Penghinaan Abstraksi dan Kemuliaan Tuhan Serta Nabi-Nya
Karya : Hartana Adhi Permana
Tulisan ini saya angkat sebagai topik tanpa memiliki tendensi
apa-apa. Apalagi, bermaksud mengungkit-ungkit “luka lama” tentang polemik
antara kubu yang pro dan kontra terhadap keberadaan “Langit Makin Mendung”.
Juga sejarah sastra Indonesia juga telah mencatatnya dalam “dokumen hitam”
sebagai wujud “konflik” yang (nyaris) tak pernah berujung antara kebenaran
“imajinasi” dalam teks sastra dan kebenaran objektif dalam realitas kehidupan.
Saya juga tak bermaksud mengaitkannya dengan “heboh nabi baru” dalam isu
mutakhir Indonesia
saat ini yang juga disinggung-singgung dalam “Langit Makin Mendung”. Anggap
saja tulisan ini sebagai nostalgia “tragik” yang menimpa seorang penulis
berbakat Kipandjikusmin yang akhirnya harus terdepak dari “singgasana” sastra
Indonesia akibat “menghamba” pada liarnya imajinasi dan ke-”kenes”-annya dalam
mengangkat persoalan-persoalan religi yang peka dan rentan konflik.
Cerpen Langit
Makin Mendung bertutur tentang Nabi Muhammad
yang turun kembali ke bumi. Muhammad diizinkan turun oleh Tuhan setelah memberi
argumen bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab kenapa
akhir-akhir ini umatnya lebih banyak yang dijebloskan ke neraka. Upacara
pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam yang dianggap
sebagai pinisepuh swargaloka didapuk memberi pidato pelepasan. Dengan
menunggangi buroq dan didampingi Jibril, meluncurlah Muhammad. Di angkasa biru,
mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Rusia yang sedang berpatroli.
Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur tak keruan. Sedangkan,
Muhammad dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang empuk. Tak disangka, awan
empuk itu berada di langit-langit. Untuk menghindari kemungkinan tak terduga,
Muhammad dan Jibril menyamar sebagai elang. Dalam penyamaran itulah, Muhammad
berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia dengan bertengger di puncak
Monas (yang dalam cerpen itu disebut “puncak menara emas bikinan pabrik
Jepang”) dan juga di atas lokalisasi pelacuran di daerah Senen.
Lewat dialog antara Muhammad dan Jibril maupun lewat fragmen-fragmen
yang berdiri sendiri, Kipandjikusmin memotret wajah bopeng tanah air masa itu:
negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala macam perilaku lacur,
nista, maksiat, dan kejahatan tumbuh subur. Lewat cerpen ini, Kipandjikusmin
menyindir elite politik dengan cara culas. Soekarno disebutnya sebagai “nabi
palsu yang hampir mati”. Soebandrio yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri
disindirnya sebagai “Durno” sekaligus “Togog”.
Cerpen diakhiri dengan sebuah sindiran halus tapi pedas; sebuah
sindiran yang persis menancap di ulu hati kepribadian manusia negeri ini.
Begini bunyinya: “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan
dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai
mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh
bumi.”Sebuah cerpen yang sungguh-sungguh “liar” imajinasi. Dalam penafsiran
awam saya, “Langit Makin Mendung” bisa dibilang sebagai sebuah cerpen
multiwajah. Ada banyak dimensi yang ingin
dihadirkan di sana.
Politik, ekonomi, agama, sosial, budaya, bahkan juga militer, tampak benar
bagaikan mozaik yang saling bertempelan; membangun sebuah desain cerpen yang
liar, menegangkan, sekaligus menghanyutkan. Lewat gaya bertuturnya yang kenes, satire, dan
sarat kritik, “Langit Makin Mendung” mampu membombardir imajinasi pembaca dan
hanyut dalam emosi purba; “gemas”, bahkan mungkin juga geram.
Paragraf pembukanya saja sudah cukup mampu membangkitkan “aura
fanatisme” keagamaan bagi pembaca yang terbiasa membaca teks-teks sastra
konvensional. Simak saja beberapa penuturannya berikut ini!
Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di
surgaloka. Petisi dibuat, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan
diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.“Refreshing
sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa
berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah
pegal-pegal kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti. ”Membaca
petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir
pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama:
Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi
biasa memanggilnya Muhammad saw…
(Tuhan
dipersonifikasikan dengan gaya
bertuturnya yang kenes: “menggeleng-gelengkan kepala …”)
Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden
menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang. Patih-patih
dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya.
Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah
seperti anak kecil urung disunat.
(Kritik
terhadap rezim Orde Lama yang suka bernafsi-nafsi dan memanjakan nafsu hedonis,
tak peduli terhadap nasib rakyat yang dijerat kemiskinan dan kelaparan).
Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang
merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap
nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela
awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir.
Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau
jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang
reot.
(Satire bagi
kalangan wong cilik yang suka mengumbar nafsu birahi, tanpa memikirkan risiko
penyakit kelamin).
Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet
tertangkap basah. Tukang-tukang becak memimpin orang banyak menghajarnya
ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan
kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral
sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti
tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu
rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang
mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul,
menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah ke mana.
(Suasana main
hakim sendiri sebagai potret ketidakpercayaan rakyat terhadap supremasi hukum).
Masih banyak ungkapan dan idiom menarik dalam “Langit Makin Mendung”
yang terkesan vulgar, tetapi juga subtil; mampu membawa imajinasi pembaca pada
suasana “tragis” yang berlangsung ketika negeri ini dipimpin oleh Panglima
Besar Revolusi (PBR) Soekarno. Perilaku para elite penguasa yang dinilai korup dan
culas tak luput dari bidikan Kipandjikusmin lewat gaya ucapnya yang khas; lugas dan apa adanya.
Terlepas dari kontroversi yang telah memancing emosi “fanatisme”
umat Islam, “Langit Makin Mendung” secara literer bisa dibilang sebagai teks
sastra yang kaya ide. Penuturan-penuturannya lugas dan tidak terjebak pada
narasi yang melingkar-lingkar. Sesuatu yang abstrak bisa dikonkretkan lewat
diksi yang bernas dan jernih. Sayang, “talenta” Kipandjikusmin telah terbunuh
sebelum benar-benar mampu bertahta dalam singgasana sastra Indonesia.
Kekayaan ide, imajinasinya yang liar dan mencengangkan, bisa jadi akan mampu
menahbiskan Kipandjikusmin sebagai sastrawan “papan atas” seandainya tidak
sembrono dan gegabah dalam mempersonifikasikan Tuhan, Muhammad, atau Jibril.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar