Kasih
Tak Sampai
Oleh: Hartana Adhi Permana
Umumnya,
para pengamat sastra Indonesia menempatkan novel Azab dan Sengsara
ini sebagai novel pertama Indonesia dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Penempatan novel ini sebagai novel pertama lebih
banyak didasarkan pada anggapan bahwa kesusastraan
Indonesia modern lahir tidak dari peran berdirinya Balai
Pustaka, 1917, yang cikal bakalnya berdiri tahun 1908. Sungguhpun
sebenarnya tidak sedikit novel yang terbit sebelum Balai Pustaka berdiri, dalam hal pemakaian bahasa Melayu sekolahan, Azab dan
Sengsara yang mengawalinya. Dalam konteks itulah novel
ini menempati kedudukan penting.
Sebelum masuk kepada
pembahasan analisis novel ini, saya akan memaparkan sinopsis Novel “Azab dan
Sengsara” ini terlebih dahulu sebagai berikut.
Di
sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan
Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga tersebut terdari dari seorang
ibu yang sudah janda, Nuriah namanya. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama
seorang gadis, Mariamin yang memiliki paras cantik dan berbudi pekerti halus.
Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun.
Mereka
tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh
kesengsaraan dan kesedihan yang ditanggung bersama-sama. Semua dijalaninya
dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tidak pernah mengeluh dan putus asa.
Semua permasalahan hidupnya diserahkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Kisah
sedihnya bermula dengan kematian ayahnya Sutan Barigin. Di saat itu kebagiaanya
sebagai seorang gadis terenggut secara tiba-tiba. Sebelum ayahnya meninggal
kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus,
sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu
akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh prilaku Sutan
Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepada,
tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Harta warisan yang
seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek yaitu Baginda Mulia,
Sutan Barigin tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait, Sutan Barigin
malah memperakanya ke pengadilan. Yang keji lagi Sutan Barigin tidak mau
mengaku saudara pada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak
berdamai saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Barigin
kepadanya akan diterima saja. Sutan barigin tetap tidak mau dan ingin
memperkarakan saja.
Sidang
perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin.
Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak
separuh atas warisan neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan
yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara perlu biaya yang besar, sawah dan
ternak terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait mendapat jatah uang juga
dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara
dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Sutan Barigin tetap kalah
sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri
dan Baginda Mulia untuk berdamai. Sesal kemudian tidak berguna. Kesengsaraan
dan kemalaratan saja yang dierima Sutan Barigin dan anak keluarga ikut
menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir Sutan Barigin terkena
penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang loba dan tamak itu.
Kesedihan
Mariamin disusul oleh kepergian kekasihnya Aminudin ke kota Medan, hingga
hancurlah semua cita-cita dan harapan yang telah terbina sejak lama. Di Medan
Aminudin bekerja di perkebunan tembakau. Ia mencoba menyurati Mariamin.
Bahkan dalam suratnya mengatakan hendak meminang Mariamin untuk dijadikan
istrinya.
Aminudin
menyuruh ayahnya agar melamar Mariamin kepada ibunya dan segara di antarkanya
ke Medan. Tapi ayah Aminudin malah membawa perempuan lain ke Medan dengan
alasan Mariamin bukan jodoh Aminudin. Pendapat itu bersumber dari seorang dukun
yang dimintai pendapat ayahnya Aminudin.. Dengan sangat terpaksa, kecewa dan
menyesal Aminudin menika dengan perempuan yang tidak dicintainya karena
cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia sampaikan lewat
surat serta permohonan ma’af kepada keluarganya. Semua itu bukan kehendak
Aminudin untuk meninggalkan Mariamin.
Di
Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran ibunya. Kasibun seorang
laki-laki hidung belang yang mengidap penyakit kelamin. Mariamin di bawa juga
ke Medan oleh Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu dengan Aminudin. Di
Medan pula ia merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia selalu menolak hasrat
berahinya. Mariamin takut penyakit Kasibun menular kepadanya.
Tidak
kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan dan pulang
kembali ke Sipirok. Di Sipirok inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan
Mariamin. Gadis yang suci dan bernasib malang itu menemui ajalnya. untuk
mengakhiri ajab dan kesengsaraan di dunia yang fana ini. Arwahnya yang suci
naik ke tempat yang mahamulia, yang disediakan Tuhan untuk hamba-Nya yang
percaya dan taat kepada-Nya.
Tema
Azab dan Sengsara sendiri yang
mempermasalahkan perkawinan dalam
hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga, bukanlah hal yang baru. Novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka—yang umumnya
menggunakan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar juga
banyak yang bertema demikian. Novel bahasa Sunda, Baruang
ka Nu Ngarora (Racun Bagi Kaum Muda; 1914) karya D.K.
Ardiwinata (1866-1947) yang diterbitkan Balai Pustaka,
juga bertema perkawinan dalam hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga. Jadi, secara tematik, novel Azab dan Sengsara
belumlah secara tajam mempermasalahkan perkawinan dalam
hubungannya dengan adat.
Sejauh ini, studi terhadap novel Azali dan Sengsara,
baru dilakukan pada tingkat
sarjana muda, sebagaimana yang tampak dari penelitian Ahmad Tohir (UGM, 1969), Dzukifli Salleh (FSUI, 1962), dan Yacob bin Mohamed Tara
(FS Unas, 1980).
Novel yang
berjudul “Azab dan Sengsara” ini cukup sesuai dengan keadaan jaman (tahun
1920-an), yaitu ketika banyaknya kejadian kawin paksa/perjodohan atas kehendak
orang tua bukan atas dasar cinta.
Dilihat dari
segi estetika (keindahan), tema cerita ini cukup mengandung unsur-unsur
keindahan. Ceritanya diungkapkan dengan gaya yang sangat menarik. mengungkapkan
kisah-kasih dua anak manusia yang yang sangat memilukan, karena keadaan tidak
menghendaki mereka bersatu dan hidup bahagia, sehingga
kesengsaraan-kesengsaraanlah yang kerap kali mereka terima. Novel ini pun
mengandung unsur-unsur kebaikan, yaitu adanya kepatuhan kepada kedua orang tua,
ketaatan kepada Allah, kesabaran, dan perjuangan hidup.
Dalam
novel “ Azab dan Sengsara “Karya Merari Siregar ini saya menemukan beberapa
tokoh yang berperan dalam novel ini diantaranya adalah sebagai berikut.
Mariamin,
anaknya Sutan Barigin dan ibu Nuriah. Seoran gadis cantik, penyabar,tekun,
ulet, berbudi pekerti halus dan patuh kepada orang tua. ( Azab dan Sengsara :
33 ). Aminudin, pemuda tampan kekasih Mariamin yang berbudi pekerti baik,
sopan, peduli pada orang lain. ( Azab dan Sengsara : 35 ). Sutan Barigin,
ayahnya Mariamin yang memiliki watak keras kepala, bengis, loba dan tamak,
dengki dan khianat. ( Azab dan Sengsara :35,94 ). Nuriah, istri Sutan Barigin
berwatak baik, penyabar, peduli pada sesame. ( Azab dan Sengsara :31 ). Baginda
Mulia, Saudara sutan Barigin yang senenek. Wataknya baik dan penyayang pada
saudara. Ibu Aminudin, adiknya Sutan Barigin. Wataknya baik, penyayang
keluarga. Bapaknya Aminudin, baik, peduli keluarga. Hanya ada kelemahan yaitu
suka menjodohkan anak dan suka pergi ke dukun untuk menanyakan jodoh Aminudin. Marah
sait, seorang penghasut alias pokrol bambu pada Sutan Barigin. ( Azab dan
Sengsara : 91,92 ). Kasibun, seorang lelaki hidung belang. Suami Mariamin yang
kejam. Orang yang pintar dalam tipu daya. ( Azab dan Sengsara : 146,150,151,158
).
Sedangkan
dalam penokohanya, karakter untuk tiap tokoh, dapat diketahui melalui kajian
analitik tokoh. Watak tokoh diketahui secara lansung dari pengarang yang
menguraikan sifat tokohnya sebagaimana contoh kutipan yang tertulis berikut.
“Sutan
Barigin orang yang telah rusak binasa budinya dari kecilnya, tiada mempunyai
hati yang baik, sedikit pun tidak. Loba dan tamak, dengki dan khianat, itu
sajalah yang memenuhi pikiranya. Herankah lagi kita, kalau segala jerih payah
bapak Aminudin itu sia-sia belaka? Sutan Barigin tinggal bersitegang urat leher
saja, perkataan siapa pun tiada diindahkanya, lain daripada asutan pokrol
bamboo yang cerdik itu “ (Azab dan Sengsara : 94).
Dalam novel ini
latar tempat yaitu di sebelah Timur di watasi Dolok (gunugan) Sipisan, di
sebelah Barat Sibualbuali, Simagomago berdiri agak di sebelah Selatan, yang
menjadi watas dan tanah Angkola. Simole-ole membatasi dataran tinggi itu pada
sebelah Utara dengan dataran tinggi Pangaribuan (Toba).
Kemudian latar
waktu terjadi sekitar tahun 1920-an. Kisah ini ditulis oleh Merari Siregar yang
saat itu berusia 24 tahun. Kecerdasan, daya imajinasi, serta emosional
pengarang sangat kuat dan tajam dalam mengkritik adat istiadat yang ada di
daerahnya. Latar budaya yang mengisahkan adat istiadat di tapanuli, kawin
paksa dan pernikahan dalam satu marga yang disukai oleh keluarga mereka seperti
menikahkan anak kakak dan anak adiknya seperti kutipan.
“ Meneurut adat orang di negeri itu (
Batak ) seharusnyalah bagi Aminudin menyebut Mariamin adik ( anggi bahasa Batak
) dan perkawinan antara anak muda ini sangat disukai orang tua kedua belah
pihak.” Tali perkauman bertambah kuat, “ kata orang di kampong-kampung.
Barangkali perkawinan serupa ini tiada biasa di tempat lain. “Lain padang lain
belalang, lain tanah lain lembaganya, kata peribahasa. “ ( Azab dan Sengsara :
33).
Masalah
kawin paksa dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Pikiran
yang serupa itu acapkali didapati pada setengah kampong, yang kurang
mengindahkan hal perkawinan serupa itu di belakang hari., Mereka memandang
perkawinan itu suatu kebiasaan, yakni kalau anak perempuan sudah genap umurnya
harus dijodohkan. Demikian pula jadinya pada anak laki-laki. Haruslah ia lekas
dikawinkan, karena keaibanlah di mata orang banyak kalau orang tua terlambat
memperistrikan anaknya.” ( Azab dan Sengsara : 59-70)
Selain
itu menjelaskan masalah perkauman marga seperti marga siregar,dan marga harahap,
dan latar agama yaitu nilai agama yang dianut tokoh yaitu agama Islam. ( Azab
dan Sengsara : 48, 83, 90, 93, 163 ).
Alur
yang terdapat dalam novel Azab dan Sengsara adalah alur maju. Untuk mengetahui
sebab kesengsaraan keluarga Mariamin, pengarang menyorot balik kisah kehidupan
Sutan Barigin semasa kejayaan dan kekayaan yang masih melimpah. Karena suka
berperkara daripada berdamai tentang harta warisan akhirnya kehidupan Sutan
Baringin terbalik 180 derajat menjadi melarat, hina dan sengsara.
Cerita
dilanjutkan dengan pernikahan aminudin dengan gadis lain, Mariamin dengan
Kasibun yang berakhir dengan kaburnya Mariamin kembali ke Sipirok. Sebagai
solusi pengarang mewafatkan tokoh Mariamin sebagai akhir cerita dan akhir
kesengsaraan dunia untuk keluarga Mariamin.
Sudut
pandang pengarang dalam novel “Azab dan Sengsara” yaitu pengarang menempatkan
diri sebagai observer yang mengamati tiap kejadian dan peristiwa dalam cerita.
Pengarang menggunakan teknik bercerita “Dia-an” artinya pengalaman diwakilkan
pada tokoh-tokohnya.
Gaya
bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam novel ini yaitu bahasa yang
digunakan adalah Bahasa Indonesia melayu. Urutan bahasa yang runtut, enak
dibaca dan mudah dipahami pembaca. Penggunaan ungkapan, gaya bahasa serta
peribahasa nampak dalam tiap pengisahan. Ungkapan ‘pokrol bambu’ untuk orang yang suka
menghasut dan menipu sama artinya dengan trong kohkol nyaring bunyinya. Sarung
bengkok di makan mata pisau yang bermakna orang licik,pelit, serakah akan
hancur oleh sifat yang buruk itu.
Amanat
dari pengarang novel yaitu selalu bersikap sabar dalam menempuh ujian yang
sangat berat, jangan putus asa dari rahmat Allah. Budi pekerti yang baik dan
terpuji akan membawa kebahagian hidup di di dunia dan akhirat. Sifat
serakah,pelit, kejam, aniaya, khianat akan membawa kehancuran pada orang
tersebut. Janganlah kita percaya pada dukun masalah perjodohan karena itu
perbuatan musyrik. Manusia hanya merencanakan, Tuhan yang menentukan. Pendidikan
moral, agama dan akhlak mulia lebih berharga dari harta benda.
Kisah ini
mengandung tuntunan yang baik dan berguna bagi para remaja, yang biasanya
gampang berputus atas jika tengah menghadapi suatu kegagalan. Karena pada
umumnya mereka kurang menyadari bahwa belum berhasilnya seseorang dalam
mencapai cita-cita itu sebenarnya merupakan baru ujian dan cambuk untuk lebih
berhasil meraihnya.
Keunggulan
dari novel “ Azab dan Sengsara “ adalah terletak dalam penekanan untuk
memberikan kesadaran pada pembaca agar jangan berbuat mengikuti adat istiadat
yang kurang baik. Buku ini sangat luar biasa dalam menanamkan moral dan akhlak
mulia untuk pembaca. Tokoh antagonis dari Sutan Barigin dan Marah Sait membuat
kita sadar terkadang sifat tersebut ada pada diri kita. Maka hindari dan
jauhilah. Keunggulan lain yaitu dalam cara menyajikan kisahnya. Cerita
disusun secara rapi, enak dibaca dan mudah dipahami. Penggunaan ungkapan, gaya
bahasa dan peribahasa sangat menyentuh perasaan.
Namun
di sisi lain tiap karya sastra ada kelemahanya juga. Konflik yang terjadi
sangat sederhana. Tidak terlalu rumit sehingga pembaca tidak terlalu dituntuk
untuk berpikir keras. Konfliknya tunggal yaitu berkisar perebutan harta warisan
saja. Ini merupakan masalah social yang terjadi di masyarakat pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar