Penyesalan yang Tak Ada Gunanya
Karya : Hartana Adhi Permana
Salah
satu cerpen yang cukup manrik perhatian saya ini adalah begitu saya membaca
judulnya saja, di sana memiliki simbol yang luas tentang cerita ini. Cerpen
yang berjudul “Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya” ini terselip makna yang
cukup besar. Tentunya saya menerjemahkan simbol tersebut yaitu cerita tokoh
perempuan yang diceritakan oleh tokoh “aku” ini yang tidak bukan adalah
suaminya sendiri adalah seorang perempuan karir yang banyak memberikan
ide-idenya kepada perusahaannya sendiri. Sehingga tokoh “aku” banyak
menceritakan bahwa istrinya ini telah lupa kepada kesehatannya, karena istrinya
ini gila kerja dan gila kepada ide-idenya yang diberikannya sehingga banyak
sekali teman-temannya yang iri kepadanya.
Cerpen ini dimulai dengan penyesalan
tokoh “aku” yaitu sebagai suami dari tokoh perempuan ini yang sebagaimana
terkutip pada kutipan berikut ini:
“Inilah saatnya aku menyesal telah
menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya. Tidak cukupkah ia menjadi
perempuan biasa saja, seperti aku suaminya yang merasa cukup hidup sebagai
orang biasa. Seharusnya aku tahu perempuan ini akan memilih cara kematian yang
indah untuk dirinya sendiri”.
Kutipan
tersebut bisa diterjemahkan sebagai penyesalan seorang suami yang telah
menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya sendiri. Istrinya adalah
seorang yang ambisius dan tidak cukup sebagai perempuan biasa saja, beda dengan
suaminya yang merasa berkecukupan sebagai orang biasa. Dan tokoh “aku” menyesal
karena tidak tahu bahwa istrinya itu memilih cara yang indah untuk dirinya
sendiri.
Dalam cerpen ini juga saya cukup
menarik perhatian saya yaitu tentang kemarahan tokoh “aku” yang dengan marahnya
memarahi semua yang ada dibenaknya akibat sakit parah yang menimpa istrinya.
Sebagaimana terkutip dalam kutipan berikut:
“Saat ini,
aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku
sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan perintah
dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit
pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan
perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa tidak
merasakan dengan benar gejala di tubuhnya samapai semuanya terlalu terlambat.
Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan sanak
saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada
saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung”.
Dalam
kutipan ini penulis menceritakan kemarahan tokoh “aku” yang marah kepada
perawat istrinya karena begitu bego menerjemahkan perintah dokter dengan salah,
tokoh “aku” juga marah kepada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala
penyakit pada tubuh istrinya sehingga gejala penyakit istrinya tidak diketahui
lebih awal. Penulis juga menceritakan tokoh “aku” yang marah kepada rumah sakit
yang begitu lambat mengerjakan perintah dokter, dan juga marah pada istrinya sendiri
yang dengan tanpa alasan yang jelas tidak merasakn dengan benar gejala di
tubuhnya sampai semuanya sudah terlambat. Tokoh “aku” juga begitu marah kepada
teman-teman istrinya, teman-temannya dan sanak saudara yang menambah perih hati
tokoh “aku” dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku
sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.
Saya juga tertarik dengan kutipan
yang terdapat pada paragraf enam sebagai berikut:
“Kata orang, begitu kau berani mencintai, kau akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu
merasakan luka terperih di hatimu dan ketakutan yang mengazab jiwamu. Cintaku
padanya membuat aku harus siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu
menunggu saat-saat terakhirnya”.
Mungkin maksud penulis menyertakan kutipan di atas
yaitu bahwa orang lain bilang bahwa bahwa kau berani mencintai, kau akan dibuat
menderita olehnya. Penulis dengan
sengaja menyampaikan suatu pesan kepada pembaca bahwa kalau kau dengan berani
mencintai orang itu, kau juga akan dibuat menderita olehnya dengan cara apapun.
Mungkin dengan patah hati, ditinggal oleh sang kekasih untuk selama-lamanya,
dan mungkin ditinggal selingkuh oleh kekasih sendiri. Ini sangat ironi buat
kita yang sering jatuh cinta, karena cinta itu buta. Cinta akan membuat kita
merasakan luka terperih di hati kita dan ketakutan yang mengazab jiwa kita.
Cinta membuat kita bisa merasakan berbagai rasa mulai dari senang, sedih,
kesal, dan bingung dibuatnya. Cinta bisa membuat kita tentram juga bisa membuat
kita sakit selamanya. Tetapi, kita jangan sampai terlena dengan sakitnya cinta,
kita jangan sampai trauma dengan cinta, karena Tuhan telah menakdirkan kita
untuk saling mencintai, tidak hanya cinta kepada lawan jenis dan sesama manusia
saja, tetapi kita juga harus cinta pada hewan, tumbuhan dan sesama makhluk
hidup ciptaan Tuhan. Tidak sampai disitu saja, kita juga harus cinta sama
segala hal yang ada di dunia ini.
Terdapat kutipan yang
cukup menarik perhatian saya ataupun pembaca lainnya, yaitu dengan salah satu kutipan berikut ini:
“Sesungguhnya
aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan segala hal
tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di cermin. Sudah
seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam hitungan detik,
tanpa pernah memperhatikan apa rambutku sudah rapi atau tidak. Seperti apa
rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil yang baru
keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan burung
yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar
kedinginan dan sayap-sayapku tidak sangguh lagi mengepakkan sayap ke tempat
yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya melihat wajahku sendiri”.
Dalam kutipan ini tokoh “aku” ingin
mengistirahatkan jiwanya sejenak dan melupakan segala hal tentang istrinya
sesaat. Tokoh “aku”inging mengintip bayangan istrinya di cermin. Tokoh “aku”
ingin mengetahui sudah seperti apakah rupa istrinya saat ini. Dan
membandingakan dengan rupa tokoh “aku” yang mungkin tampak sudah seperti tikus
dekil yang baru keluar dari got yang kotor, mirip dengan burung basah kuyup
sehabis hujan deras yang mengguyur bunyi. Tokoh “aku” gemetar kedinginan dan
sayap-sayapnya tidak sungguh lagi mengepakkan sayap ke tempat yang teduh.
Maksud dari kutipan berikut adalah bahwa tokoh “aku” sangat menderita dengan
sakit parah yang menimpa istrinya itu. Dia mengibaratkan bahwa rupa dia
sekarang seperti tikus got dan burung yang basah kuyup. Dia sangat tertekan
dengan sakit yang menimpa dirinya itu. Dia sangat menyesal dengan keterlambatan
dia untuk mengetahui penyakit istrinya sehingga kalau dia sudah mengetahui
gejala penyakit istrinya sejak dini, mungkin dia langsung memeriksa istrinya ke
dokter dengan sesegera mungkin. Tapi ini sudah terlambat baginya.
Tokoh “aku” tidak percaya
ketika dia mendengar kabar terakhir istrinya dari dokter bahwa sudah memasuki
babak akhir. Dokter memberikan kabar bahwa istrinya mengidap penyakir kanker
paru-paru yang telah menggerogoti tubuh istrinyasudah sampai stadium akhir. Tak
ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang umurnya lebih lama lagi.
Tetapi dia tidak percaya
pada istrinya yang dahulu sebagai pekerja keras dan tubuhnya yang lincah
seperti kijang tersimpan penyakit yang begitu ganas. Dia menyesal kembali
karena sejak awal tidak mengetahui penyakit istrinya. Dia sangat merasa bersalah.
Tetapi dia akan tetap mengenang kepergian istri tercintanya dalam rasa sakit
yang jauh merajam hatinya.
Dengan beratnya nasib yang
dihadapinya, tersirat kutipan berikut ini:
“Kami akan
menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol sampai subuh.
Kami saling memeluk dan memberi ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan lama
sekalli seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelagak-gelagak tangis
tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang
terasa terpantul pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah
mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi
menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba,
nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan
yang menungguku di sana. Aku merasakan rasa sakit yang tak terperikan dari
sebuah bolong hitam besar hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu tiba?”
Penulis dengan sengaja menuliskan tentang setelah
tokoh “aku” mengetahui bahwa umur istrinya itu sudah tidak lama lagi pergi
meninggalkan tokoh “aku” dengan menceritakan keseharian tokoh “aku” yang sudah
tidak kuat dan sanggup menanti kepergian istrinya itu. Di samping rasa
bersalahnya yang menghantui dia sendiri, juga ketidakinginan sang istri untuk
meninggalkan dirinya karena sang istri adalah seorang wanita yang tangguh dan
kuat. Tetapi semuanya sudah terlambat karena dokter sudah memberi kabar buruk
bagi dirinya dan istrinya.
Dalam akhir cerita
terdapat sebuah kutipan yang
menceritakan tentang kesungguhan hati tokoh “aku” dengan sadarnya bahwa sangat
wajar sang istri meninggal dengan cara seperti ini. Berikut kutipannya:
“Sungguhkah
ini cara kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada
idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat
disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang
mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mengering tepat ketika aku
siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali kedalam kehidupan. Aku tahu
perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi
cintaku padanya aku rela ia memilih”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar