Antara
Kehendak dan Kerelaan
Oleh:
Hartana Adhi Permana
Untuk yang kesekian
kalinya saya menemukan sebuah buku yang tidak ada bandingannya. Betapa tidak,
sebuah karya fenomenal yang berjudul “Anak Bajang Menggiring Angin” dari
seorang filsuf yang juga menghadirkan karya-karya sastra yang begitu fantastis,
yaitu Sindhunata. Inti ceritanya adalah kisah pewayangan Ramayana yang
mungkin tidak asing bagi masyarakat Jawa atau Sunda, yang membuat buku ini
berbeda adalah tata bahasa buku ini sangat indah sekaligus puitis dan ritmis. Saya
pertama kenal buku ini ketika kelas 2 SMA, hampir genap empat tahun yang lalu. Saya
jatuh cinta pada buku ini ketika pertama saya membacanya. Tak terbayangkan
sebelumnya bahwa ada sebuah buku yang menceritakan keanggunan dan kecantikan
seorang wanita tanpa menggambarkannya dengan kata-kata porno dan tidak terkesan
melecehkan. Tetapi, sampai saat ini masih banyak kata-kata dalam buku ini yang
kurang saya pahami maksudnya karena ditulis dalam bahasa pewayangan. Seperti
kutipan berikut.
"Sinta
seramping seberkas cahaya ilahi yang memancar dari mata asamaara dewa surya.
Kata-katanya merdu bagai suara embun yang malas jatuh dari pucuk daun
kembang-kembangan. Bunga pudak hutan buru-buru memperelok diri ketika iri
menyaksikan betis dewi sinta yang menyala seperti bianglala dan bunga-bunga
angsoka itu lebih memilih mati daripada harus disingkirkan dari buah dadanya
yang bundar laksana sepasang matahari senja yang terbelalak dirayu asamaara
ketika menyaksikan bulan sedang mandi”. (Anak Bajang Menggiring Angin, Sindhunata, 1983).
Cerita Ramayana yang kita tahu
memang identik dengan latar belakang dan budaya Hindu, tapi cerita ini justru
ditulis oleh Sindhunata yang seorang Jawa Nasrani. Hal ini membuat saya
berpikir bahwa nilai kebaikan dan humanisme mampu melewati batas agama dan
bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan bagi penganutnya. Buku ini
merefleksikan kedalaman spiritual dan pemahaman hidup sang penulis terlepas
dari apapun kepercayaan yang dianutnya.
Dalam epos Ramayana, Sinta selalu
digambarkan sebagai wanita yang lemah dan patuh pada Rama. Rama sendiri
digambarkan sebagai pria yang sempurna, ia adalah raja yang bijaksana.
Simbol-simbol tersebut merupakan gambaran yang terjadi pada masyarakat dulu
sampai sekarang. Simbol bahwa wanita selalu digambarkan sebagai makhluk yang
lemah, yang tidak mempunyai kehendak atas dirinya. Simbol tersebut juga
merupakan gambaran tatanan masyarakat sekarang yang menempatkan pria lebih
tinggi dari wanita atau patriarki.
Sindhunata memiliki
kepekaan luar biasa untuk menjelaskan kakawin Ramayana itu secara surealis.
Alam khayangan yang tergambar di sana terasa suralis. Sebab alam itu memang
belum terjamah akal manusia. Kita juga meraba-raba, apakah seperti itu
suasananya? Tapi itu menjadi tidak penting, karena yang lebih penting adalah
apa yang kita peroleh setelah membaca buku itu. Adakah pengayaan rohani
setelah membacanya?
Cerita ini dimulai
dengan kisah awal mula kelahiran Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka. Seorang
Begawan Wisrawa yang memutuskan untuk menemui Prabu Sumali demi memintakan Dewi
Sukesi untuk dijadikan istri Danareja, anak Wisrawa. Tetapi sesampainya di
Alengka, Wisrawa memutuskan bersedia untuk menjelaskan apa itu Sastra Jendara pada
Sukesi. Pada saat proses menjelaskan inilah, Batara Guru dan Dewi Uma mencoba
kebersihan niat dua manusia ini, yang ternyata berakhir dengan niat yang
berbelok. Wisrawa yang berniat mendapatkan Dewi Sukesi untuk anaknya, malah
menghamili perempuan itu. Dua manusia itu akhirnya diusir dari Lokapala.
Hingga akhirnya di
tengah sebuah hutan, Sukesi melahirkan kandungan, berupa darah, telinga, dan
kuku manusia. Tak lama darah itu menjadi anak dengan sepuluh muka raksasa yang
dinamai Rahwana. Telinga menjadi anak raksasa sebesar Gunung Anakan dan dinamai
Kumbakarna. Dan kuku menjadi anak raksasa wanita yang tidak sedap baunya,
Sarpakenaka.
Lalu kisah Sugriwa,
kisah pembebasan Dewi Sinta oleh Ramawijaya dan pasukan kera yang dipimpin
Anoman, dan kisah-kisah lain.
Sindhunata memiliki
kemampuan cara bertutur yang indah. Entahlah, kadang di sebuah cerita atau buku
lain saya membaca narasi berbunga sambil mengerutkan kening. Apa ini maksudnya?
Pilihan katanya sungguh membosankan maksud saya, saya tidak merasa keluasan
pengetahuan si penulis (bukan berarti saya lebih tahu), kegugupan pemilihan
contoh analogi, dan peletakkan konteks yang kurang tepat di rasa saya. Tetapi
kalau di buku ini tidak, saya merasa takjub terhadap susunan kalimat yang
memesona, dan sesuai konteks cerita.
Dewi Sukesi bercahaya
seperti menara emas di tengah lautan darah. Kecantikannya mengumandang ke
segenap penjuru dunia. Bidadari pun menjadi rendah hati melihat keelokan putri
raksasa yang berwujud manusia jelita ini. Sampai mega-mega mengurungkan niatnya
menjadi hujan, supaya manusia bisa senatiasa terpukau akan putri bagaikan Dewi
Ratih ini. Bibirnya membentuk senyuman bunga angkosa yang manja dibangunkan
embun pagi. Matanya mengerling dengan kewaspadaan yang indah dari mata berlian kijang
kencana. Rambutnya mengurai menghelai bunga-bungaan tanjung menyulamkan
kehidupannya di pelataran bunga kenanga. Busananya direnda benang lentera.
Sebagai bulan yang tertutup pelangi, demikian keadaan buah dadanya yang jelita,
tersembunyi di balik kain bersulamkan manikan Batari ratih. (hal 7)
Penglihatan menjadi
gelap karena debu yang bercampur dengan darah. Sementara petang pun tiba, dan
malam pun datang memisahkan mereka. Para balatentara kera mundur ke Suwelagiri,
dan raksasa kembali ke perkemahannya di depan benteng kota Alengka.
Tanggal lima pada paro
petang bulan yang kelima. Sunyi sepi dan gelap gulita. Bangkai para prajurit
berserakan di mana-mana, di tengah tumpukkan bangkai gajah dan kuda-kuda. Angin
berembus pelan membawa bau anyir darah. Ada gumpalan darah para prajurit yang
membentuk karang-karang padang berwarna merah. Lalu bagai sungai tanpa suara,
mengalir darah-darah mereka. Maka terdengarlah suara rumput-rumput lelah,
bersama nyanyian burung-burung malam yang berduka. (hal 272)
Tidak memusingkan dan
berisi banyak hal, selain kisah-kisah para manusia, batara, dan raksasa di
atas. Seperti salah satunya mengenai ilmu lima
pancer.
Kau dilahirkan dalam
kesatuan dengan jagad semesta. Pada kelahiranmu kekuatan jagad semesta itu
menyatu, menjadi milikmu, berwujud dalam rupa kawah, ari-ari (dua kembar),
darah, dan pusar. Maka sebenarnya kau lahir bersama kakang kawah, adhi ari-ari, getih dan puser. Kelima saudaramu
itulah yang menemani kelahiran dan hidupmu. Kami semualah kekuatan jagad semesta
yang telah melahirkanmu. Dan ketika kau dilahirkan, tersebarlah kawahmu di
timur, darahmu di selatan, ari-arimu di barat, dan pusarmu di utara. (hal 208).
Benang merah karya
sastra ”Anak Bajang Menggiring Angin,” ini berkisah tentang nafsu yang bersemayam
di setiap diri manusia. Tidak peduli dia itu raja, resi, begawan, pertapa,
satria atau seekor kera sekalipun. Di sana ada nafsu amarah, nafsu birahi,
ataupun nafsu kekuasaan. Bahwa kerinduan akan kesempuraan itu jauh lebih indah
dan mulia daripada sudah merasa sempurna dan melupakan kodrat manusia yang akan
mudah jatuh tergelincir dalam dosa-dosa.
Kisah Ramayana yang
terkenal itu masih sangat relevan untuk menggambarkan karut marut kekuasaan
yang sedang melanda bumi Indonesia. Manusia yang berkuasa tak lebih dari sosok
Rahwana atau Dasamuka, yang hanya mengejar nafsu dunia, menghalalkan segala
cara. Atau sosok manusia bertopeng dusta. Banyak juga tokoh-tokoh agama yang
semestinya jadi pantutan ternyata juga hanya mudah berkotbah dan mudah tergelincir
dalam nafsu birahi yang semestinya telah berhasil dia kekang erat, seperti
tergambar dalam sosok Resi Wisrawa yang jatuh cinta pada Dewi Sukesi. Itulah
awal petaka ketika keduanya justru tidak mampu menjalani rahasia
kehidupan yang tersurat dalam ”Serat Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu.” Cinta yang seharusnya tumbuh sebagai cinta agape,
telah tergelincir ke dalam jurang cinta eros yang terlarang!
Persoalan cinta itu
menjadi kian pelik ketika dalam sosok Rama masih meragukan kesucian cinta
Dewi Shinta, setelah diculik Rahwana. Apa gunanya mengerahkan ratusan pasukan
kera menyeberang ke Alengka, menewaskan ribuan nyawa, hanya untuk membuktikan
cinta yang dia tolak sendiri? Ternyata Rama bukanlah sosok lelaki sejati, yang
bisa menerima segala kekurangan yang ada. Justru saya menemukan sosok mulia
pada diri Hanoman, sosok kera yang berhati manusia. Bukankah memang lebih baik
menjadi kera yang berhati manusia, daripada jadi manusia yang berhati kera?
Epos Ramayana, sudah
banyak yang tahu alur utamanya. Namun di tangan Sindhunata epos itu menjadi
sangat berbeda. Alur Ramayana sendiri semua sudah tahu, sudah jadi, dan sesuai
pakem. Namun karena dituturkan dengan diksi yang memikat, juga tafsir yang
sedikit berbeda dengan pemahaman “mainstream”, epos kuni itu bukan lagimenjadi
cerita yang membosankan.
Satu hal yang istimewa
adalah cara pandang pengarang terhadap cerita awal dan ending dari tragedi Shinta, juga terdapat suasana bathin
tokoh-tokohnya di akhir cerita. Perang besar itu hanyalah demi sebuah ambisi
tak ada yang dihasilkan, kecuali sebuah puing kesia-siaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar