Kutukan Tak Lagi Bisa Menjadi Keberkahan
Karya : Hartana Adhi Permana
Cerpen-cerpen
Iwan Simatupang dalam Tegak Lurus dengan Langit dikumpulkan Dami N. Toda, dan
sejak awal telah menunjukan penjelajahan yang berhasil dalam mengedepankan
pergulatan eksistensial manusia yang kehidupan psikologisnya problematis.
Karakter (tokoh) dalam cerpen-cerpen Iwan Simatupang
sangat “khas Iwan”. Mereka adalah karakter-karakter yang asing , “hilang”, misterius, tersesat
dalam rimba labirin filosofis dan / atau terasing dari realitas kehidupan sosial.
Karakter-karakter –karakter itu dalam kehidupan sehari-hari sangat mungkin kita
kenal sebagai tetangga atau sahabat kita yang secara fisik biasa-biasa saja
namun secara sosial mungkin kita anggap aneh karena pikiran dan tingkah lakunya
yang rumit dan tidak biasa.
Karakter-karakter itu tampaknya
tidak hadir secara sembarang atau begitu saja turun dari langit khayalan. Dapat
kita katakan Iwan Simatupang sengaja menghadirkan mereka dari realitas ‘kini
dan di sini’ setelah terlebih dahulu di-interiorisasi, yaitu diolah lewat suatu
proses membatinkan melalui penjelajahan secara mentubi ke dalam wilayah pikiran
dan perasaan mereka.
Dari hasil interiorisasi itulah,
misalnya, lahir karakter aku dalam “Lebih Hitam dari Hitam” yang hidup dalam
dunia yang asing, yang menyebal dari segala ukuran logika umum (common sense). Aku yang disiksa perasaan
hampa dalam cerpen itu adalah pasien rumah sakit jiwa. Suatu ketika ia terlibat
konflik dengan sesama pasien. Secara tak sengaja konflik itu melahirkan kembali
perasaan kasih sayang dalam hatinya yang dilukiskan Iwan dengan lyric-cry (meminjam istilah Frank O.
Connor) sangat menyentuh:
Pipiku basah keduanya: dunia
menghenyakan dirinya ke dalam diriku. Dunia kutimang. Kasihku padanya tak
terhingga.
“Tunggu
Aku di Pojok Jalan Itu” dan “Tegak Lurus dengan Langit” adalah dua dari sedikit
cerpen Iwan Simatupang yang pada hemat saya paling berhasil menggugah kita
untuk berpikir kembali tentang kesadaran meng-Ada manusia. Yang dimaksud “kesadaran meng-Ada” adalah bagaimana manusia
(sebagai individu atau sebagai aku) menempatkan dirinya dalam hubungannya
dengan orang lain, Tuhan, dan dengan segala sesuatu di luar dirinya. Karakter
dalam kedua cerpen itu adalah aku yang memikul beban sisi gelap meng-Ada secara
etre-pour-soi (Inggris: being-for-itself atau “kesadaran
manusia”) dalam pemahaman filsafat eksistensialisme. Menurut Jean Paul Sertre ,
filsuf kelahiran Francis yang bukunya L’etre
e le neant (Ada dan Ketiadaan) menjadi dokumen penting aliran filsafat eksistensialisme
dan pikiran-pikirannya di sana-sini mempengaruhi cara berpikir Iwan Simatupang,
manusia yang meng-Ada secara etre-pour-soi
adalah manusia yang menggenggam kebebasan dalam kedua tangannya sendiri,
dan membentuk kebebasan yang dimilikinya menurut kehendaknya sendiri. Ia
menjadi semacam manusia yang dimaksudkan Sartre dengan perkataannya: I’homme n’est nen d’autre que ce qu’ilse
fait atau “manusia adalah sebagaimana ia menjadikan dirinya sendiri.
Karakter yang tersesat dalam rimba
labirin filosofis dan terasing dari realitas kehidupan sosial muncul pula dalam
dua cerpen berikut ini. Karakter gadis dalam “Patates Frites” yang dilukiskan
sebagai mirip Juliette Creco, “penyanyi eksistensialisme kota Paris”
terlunta-lunta dalam pengembaraan yang melelahkan sebagai akibat dari
keyakinannya yang teguh terhadap “kebenaran” filsafat dunianya.
Secara estetika maupun tematik
cerpen-cerpen Iwan Simatupang dapat dikatakan berjaya, keberhasilan itu
tampaknya disebabkan bukan semata-mata karena kehadirannya dalam lingkungan kesusastraan
kita pada waktu itu bersamaan dengan menggejalanya “demam eksistensialisme”,
melainkan karena cerpen-cerpennya sebagaimana karya drama, novel, dan juga
puisi-puisinya merupakan endapan biografis dari perjalanan jiwanya.
Publik
sastra Indonesia merasakan sesuatu yang baru dalam novel-novel Iwan, namun
tidak ada yang mampu menjelaskan 'kebaruan' yang dibawakan Iwan. Pada saat
kevakuman itulah muncul Dami N. Toda. Dami melakukan studi yang mendalam
terhadap novel-novel Iwan lewat skripsi sarjananya di FS UI (1975), kemudian
dibukukan menjadi Novel Baru Iwan Simatupang. Menurut Dami, novel-novel Iwan
adalah aplikasi filsafat eksistensialisme yang sedang demam di Barat mulai
tahun 1950-an. Ini bisa dipahami karena bertahun-tahun Iwan belajar di Eropa, antropologi
di Leiden, drama di Amsterdam (Belanda), filsafat di Sorbonne (Perancis).
Temuan
Dami N. Toda lewat Novel Baru Iwan Simatupang ini membuat namanya terangkat dan
masuk dalam jajaran kritikus sastra Indonesia. Benar sekali kesaksian Rofino
Kant, teman akrab Dami N Toda semasih tinggal di Jakarta, bahwa nama Dami
menjadi terkenal pada waktu diskusi sastra dengan sejumlah sastrawan terkenal
di Jakarta tentang novel Iwan Merahnya Merah. Dami berani memberikan catatan
kritis terhadap novel tersebut (Pos Kupang, 26/10/2007). Forum diskusi sastra
dan tulisan Dami tentang Iwan mengokohkan namanya sebagai kritikus sastra yang
menemukan novelis besar Indonesia, Iwan Simatupang.
'Seperti inilah cerpen-cerpen yang
ingin saya tulis', begitulah kira-kira yang ada dibenak saya ketika
menyelesaikan buku kumpulan cerpen Tegak Lurus Dengan Langit, karya Iwan
Simatupang. Kenapa saya ingin menulis cerpen-cerpen seperti itu, Cerpen-cerpen
Iwan Simatupang sangat kental sekali aroma realismenya dengan mengambil latar dan
karakter orang-orang biasa yang sering sekali kita temui dalam kehidupan tetapi
kadang kita tidak sadar akan keberadaan mereka hanya karena mereka adalah
orang-orang biasa, orang-orang tidak penting. Taruhlah tukang cingcau, tukang
becak, penjual rokok, anak gelandangan, orang gila, bahkan seorang penumpang
biasa di sebuah bus kota.
Karakter-karakter
tokoh yang ditampilkan dalam cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi ini,
selalu saja adalah orang-orang dengan begitu banyak permasalahan, terkadang samapi
mempertanyakan diri sendiri, mempertanyakan ke'manusia'annya. Manusia yang
terjebak dalam dilematika kehidupannya yang biasa : sakit jiwa, penyakit darah
tinggi, ditinggal pergi sang ayah, rumahnya digusur, pulang kampung, dan
perasaan ingin bunuh diri; permasalahan yang klasik di negeri indonesia
terlebih dalam masa proses kreatif iwan di era transisi kemerdekaan negeri ini.
Cerita
tentang bunuh diri misalnya terdapat dalam 'Kereta Api Lewat di Jauhan', 'Tegak
Lurus Dengan Langit' , ' Tak Semua Punya Jawab', dan 'Dari Tepi Langit Yang
Satu Ke Tepi Langit Yang Lain'. Cerita tentang orang 'sakit' dapat ditemukan
misalnya dalam 'Lebih Hitam Dari Hitam', 'Monolog Simpang Jalan' dan 'Senyum Di
Jembatan'. Selebihnya adalah cerita-cerita yang biasa tetapi luar biasa yang
dikemas dengan bahasa yang realis minim metaforis.
Tegak
Lurus dengan Langit kumpulan Cerita Pendek Iwan Simatupang Penerbit Sinar
Harapan, 1982, 115 hal sesuatu yang tidak mungkin, sesuatu yang gila-gilaan
dalam sebuah cerita pendek bisa sangat menarik. Dan Iwan Simatupang (1928-1970)
rupanya ahli dalam hal itu. "Lima belas tahun yang lalu, terataknya
didatangi seorang laki-laki kasar memperkosanya lalu pergi ...." Atau,
"Oleh karena ia pada suatu hari tak tahu apa yang harus dilakukan tangannya,
ia mencari tali dan menggantung dirinya." Dengan daya rangsang dan daya
kejut seperti itulah Iwan membuka cerita pendeknya. Dalam Tunggu Aku di Pojok
Jalan Itu, ia membuka kisah dengan sepasang suami-istri yang kira-kira sedang
berjalan-jalan, lantas si suami pamitan hendak membeli rokok sebentar. Tapi
suami itu baru kembali sepuluh tahun kemudian. Sementara si istri tetap
menunggunya di pojok jalan.
Sebenarnya
saja, seperti bisa dibaca dalam kumpulan 15 cerita pendek Iwan ini, pembukaan
seperti itu selain memiliki daya pikat, pun langsung menyiapkan pembaca untuk
terjun dalam satu dunia imajinasi yang lepas bebas. Suatu dunia tempat langit
bisa disulap. Maka adalah seorang tokoh yang membunuh bapaknya yang baru saja
kembali dari hilang. Soalnya, bapak itulah yang mendatangkan kesulitan demi
kesulitan selama ia hilang itu. "Hilang adalah keadaan lebih parah
daripada mati," tulis Iwan. Keluarga tokoh itu tidak ingin hilangnya
kepala keluarga diketahui orang lain, untuk menjaga ketenteraman, untuk
menghindarkan pertanyaan yang bukanbukan. Maka karena itulah petugas sensus
yang menanyakan siapa kepala keluarga di situ, rerpaksa dibunuh oleh kedua
kakak si tokoh. Cerpen Tegak Lurus dengan Langit. Yang menarik lagi,
tokoh-tokoh cerita Iwan adalah tokoh yang selalu bergerak dan berbuat.
Tokoh-tokoh yang praxis, tulis Dami N. Toda, yang memberi pengantar untuk buku
kumpulan cerita pendek ini. Ini menjadikan cerita Iwan dinamis. Lahir di
Sibolga, Sumatera Utara dan kemudian belajar di Fak. Kedokteran di Surabaya, Iwan
mengaku pernah mengambil kuliah antropologi di Leiden, kemudian
"mempelajari filsafat di Paris". Kegiatan kreatif yang pertamatama
dilakukannya ialah menulis puisi, di awal 50-an. Kemudian, drama.
Antologi ini
juga memuat cerpen Tegak Lurus dengan Langit, cerpen yang menjadi
judul antologi. Sama seperti tiga cerpen yang telah kita ulas tadi, cerpen ini
juga tragis. Kelam. Dalam cerpen ini, Iwan menggambarkan sebuah keluarga yang
gelisah, nyaris separuh gila semuanya, akibat menghilangnya sosok yang menjadi
ayah dan suami di keluarga mereka. Kehilangan sosok yang tak jelas dimana
rimbanya tersebut melahirkan rasa frustasi. Si ibu tidak bisa disebut janda,
karena jelas mereka belum cerai. Anak-anak tidak bisa disebut yatim karena tak
ada kabar ayah mereka telah mati. Alhasil, situasi status serba tak menentu
tersebut melahirkan tekanan sosial yang berimpilikasi psikologis kepada mereka
semua.
Sang ibu pada
akhirnya mati mendadak setelah ia tak sengaja dipergoki si bungsu
bertelanjang-ria, bergulat, bemain cinta dengan pria lain. Dua kakak si bungsu
dipenjara seumur hidup gara-gara membunuh petugas sensus. Kesalahan petugas
sensus mungkin saja kecil, karena bertanya dimana ayah mereka. Tapi di mata
kedua kakaknya, kesalahan si petugas sangat besar, membuka luka lama keluarga
mereka yang selama ini tersiksa karena kehilangan ayah mereka.
Lantas
bagaimana dengan si bungsu? Kisahnya lebih hebat dan tragis lagi. Sang ayah
yang telah 17 tahun menghilang, tiba-tiba muncul di depan rumah mereka. Sebuah
kepulangan yang sangat tidak tepat, setelah satu persatu anggota keluarga
tersebut tercerabut dari rumah mereka. Si ibu mati karena malu pada anak-anak
karena telah ber-seks di luar nikah dengan laki-laki lain, si kakak harus
dikurung seumur hidup di penjara karena membunuh orang yang menanyakan ayah
mereka dimana—ini jelas implikasi dari hilangnya ayah mereka. Kutukan-kutukan
tersebut akibat dosa besar ayah mereka yang menghilang tanpa rimba. Kini sang
ayah telah pulang. Kutukan tak lagi bisa menjadi keberkahan. Dosa tak lagi
mungkin terhapus.
Kutukan dan
dosa itulah yang membawa si bungsu pada akhirnya membunuh ayah mereka.
Pembunuhan untuk menuntaskan dendam, itulah motifnya. Langkah cepat untuk
membebaskan beban pikiran, itulah tujuannya. Pada akhirnya, memang si bungsu
mendapatkan apa yang ia motifkan dan ia tujukan. Kebebasan dari bayang-bayang
sang ayah. Dan pada akhirnya, memang ia merasakan dirinya sama-sama tegak lurus
dengan langit
Casinos Near Me - MapQuest - KT Hub
BalasHapusGet directions, reviews 남원 출장안마 and 동해 출장샵 information 강원도 출장마사지 for Casinos Near Me in Greater 경상북도 출장마사지 Boston, including room rates, restaurants and a 경기도 출장마사지 map. (Boston, MA)