Lupa Kedudukan Menjadi Malapetaka
Karya: Hartana Adhi Permana
Pengarang yang sedang
menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak
bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang
disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema
atau pokok persoalan cerpen Hampir Sebuah Subversi sesungguhnya terletak pada kejengkelan
semua orang terhadap tingkah laku Pak De. Gambaran ini terletak pada kutipan
berikut ini.
“Satu hal lagi yang tidak disukai
istri saya, ia suka mengobrol di gardu siskamling. Sebagai lajang yang tidak
punya tanggungan, itu lebih baik baginya daripada keluyuran ke mana-mana, lagi
pula itu menguntungkan kampung. Mereka yang di gardu akan sangat beruntung mendapat
kawan seperti dia. Tapi kata istri saya,’Kalau jadi dosen itu pekerjaannya
membaca, bukan keluyuran ke gardu ronda. Kalau dosennya begitu, bagaimana
mahasiswanya.’ Istri saya tentu tidak tahu bahwa bukan dua puluh empat jam kita
menjadi dosen. Konsep lama tentang guru yang seumur hidup rupanya masih melekat
di hati istri saya yang menolak disebut kolot itu.”
Kemudian
gambaran tersebut dipertegas kembali dalam kutipan berikut ini.
“Di gardu atau dari tempat lain
itulah dia mendapatkan batunya. Sekali ia membawa pulang bor-bor, atau alat
semacam itu. Di gardu dia mengatakan dapat membuat terowongan ke mana saja dia
suka. Pernyataan itu diartikan oleh orang gardu sebagai ancaman terhadap lingkungan.
Atau, setidaknya begitulah persepsi orang yang dekat dengan penguasa. Dan
akibatnya, Pak De harus menunda keberangkatannya ke luar negeri untuk mengajar,
karena harus berhadapan dengan aparat keamanan. Pengangkatannya sebagai
Pembantu Dekan juga batal. Di tempat itu tempat yang digambarkannya sebagai
neraka dunia dia harus mengisi formulir dan menjawab beberapa pertanyaan. Yang
paling tidak enak baginya ialah penjabat itu sering menggosok-gosok pistol di
pinggang, dan keluar setiap ada telepon berbunyi sambil mengatakan kalau
sebaiknya dia tidak pulang hari itu alias ditahan. Seumur hidup baru sekali itu
tangannya gemetar, dan berkali-kali menyebut ‘Bismillah”. Itu pun tangannya
masih gemetar. Coba bayangkan, dia dituduh anti-ideologi negara, mau meledakkan
bangunan sakral, mau melawan negara. Hal-hal yang tak pernah terlintas dalam
benaknya. Pertanyaan hari itu diakhiri dengan sebuah tour ke tempat penyimpan
dokumen dan alat-alat subversi lainnya. Yang luar biasa baginya, yang selalu
dipanggil dengan ‘pak’ baik oleh sesama dosen maupun oleh mahasiswa, hari itu
dia dipanggil dengan ‘saudara’, dan baru pada kedatangannyayang ketiga dia
dikembalikan martabatnya dengan panggilan yang dikehendakinya, yaitu ‘pak’. Dan
itu harus ditebusnya dengan paper panjang.”
Dengan
demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen
ini adalah seorang dosen yang tidak tahu fungsi dosen yang sebenarnya. Dan
simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah
kalau cerpen karya Kuntowijoyo ini diteima oleh setiap orang.
Di
dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa
oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluruh cerita. Gagasan yang
mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi
pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu
dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat
pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan
amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk
menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Jadi
amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Hampir Sebuah Subversi karya
Kuntowijoyo adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang
kau lakukan, dan ingatlah terhadap fungsi sendiri seharusnya bagaimana kita
harus bertindak karena kalau salah bertindak akal berakibat fatal dan merubah
segalanya.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima. Amanat pokok/utama ini
kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat
lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di
antaranya:
(a) Jangan bertindak di
luar kemampuan kita sendiri. Amanat ini dimunculkan melalui kutipan cerita sang
istri mengenai Pak De berikut ini.
“Satu
hal lagi yang tidak disukai istri saya, ia suka mengobrol di gardu siskamling.
Sebagai lajang yang tidak punya tanggungan, itu lebih baik baginya daripada
keluyuran ke mana-mana, lagi pula itu menguntungkan kampung. Mereka yang di
gardu akan sangat beruntung mendapat kawan seperti dia. Tapi kata istri
saya,’Kalau jadi dosen itu pekerjaannya membaca, bukan keluyuran ke gardu
ronda. Kalau dosennya begitu, bagaimana mahasiswanya.
(b)
Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa
saja baik untuk diri sendiri tetapi tetap kurang baik di hadapan orang lain.
Coba
saja tengok pendapat pencerita terhadap Pak De :
“Anak-anak
saya puny pendapat sendiri. Bagi mereka, Pak De merupakan idola. Pak De saya
suka pada anak-anak, termasuk anak-anak saya. Ini juga menjadikannya cacat di
depan pengadilan istri saya. ‘Hati-hati dengan dia, jangan-jangan ia seorang,’
istri saya memang tidak sampai hati melanjutkan, tetapi sebagai orang yang
berpengetahuan tahulah saya apa yang dimaksud. Ia memang suka membawa coklat
untuk anak-anak, satu hal yang juga tidak disukai ibunya. Pendek kata,
tempatnya ialah surga bagi anak-anak, tempat anak-anak bermain-main, sementara
pada ibunya anak-anak hanya dikenal disiplin. Kesalahan Pak De, kalau dianggap
kesalahan, ialah tidak pernah minta izin kami, kalau akan memberikan apa-apa.
Tetapi menurut saya, sebagai anggota keluarga ia punya hak penuh. Juga tidak
pernah terdengar ia mengaji, satu hal yang tidak disenangi istri saya.
Tidak hanya itu saja. Dari
gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
(c) Kita jangan terpesona oleh
gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
Pada bagian awal cerita ini
yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi,
yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami
cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan
tentang prilaku Pak De menurut sang pencerita dan istri seperti yang
diungkapkan pada data berikut :
“ Sebenarnya saya suka ketempatan Pak De, tetapi istri saya sering
mengecamnya sebagai pria lajang yang ceroboh. ‘ Lihatlah kamarnya, seperti
kandang kuda.’ Tentu saja kuda-kuda sekarang sudah mengalami emansipasi
sehingga kandangnya pun bersih, itu pasti tidak diketahui istri saya yang bukan
keturanan belantik kuda itu.”
Dan yang kedua adalah sebagai
instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat
keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah
cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan
data berikut :
“Untuk itu, istri saya hanya mengatakan, ‘ Syukurlah, akhirnya ia
mendapat pelajaran juga. Dari siapa lagi!’ Memang rupanya itu pelajaran penting
dalam hidupnya. Pertama, sejak itu tidak terdengar lagi keluhan mahasiswa dan
dia tidak lagi mengobrol di gardu, dengan kata lain, ia dapat menahan diri.
Kedua, ia menjadi rajin mengaji, artinya ia lebih dekat dengan Tuhan. Ketiga,
dan ini yang kami anggap kelewatan, ia menjadi lebih berani. Cobalah suatu kali
dia mengatakan bahwa mulai saat ia gemetar menjawab pertanyaan, tidak ada lagi
yang ia takuti kecuali Tuhan. Itu terbukti dalam banyak hal. Ketika ia naik
taksi di Jakarta, ia dapat memaksa sopir untuk memasang argometer. Ia juga
bilang pada mahasiswanya, siapa yang akan memata-matai dosen supaya keluar dari
ruangan. Dan ini yang membuat takut semua temannya, ia pernah membentak seorang
petugas negara yang meminta paper yang dibacakannya dalam sebuah seminar
mahasiswa. Katanya, ‘Petani mesti membawa cangkul ke sawah, pegawai membawa
pulpen ke kantor, dosen membawa otak ke kelas, petugas seperti engkau harus
menyiapkan rekaman, bukan hanya pandai minta paper atas nama negara.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar