Ketimpangan Sosial
Karya : Hartana Adhi Permana
“Bapak
Srintil”, begitulah kawan-kawan pecinta sastra menyebut Ahmad Tohari.
Pengarang yang sekarang menetap di Desa Tinggarjaya, Kecamatan
Jatilawang, Kabupaten Banyumas ini akrab dengan rakyat lapisan bawah. Tidak
mengherankan kalau karya-karyanya selalu berpihak pada orang-orang desa yang
bodoh, lugu, sengsara, menderita, dan selalu tabah dalam menghadapi kemelut
hidupnya. Pembaca dan pecinta sastra mestinya tidak akan melupakan pengarang
beken itu. Ia selalu mempersoalkan ketimpangan sosial yang terjadi di
sekelilingnya, lebih luas lagi di negara tercinta ini yang sekarang sedang
sakit, menderita menanggung beban kehidupan yang entah kapan akan selesai
diatasi.
Senyum Karyamin
merupakan kumpulan cerpen Ahmad Tohari yang jelas-jelas mengangkat ketimpangan
sosial yang disampaikan dengan nada mengkritik. Kritik masyarakat bawah
terhadap atasannya, rakyat terhadap pemerintah, bahkan berbagai kritik sosial
dilontarkan dalam kumpulan cerpen tersebut.
Istilah
kritik yang barang kali memanaskan telinga bagi mereka yang mendengarkannya
merupakan sesuatu yang seharusnya dikembangkan dalam masyarakat demokrasi
seperti negara kita. Pembelajaran apresiasi sastra pun sudah seharusnya mulai
mencoba menanamkan sifat kritis dan kreatif terhadap siswa sejalan dengan era
kebebasan menyatakan pendapat. .
Ahmad Tohari
dalam Senyum
Karyamin menyodorkan kenyataan sosial yang terjadi di
lingkungan kita. Hal ini terjadi karena Tohari termasuk golongan yang peka
terhadap permasalahan sosial yang berkembang di lingkungannya. Kenyataan
tersebut disodorkan agar golongan atasnya mengadakan perubahan. Cerpen “Senyum
Karyamin” misalnya, menggambarkan potret kehidupan orang desa yang sengsara,
menderita, dan selalu tabah. Untuk menyambung hidup, mereka selalu “gali lobang
tutup lobang” tanpa mempetimbangkan akibat sikapnya itu. Yang penting, hari ini
dapat hidup. Perhatikan kutipan berikut.
Denging dalam
telinganya terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang di matanya pun semakin
banyak. Maka Karyamin sungguh-sungguh berhenti dan termangu .Dibayangkan
istrinya yang selalu sakit harus menghadap dua penagih bank harian. Padahal
Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini,hari esok,
hari lusa, dan entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang
telah setengah bulan membawa batunya (hlm. 5)
Pemaparan di
atas menggambarkan tiga kehidupan, yaitu buruh, tengkulak, dan bank harian.
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai mata rantai yang hampir
dialami oleh orang-orang lapiasan bawah pedesaan. Buruh selalu
menguntungkan para tuannya. Buruh sebagai pihak yang selalu mencari jalan
pintas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selalu menguntungkan para
tengkulak. Selain itu, bank harian yang membungkus namanya sebagai koperasi pun
turut andil dalam merusak tatanan kehidupan perekonomian orang-orang desa yang
serba kekurangan.
Kenyataan di
atas, disadari ataupun tidak , pengarang sebenarnya menyodorkan kenyataan
sosial dengan harapan pihak yang berkaitan dapat menanggapi dengan mengadakan
perubahan. Kritik yang dilontarkan oleh pengarang terhadap tengkulak dan bank
harian itu agar masyarakat yang mempunyai modal jangan sampai melakukan
penekanan dan permainan ekonomi yang dapat merugikan kaum bawah atau “wong
cilik”.
Kritik
terhadap tengkulak juga ditemukan dalam cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya”.
Ketika Sanwirya jatuh dari pohon kelapa, Sampir, Ranti, dan Waras sibuk
memperbincangkan pertolongannya kepada Sanwirya dengan cara meminjamkan uang
kepada tengkulak gula merah. Namun, keinginan mereka terdengar oleh istri
Sanwirya seperti dalam kutipan berikut.
“Kita akan menemui tengkulak yang bisa
menerima gula Sanwirya. Kukira takkan sulit meminjam sembilan puluh rupiah
darinya”.
“Maksudnya agar Sanwirya nanti
mengangsurnya? Pikiran yang bagus. Kalau semua sudah tidak keberatan kuminta
Ranti menambah catatan!”
“Menolong? Oalah gusti…menolong?”
“Iya. Kalian tak suka kelaparan bukan?”
“Itukah sebabnya Kalian mencarikan pinjaman
ke lumbung desa dan tengkulak?”
“Oalah pangeran… jangan lakukan itu. Wanti-wanti
jangan. Kami takkan lebih senang dengan pinjaman-pinjaman itu”.(hlm. 11)
Jelas sekali kepada kita bahwa Ahmad Tohari menentang
sikap dan perbuatan tengkulak melalui tokoh istri Sanwirya.
Bentuk
kehidupan lain yang dikritik oleh Tohari adalah sistem birikrasi pemerintah dan
perilaku para priyayi zaman sekarang. Birokrasi pemerintah desa yang kurang
akomodatif dan objektif tampak dalam kutipan berikut.
“Ya, kamu memang mbeling Min. Di
grumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya Kamu yang belum setor
dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana”(hlm.
6)..
Kritik yang
dilontarkan oleh pengarang melalui tokoh aparat desa itu tampak sebuah
kenyataan yang perlu dicermati dan dijadikan catatan penting. Penerapan
kebijaksanaan yang serupa saat ini masih banyak ditemukan dalam sistem
birokrasi di negeri tercinta ini.
Kritik
terhadap perilaku priyayi zaman sekarang dapat ditemukan dalam cerpen berjudul
“Syukuran Sutabawor” sebagai berikut.
“Rupanya pohon jengkolku demikian ngeri bila
kujadikan tutup lahat makam priyayi zaman akhir. Maka dia cepat-cepat berbuah,”
demikian laporan sumber berita mengutip ucapan Sutabawor pada tetangga.”
“Eh, nanti dulu. Memang apa dan bagaimana
priyayi zaman akhir itu? Apakah dia demikian sepele sehngga sebatang pohon pun
tak sudi menjadi tutup lahat makamnya?” tanya
seorang tetangga sambil menggigit sayap ayam yang tidak begitu besar.
“Priyayi zaman akhir
itu kan priyayi zaman sekarang.” Kata seseorang (hlm. 40).
Tak dilupakan pula kritik megenai kedudukan para pembesar
yang berada di kota besar. Cerpen “Ah,
Jakarta” memaparkan kritik terhadap kebiasaan para pejabat yang kapan saja
dapat beganti barang kesukaannya. Yang mengerikan bagi kita, mereka membeli
barang kesukaannya tanpa membayar. Angkat telepon, barang datang dan sudah
dibayar oleh sesorang. Misalnya, pada suatu malam seorang pejabat didatangi
oleh perampok dan mereka menodongkan pistol kepadanya meminta barang-barang
yang ada agar diserahkan. Namun, dengan tenang ia mengatakan, “Silakan ambil barang itu.” Cermati
kutipan berikut.
“Pernah kami masuk ke rumah orang kaya di
Kebayoran. Yang punya rumah bagus dan menjemput kami di ruang tengah dengan
pistol di tangan. Kami siap berkelai. Tapi tuan rumah justru menawarkan
barang-barangnya. Hanya satu permintaannya, agar kami tidak ribut-ribut.
Dikemudian hari kami tahu bahwa yang kami rampok adalah seorang pejabat
penting. Di rumah itu sedang ngendon dengan istri muda . Daripada heboh masuk
koran, maka ia ambil jalan yang baik bagi kami dan amat bijak.” (hlm. 30).
Dua bentuk
sindiran di atas, yaitu priyayi dan pejabat merupakan sebuah indikator yang
dikritik oleh pengarang mengenai kondisi sosial zaman sekarang. Priyayi zman
sekarang ternyata berbeda dengan priyayi zaman dahulu. Priyayi zaman sekarang
dinilai oleh pengarang sebagai masyarakat yang kurang berharga. Berbeda dengan
priyayi zaman dulu. Gambaran tersebut diungkapkan oleh Tohari dalam sebuah
perbandingan pohon jengkol yang tidak mau menjadi tutup lahatnya ketika mereka
meninggal. Sebuah sikap pengarang yang perlu dicontoh. Sebuah penolakan
terhadap kedholiman.
Kedua cerpen
di atas hampir setiap kalimatnya berisikan sindiran yang bernada
mengkritik. Sindiran terhadap para priyayi (pegawai). Dulu mereka bekerja untuk
mengabdi dan melayani rakyat. Priyayi zaman sekarang sebaliknya, ingin
dilayani oleh rakyat seperti halnya raja. Melalui cerpen ini, pengarang
menyodorkan kritik bahwa priyayi zaman sekarang miskin akan nilai-nilai
kemanusiaan yang sejati. Mereka cenderung mementingkan diri sendiri dan
golongannya. Mereka kurang memahami penderitaan rakyat banyak. Itulah sebabnya,
pohon jengkol saja tidak mau menjadi tutup liang lahatnya.
Sifat
hedoisme, mementingkan dunia belaka juga mendapat sorotan pengarang yaitu ada
cerpen “Rumah yang Terang”. Aspek sosial lainnya seperti perilaku masyarakat
yang lupa akan asal-usulnya setelah mendapatkan kenikmatan juga mendapat
kritikan seperti dalam cerpen “Kenthus”. Pergeseran nilai sosial yang berubah
menjadi kebobrokan moral dipaparkan dalam cerpen “Blokeng”. Cerpen ini
menggambarkan ketidakpedulian masyarakat terhadap penderitaan tokoh Blokeng
(gadis tidak normal) yang terlah hamil tanpa diketahui siapa yang menghamili.
Banyak memang, hikmah yang dapat diambil mengenai kritik sosial dalam buku kumpulan
cerpen Senyum
Karyamin karya Ahmad Tohari ini.
Apabila Senyum Karyamin
kita kaji dan dideskripsikan secara detail, akan diperoleh gambaran kritik
sosial mengenai sosial budaya, birokrasi, keamanan, perekonomian
(perbankan, koperasi) asuransi, hubungan majikan dan buruh, priyayi atau
pegawai, nilai moral, agama, dan pola kehidupan lain termasuk pola hidup
sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar