuk
cekungan batu. Tuan Alu menamaninya kepala sekalipun posisinya selalu di bawah.
Kehidupan yang terbalik. Perubahan nasib yang terbalik. Tapi ia menemukan
sesuatu yang baru. Sakit sepi yang ia kandung perlahan kikis. Apalagi sejak ia
diberi seorang teman yaitu Nyonya Lesung.
Seperti
halnya dengan Tuan Alu, penulis juga menceritakan sosok lesung juga seperti
manusia atau benda yang hidup. Penulis juga menamainya sebagai Nyonya Lesung.
Seperti juga Tuan Alu, Nyonya Lesung hidupnya lumayan memprihatinkan. Dahulunya
Nyonya Lesung awalnya terguling-guling digusur arus deras. Hujan paling garang
turun berhari-hari dari langit. Kemudian dia tergusur ke tepi. Dahulu Nyonya
Lesung tidak mempunyai lubang, tetapi semenjak terguling ke tepi, persis di
bawah akar sebatang beringin yang kokoh, ada jalan air di atasnya. Ujung akar
beringin yang berpilin meneteskan air itu ke tubuhnya. Tubuh Nyonya Lesung
ditusuk setiap hari. Akhirnya dia berlubang. Seperti cerita Tuan Alu, Nyonya
Lesung juga ditemukan sepasang tangan. Ia melihat lubang di tubuhnya sebesar
kepalanya digenangi air. Kemudian Nyonya Lesung digelandang ke luar dari
sungai. Seperti Tuan Alu yang sakit ditebas parang, Nyonya Lesung juga sangat
kesakitan sekali karena setelah berhenti dari tusukan air, dia disambut tikaman
pahat. Lubangnya diperbesar oleh pahat.
Setelah
itu mereka melupakan masa lalu masing-masing. Mereka tidak bisa hidup dengan
masa lalu. Mereka sudah dibentuk dan ditetapkan alam untuk bersatu. Mereka
tidak mungkin lagi bercerai. Di mana pun, Tuan Alu adalah pasangan Nyonya
Lesung. Sampai itu, memang, sampai cerita ini diterbitkan, Tuan Alu dan Nyonya
Lesung tidka pernah terpisahkan. Sekalipun hanya satu dua orang menumbuk padi,
tepung atau kopi, Tuan Alu dan Nyonya Lesung selalu terlihat bersama.
Kecuali,
barangkali, alam berkehendak lain. Misalnya, karena jarang digunakan, ujung
badan Tuan Alu kembali menerbitkan tunas lalu menjadi pucuk. Akar pun tersembul
dari pangkalnya, menyerap makanan dari sari pati tanah dan akhirnya Tuan Alu
tumbuh lagi sebagai sebatang kopi. Begitu juga dengan tubuh Nyonya Lesung,
Lantaran jarang ditumbuki Tuan Alu, lubang di badannya kembali mengeras,
kembali ke bentuk semula, seperti sebelum dilubangi air. Ia pun menggelinding
lagi ke arus sungai. Berendam ke dalam sunyi abadi. Ya, jika alam berkehendak
lain.
Dalam
cerita ini saya sangat menarik dengan salah satu kutipan yang dibisikkan oleh Nyonya Lesung kepada Tuan
Alu yang sedang bersedih sebagai berikut:
“Jangan bersedih. Sedih itu sama
dengan ngarai yang akan menggelindingkan kita kembali ke jurang sepi. Jangan
berpikir, bahwa kau saja yang pernah luka, Sayang. Aku juga sudah kembali dari
sakit menanggung sakit sepi itu!”.
Kutipan ini sangat menarik pembaca,
karena penulis menceritakan sosok Tuan Alu yang hanya sebatang pohon kopi dan
Nyonya Lesung yang sebuah bongkahan batu yang terdampar di sungai sebagai
sesuatu yang ada nyawanya dan menyerupai sosok manusia yang ada dalam tokh
cerita tersebut. Kejeniusan dan imajinasi seorang penulis cukup dipertaruhkan
dalam mengolah sesuatu yang kelihatannya mustahil menjadi sesuatu yang luar
biasa. Seorang penulis cerita sangat susah membuat cerita yang objek untuk
diceritakannya adalah sebuah benda mati yang tidak bisa diterima akal sehat
oleh manusia karena kehidupan kita beda dengan benda mati manapun, karena
mereka tidak bisa hisup layaknya seperti kita manusia.
Saya juga tertarik dengan bagian
cerita tentang di mana Tuan Alu yang terbilang paling rimbun di belantara kebun
tinggal itu, ia tampak bahagia, selalu riang dan rindang, rupanya sedang
mengandung malang. Ia mengidap sakit sepi. Sepi di tengah keramaian belantara.
Tumbuh ceria, riang, dan rindang lalu setiap musim menerbitkan buah saja, ia
rasakan tidak cukup. Selalu ada yang mengentak-entak dalam umbut batangnya.
Teman-temannya yang lain, yang
sama-sama tumbuh di kebun itu banyak yang iri. Kelemahan dan kesalahannya
dicari-cari. Ia dimaki sebab tumbuh susah payah hanya untuk menerbitkan buah
yang pahit. Kasihan pada manusia yang suka kopi. Ia dicerca, karena punya anak
banyak. Selepas musim berbuah, anak-anak kopi akan bermunculan tidak hanya di
sekitar batangnya. Buah yang keluar dari pencernaan luak pun bisa tumbuh di
mana pun terserak.
Juga saya cukup membuat menarik dengan salah
satu kutipan pengakuan Nyonya Lesung yang menceritakan satu rahasia kepada Tuan
Alu. Penulis sangat apik dalam menceritakan kejadian ini, berikut kutipannya:
“Sayang,
kau tahu, aku ini batu. Keras. Tapi aku takut air. Karena aku memang telah
ditakdirkan keras, kami lawan perasaan takut itu. Ketakutan kami ganti dengan
cinta. Maafkan aku Tuan, sebelum bersamamu, aku sudah pernah mencintai air.”
“Setelah hujan deras berhari-hari
dan aku tergusur ke tepi, aku mulai memasrahkan diri. Jika cara mengungkap
perasaan air seperti itu, aku belajar memahaminya. Sekali lagi, maafkanlah aku,
Tuan.”
Kutipan
ini sangat menyayat hati pembaca. Penulis dengan jeniusnya membuat kutipan
tersebut tentang pengakuan Nyonya Lesung yang sangat berat untuk diceritakan
kepada Tuan Alu tentang kisah cintanya dahulu yang sebelum memadu kasih denga
Tuan Alu , dulunya Nyonya Lesung sangat menyayangi air. Pembaca seakan-akan
disuguhkan dengan cerita Romeo dan Juliet atau Ramayana dan Shinta yang dengan
cinta sucinya mampu membius dan bisa mencampuradukan perasaan pembaca baik
dengan rasa sedih, gembira maupun tertawa. Di sini penulis membuat hal seperti.
Penulis menceritakan sebuah romansa cinta yang seakan-akan nyata, bak seperti
pangeran dan putri yang sedang jatuh cinta.
Penulis juga secara apik
menceritakan kisah ini dengan seimbang, di mana cerita diawali dengan kisah
dahulu Tuan Alu dan disambung dengan cerita Nyonya Lesung dengan masa lalunya
yang diceritakan hampir menyerupai. Bedanya Tuan Lesung sangat hidup senang dan
gembira, sedangkan Nyonya Lesung setiap hari menahan kesakitan karena diterjang
tusukan air. Kemudian penulis juga menceritakan secara mendetail tentang
pertemuan Tuan Alu dan Nyonya Lesung, sampai mereka hidup bersama sampai
sekarang. Sungguh pasangan yang setia tiada henti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar