Mutiara yang Tak Diharapkan
Karya : Hartana Adhi Permana
Cerpen ini
menceritakan tentang sepasang suami istri yang mempunyai anak cacat.
Pertama-tama, sewaktu si tokoh utama memutuskan untuk meminang Hester, sudah
terlihat tanda-tanda bahwa Hester mempunyai keanehan di dalam dirinya. Sewaktu
tokoh utama menyatakan keinginannya untuk menikahi Hester, Hester kaget dan
untuk menyamarkan kekagetannya, ia menggigit bibirnya dan mencekik lehernya
sendiri sampai matanya mau keluar dan urat-urat wajahnya membesar. Setelah itu
ia lari sekuat tenaga untuk menjauhi si tokoh utama, tapi setelah itu dia minta
maaf dan berterimakasih atas keputusan si lelaki untuk menikahinya. Setelah
beberapa waktu, Hester menunjukkan tanda-tanda bahwa ia hamil. Tetapi bayi
pertama di kandungannya gugur, tetapi tanpa di duga ia mengandung lagi. Kali
ini, kandungannya berbeda dengan sebelumnya. Dinding perut Hester lentur, tapi
kuat dan bentuknya membuncit. Hester menyatakan bahwa ia ingin menggugurkan
kandungannya, walaupun pertamanya di tentang oleh suaminya, tetapi ahirnya ia
tidak tega juga dan menyetujui keputusan istrinya. Tetapi ternyata
undang-undang di negaranya melarang aborsi, sehingga pada ahirnya Hester
melakukan usaha-usahanya sendiri untuk menggugurkan kandungannya, seperti
melompat-lompat ke sana kemari dengan perut bunting nya. Setelah itu dia juga
meminta suaminya untuk memukul perutnya dengan raket baseball.
Derita
jasmani yang di alami Hester sangat kuat, sampai ahirnya lahirlah anak mereka
yang diberi nama Orez. Ia memang cacat, berbeda dengan anak kebanyakan. Orez
suka melompat-lompat, tingkahnya bisa di bilang seperti binatang. Sampai suatu
hari sang ayah juga ikut kesal dan ketika dia berjalan-jalan dengan Orez, ia
berniat membunuh Orez dengan pedang perninggalan ayah Hester. Tetapi ahirnya
usahanya gagal, dan dia memutuskan untuk mengajak Orez ke sebuah tebing curang
di sebelah sungai, karena ia baca di Koran bahwa sungai itu sudah memakan
banyak jiwa yang tergelincir dari tebing dan tidak bisa bertahan dari ganasnya
arus sungai. Ia pergi ke situ dengan harapan nanti Orez akan loncat-loncat jauh
seperti biasa dan ahirnya menjadi korban seperti orang-orang lainnya. Tetapi di
dalam perjalanan ia merenung bahwa Orez tidak pernah minta dilahirkan, dan dia
juga tentunya tidak ingin menjadi cacat. Jadi Orez pun mempunyai hak untuk
hidup, dicintai dan dilindungi, sama seperti dirinya. Ahirnya ia megurungkan
niatnya dan balik ke apartemennya.
Gaya bahasa
si pengarang di cerita ini sangat detil, karena ia memakai banyak majas dalam
mendeskripsikan perasaan, tingkah laku, maupun wujud seseorang. Contohnya
ketika dia menulis, “saya merasa menjadi kuat, tubuh saya serasa menjadi
raksasa berkepala seribu, jiwa saya perkasa bagaikan jiwa seorang pemimpin yang
tidak pernah kalah dalam pemilihan umum” Dengan menggunakan majas simile, si
pengarang berhasil membuat pembaca lebih mengerti perasaan si tokoh. Si tokoh
terlihat sedang menanggung tanggung jawab yang sangat besar saat Hester,
istrinya, mau melahirkan. Dia merasa sangat kuat bagaikan raksasa berkepala
seribu, sehingga ia bisa melindungi Hester dan membawanya secepatnya ke dokter
melahirkan. Si pengarang menuliskan “tubuh saya serasa menjadi raksasa
berkepala seribu”, bukan “tubuh saya serasa menjadi raksasa” saja. Hal
itu menunjukkan bahwa pengarang ingin para pembaca untuk mengerti dengan benar
bahwa tokoh utama ini merasa sangat kuat bukan hanya seperti raksasa, melainkan
raksasa berkepala seribu yang jelasnya jauh lebih kuat dan lebih hebat daripada
raksasa biasa.
Pengarang
juga menggunakan majas hiperbola saat mendeskripsikan Orez. Seperti
ketika ia menulis “setiap kali ia menangis, seluruh kota serasa mengalami gempa
bumi hebat. Rupanya dia kelak akan mempunyai kekuatan luar biasa, lebih kuat
daripada benteng keraton” Dengan menggunakan majas hiperbola ini, saya bisa
membayangkan sebagaimana dahsyatnya teriakan Orez sampai pengarang menulis
bahwa saat ia menangis, seluruh kota merasa mengalami gempa bumi hebat.
Pengarang juga menulis “seluruh kota”, yang menurut saya ia mau memberitahu
pembaca bahwa bukan di kota tempat tinggalnya saja teriakannya terdengar,
tetapi kota-kota lain di luar kotanya juga ikut bergetar akibat kerasnya
teriakan Orez. Saat ia menulis “kekuatan luar biasa, lebih kuat daripada
benteng keraton”, si pengarang berhasil memberi gambaran pada saya bahwa
kekuatan Orez sangat luar biasa, bahkan lebih kuat daripada benteng keraton
yang kokoh itu. Contoh lainnya terdapat pada kalimat berikut, “bola itu terbang
mencapai langit tingkat tujuh. Kalau posisi kakinya jelek, tubuh Orez
sendirilah yang melayang ke atas, dan kepalanya menyundul bintang-bintang di
langit.” Ungkapan ini sudah pasti tidak masuk akal, tetapi kalimat ini
mendeskripsikan tingkah Orez dengan jelas. Walaupun penulis tidak mengatakan
secara langsung bahwa Orez kuat, dengan memberitahukan bahwa bola yang di
tending Orez sampai ke langit tingkat tujuh dan kepalanya bisa menyundul
bintang di langit, itu sudah menunjukkan dengan jelas bahwa kekuatan Orez
sanggup menembus lapisan-lapisan langit, yang berarti sangat kuat.
Bahasa yang
digunakan penulis mampu membuat pembaca membayangkan dan mengerti dengan jelas
perasaan tokoh utama maupun gambaran tokoh Orez dalam cerita ini. Walaupun
cerita ini sedikit aneh sewaktu dibaca, tetapi gaya bahasa dan cara si penulis
menokohkan Orez sangat unik, sehingga mau tidak mau menarik pembaca untuk terus
membaca cerita ini sampai selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar