Analogi
Tradisi dan Kasta Aljazair dengan Bali
dalam Novel Istri Untuk Putraku dan Cerpen Sagra
dalam Novel Istri Untuk Putraku dan Cerpen Sagra
Oleh: Hartana Adhi Permana
Novel
Istri Untuk Putraku karya Ali Ghalem
adalah sebuah novel alih bahasa yang berjudul A Wife for My Son yang diterjemahkan oleh Rizky Nur Zamzamy dan
bahasanya disunting oleh Sapardi Djoko Damono. Ali Ghalem mengangkat perjuangan
perempuan yang tidak keras dan tajam, namun caranya yang terkesan hati-hati
mengusung gagasan perubahan dan modernisasi, Ghalem lebih menunjukkan bentuk
pembelaan terhadap laki-laki. Laki-laki dalam teks dimunculkan juga sebagai
korban budaya. Apalagi Ghalem secara tegas membedakan pemikiran tentang perubahan
dan modernisasi dengan gagasan feminisme yang diangkat tokoh Fatouma. Dalam
karyanya kali ini Ali Ghalem mendeskripsikannya dengan gaya yang sederhana
namun cukup memikat para pembacanya, novel ini menguraikan pertentangan antara
sebuah tradisi yang sudah mengakar serta dilaksanakan secara turun-menurun dan realitas
modern masyarakat Aljazair. Fatiha, sebagai tokoh utama cerita ini, dipaksa
kawin oleh orangtuanya dengan Husein seorang lelaki yang tak dikenalnya. Dari
sini dapat disimak betapa gigih dan penuh derita perjuangan Fatiha melawan
kaidah-kaidah sosial, kultural dan agama yang membelenggunya dalam
"peranan wanita."
Sedangkan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini mengungkapkan
nilai-nilai, pemikiran, suasana hati, perasaan, kepercayaan, dan adaptasi
kebiasaan masyarakat Bali. Pola penceritaan dengan komposisi kematian dan
kehidupan merupakan representasi perpaduan harmonis antara kreativitas
pengarang dengan tatanan kehidupan dan kepercayaan masyarakat dalam latar
cerita. Gaya bahasa yang dimunculkan oleh Oka Rusmini cenderung feminisme dan
vulgar. Cerpen ini memunculkan kebingungan Sagra, tokoh utama, akan siapa dirinya,
akan peristiwa kematian-kematian yang datang secara berturut-turut, akan kehidupan
orang-orang di sekitarnya, akan tradisi yang mengikat dan membatasi gerak langkahnya.
Namun justru kematian tokoh-tokoh ini secara tidak langsung menjawab konflik
dalam diri Sagra serta sekaligus menghidupkan cerita.
Dalam kedua karya sastra ini menceritakan pernikahan
paksa antara dua kasta yang bertentangan. Seperti dalam Novel Istri untuk Putraku yaitu pernikahan
antara Fatiha yang seorang wanita kaum proletar
atau rakyat kaum bawah dengan Husein seorang pria kaum borjuis atau pengusaha. Begitu pula dengan Cerpen Sagra tidak menganut tradisi pernikahan
beda kasta, yaitu antara Luh Sewir dan Made Jegog yang berkasta Sudra dengan
Ida Pidada dan Ida Bagus Baskara yang berkasa Brahmana. Akibatnya terjadi
tragedi dan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan di luar nalar manusia
menimpa mereka hasil dari kisah percintaan mereka yang tidak dilandaskan cinta.
Pernikahan paksa di sini bukan kehendak dari niat dan ketulusan mereka, tetapi
tuntutan tradisi di tempat mereka tinggal yang membawa mereka pada keharusan
mematuhi tradisi yang sudah mengakar dan dilaksanakan secara turun temurun.
Tema dari Novel Istri Untuk
Putraku adalah kehidupan. Terutama kehidupan berumah tangga. Amanat
yang terkandung dalam novel ini adalah bahwa kita tidak boleh memaksakan
kehendak kepada seseorang apabila seseorang tersebut benar-benar tidak sanggup
dan apabila kita ingin membangun sebuah kehidupan baru dengan seseorang
sebelumnya kita harus saling mengenal secara mendalam agar kita tidak
terjerumus ke dalam sebuah ketidakcocokan yang akan membuat kita tidak bahagia.
Begitu pula Cerpen Sagra juga mengangkat tema tentang kehidupan. Kehidupan Sagra
sebagai pengasuh anak dan kehidupan rumah tangga Luh Sewir dengan Ida Pidada
dan Made Jegog dengan Ida Bagus Baskara.
“Tampaknya
bukan tanpa alasan Sagra dijadikan
sebagai judul buku kumpulan cerpen prestisius dengan rentang tahun penciptaan
1994-2000 ini.
Sagra bersama-sama Pemahat Abad,
Putu Menolong Tuhan, dan Sepotong Kaki dapat dikatakan sebagai cerpen-cerpen
masterpieces Oka Rusmini. Keempatnya
memperlihatkan kemahiran pengarang mengelola alur yang berlapis-lapis, mengurus
tema yang diturunkan dari persoalan rumit kosmologi kasta dan griya yang bagi
orang Bali kebanyakan pun mengandung realitas eksklusif, dan bertutur dalam
gaya kilas-balik yang memerlukan konsentrasi dan fokus yang biasanya cuma
dimiliki pengarang dengan jam tulis telah teruji kumpulan cerita pendek ini
tampaknya semakin meneguhkan posisi Oka Rusmini sebagai salah
seorang pengarang kuat Indonesia dengan masa depan yang sangat cerah, terutama
jika ia terus mengeksplorasi tema yang diangkat dari locus genus yang sangat
dikuasainya.” (Horison, September 2001).
Dalam kedua karya sastra ini, pembaca dapat menemukan latar tempat yang
diambil oleh kedua pengarang ini, yaitu di daerah yang menganut sistem kasta
sebagai latar belakang sebuah masalah dalam cerita mereka. Istri untuk Putraku menjadikan negara Aljazair sebagai tempat pusat
tinggalnya para tokoh dan berkembangnya alur cerita. Aljazair, negara bagian
Afrika Utara, yang menganut sistem kasta borjuis,
yaitu kaum-kaum tingkatan atas dan pemilik modal, serta kasta proletar, yaitu kaum-kaum tingkatan bawah
dan buruh. Revolusi Perancis sangat memengaruhi sistem kasta setelah menjajah
Aljazair. Sedangkan dalam Sagra, Oka
Rusmini menjadikan Bali yang sejak zaman kerajaan di Nusantara sangat menganut
pada ajaran keagamaan dan kebudayaan Hindu-Budha. Dengan begitu menguatkan
latar belakang kisah pernikahan para tokoh.
Berbicara
tentang tradisi, Fatiha, dia dipaksa kawin oleh orang
tuanya dengan lelaki yang tak dikenalnya. Pada saat itu Fatiha masih berusia
sangat muda. Ia dapaksa kawin dengan lelaki yang belum ia kenal sebelumnya.
Lelaki itu bernama Husein. Dia adalah anak sulung dari keluarga Amor. Husein
adalah seorang pekerja bangunan di Paris yang usianya jauh lebih tua dari
Fatiha. Sebenarnya Fatiha belum siap untuk menjadi seorang istri. Namun, ia tak
ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Kesedihan Fatiha saat itu disebabkan
karena ia tidak suka kawin dengan cara seperti itu. Ia tidak mau hidup seperti
ibu-ibu yang hanya terkurung di rumah. Ia ingin bekerja. Menurutnya keputusan
orang tuanya untuk menikahkannya adalah sebuah keputusan yang seperti zaman
kuno.
Dalam
cerita ini juga menyebutkan ada sebuah tradisi yang sudah lama berakar, yaitu
wanita yang sudah bersuami harus bercadar apabila mereka ingin berpergian
keluar. Sebuah tradisi dari negara-negara Timur Tengah. Tapi Fatiha sangat
menentang tradisi itu dan tidak akan bercadar selamanya. Seperti dalam kutipan
berikut.
“ ....Fatiha merasa terpukul lebih dari
biasanya melihat wanita-wanita itu mengenakan cadar, satu hal yang pasti ialah
ia tidak akan bercadar selamanaya! Baginya itu hanya lambang kehidupan wanita
masa lalu. Ia ingin hidup di masa kini. Ia tidak menyetujui menyembunyikan
wajah ini, kendatipun sewaktu-waktu berguna juga ... dan hanya menutupi wajah
wanita!”. ( Istri untuk Putraku, 1989:
1-2).
Akan
tetapi, ketika Fatiha sudah menikah dengan Husein, Husein meminta Fatiha
memakai cadar. Dan akhirnya Fatiha pun memakai cadar karena takut suaminya
marah. Seperti kutipan berikut.
“Kita pergi, dan kau pakai cadar! Apa yang
kau cari? Mau dicemoohkan orang-orang dan bahkan anak kecil? Kau ingin melihat
aku ditertawakan? Aku beritahu padamu, mulai hari ini kau keluar pakai cadar
atau kau sama sekali tidak keluar! ....Akhirnya ia menoleh ke samping melepas
dasternya dan meraih cadar yang telah disediakan oleh ibu mertuanya di lemari.
Cadar yang ia pernah bersumpah untuk tetap membiarkannya di sana. Ia memakai
benda itu perlahan-lahan pada wajahnya. ...... Husein mengamati Fatiha memakai
cadar, tenteram hatinya. Istrinya sudah menyerah.” ( Istri untuk Putraku, 1989: 86-87).
Cerita dalam
Istri untuk Putraku ini, ditambah
lagi dengan tradisi Timur Tengah memiliki tradisi pernikahan yang ekstrem, yaitu tradisi pemeriksaan
keperawanan bagi gadis yang akan menikah. Menyakitkan. Begitulah yang ingin
disampaikan Ali Ghalem, tradisi negara Aljazair yang menginduk pada ajaran
agama Islam. Perempuan diibaratkan perhiasan yang harus selalu ditutup,
dilindungi dan dijaga segala-galanya. Seperti dalam kutipan berikut.
“ ...... Bidan tersebut menyusupkan tangannya ke pangkal paha gadis
itu, menyentuh bibir, dan kemudian menyusup lebih dalam lagi. Fatiha terlonjak
ke belakang dengan keras. Bidan itu bangkit dan menyuarakan teriakan
kegembiraan yang segera disambut dan dikumandangkan oleh wanita-wanita lain. ........
si kecil Fatiha masih perawan. Telah dibuktikannya sejak dulu tapi perlu
dibuktikan secara terbuka, diumumkan demi kehormatan keluarga. ..... Ia tahu
itu adat-istiadat selama berabad-abad wanita harus tunduk kepadanya.” ( Istri untuk Putraku, 1989: 14).
Begitu pula dengan tradisi dalam Sagra. Tradisi pernikahan kasta karena
tuntutan sistem kasta di Nusantara. Ida
Ayu Pidada yang keturunan kasta Brahmana mencintai Made Jegog, pria Bali
berkasta Sudra. Muncul Ida Bagus Baskara, pria keturunan kasta Brahmana
mencintai seorang wanita bernama Luh Sewir dari kasta Sudra. Kisah percintaan
berbeda kasta antara dua makhluk yang saling mencintai ditemukan dalam alur
cerita cerpen Sagra.
Dari
pernikahan Pidada dan Baskara lahirlah Ida Ayu Cemeti yang sebenarnya merupakan
anak dari benih Made Jegog. Sedangkan dari pernikahan Made Jegog dan Luh Sewir
melahirkan Luh Sagra, yang merupakan benih dari Ida Bagus Baskara dan sejatinya
Sagra merupakan keturunan bangsawan kasta Brahwana.
Entah
kenapa perempuan cantik berkasta paling tinggi ini hanya menemukan cintanya
dengan lelaki berkasta paling rendah. Lelaki berkasta Brahmana sering
digambarkan hanya bisa bermabuk-mabukan, main judi, sabung ayam atau meniduri
segala macam jenis perempuan. Dalam cerpen Sagra,
misalnya Ida Bagus Astara ditemukan mati di hotel besar dalam pelukan pelacur atau Ida
Bagus Baskara yang hanya bisa berfoya-foya dan kemudian mati tenggelam di Kali
Badug akibat menegak minuman keras.
Dalam kehidupan
fisiknya, Sagra pada mulanya hanyalah perempuan sudra, anak Made Jegog dan Ni
Luh Sewir. Secara biologis, Sagra lahir dari benih laki-laki bangsawan, Ida
Bagus Baskara yang mencintai Sewir. Made Jegog juga sudah menanam benihnya pada
rahim Ida Ayu Pidada sebelum ia menikah resmi dengan Baskara. Perkawinan resmi
Jegog dan Sewir dapat dikatakan untuk menyelamatkan kebangsawanan Pidada dengan
“merelakan” Baskara yang bangsawan mengawini Pidada. Sebagai akibat “perkawinan
perkawinan resmi” ini, Sagra kehilangan hak kebangsawanannya sedangkan Cemeti,
anak Pidada, menyandang gelar kebangsawanan dari surrogate father-nya,
Ida Bagus Baskara. Peristiwa di atas merupakan kematian metafisik Sagra namun
sebaliknya merupakan kehidupan metafisik Cemeti.
Dalam kaitan kasta, dalam Istri untuk Putraku negara Aljazair,
negara bagian Afrika Utara yang diceritakan dalam novel tersebut yang menganut
sistem kasta borjuis, yaitu kaum-kaum
tingkatan atas dan pemilik modal, serta kasta proletar, yaitu kaum-kaum tingkatan bawah dan buruh. Revolusi
Perancis sangat memengaruhi sistem kasta setelah menjajah Aljazair. Dalam Sagra, sistem kasta sangat memengaruhi
kehidupan dan pandangan mereka. Dalam cerita, ketika Ida Ayu Pidada dari
kalangan Brahmana yang sebenarnya mencintai Made Jegog seorang turunan kaum
Sudra, dan Ida Bagus Baskara yang keturunan Brahmana mencintai Luh Sewir yang
seorang Sudra. Akan tetapi, bencana itu datang. Kedua perempuan itu akhirnya
hamil di luar nikah. Untuk menutupi aib besar itu, akhirnya Ida Ayu Pidada
menikah dengan Ida Bagus Baskara karena mereka sama-sama berkasta Brahmana,
sedangkan Made Jegog menikahi Luh Sewir karena mereka sama-sama keturunan kasta
Sudra.
Dalam Sagra sistem kasta sangat dijunjung tinggi oleh mereka, sehingga
dengan adanya kejadian kematian seorang anak di bak mandi. Mereka menyalahkan
Sagra dengan tuduhan meninggalkan anak itu sendirian. Sampai-sampai ada usulan
untuk sistem kasta dihapuskan. Mereka berpikir bahwa rentettan kematian yang
menimpa keluarga mereka adalah adanya sebuah aib, yaitu pernikahan yang bukan
seharusnya terjadi. Mereka takut akan kutukan bahwa kaum Brahmana harus menikah
kembali dengan kaum Brahmana, sedangkan kaum Sudra tentu harus menikah dengan
kasta Sudra. Seperti kutipan berikut.
“
Mendung pertanyaan menghinggapi benak warga desa.
Haruskah sistem kasta di Bali dihapus? Apakah
kebangsawanan sudah tidak ada artinya lagi? Dan kematian beruntun yang menimba
keluarga griya adalah pertandanya?Apakah kesialan yang turun-temurun mengaliri
darah Luh Sagra telah menular ke orang-orang terdekatnya?” ( Sagra, 2001: 93-94).
Kematian-kematian yang
mengisi alur Sagra berbeda dengan konvensi kematian dalam cerita
detektif. Kematian Prami digunakan untuk melacak dan membeberkan kehidupan dan
kematian sistem dan nilai-nilai tatanan kebudayaan yang melekat pada masyarakat
Bali dari generasi ke generasi. Kematian Prami ini membuka kematian-kematian
yang dialami oleh tokoh-tokoh lain dari generasi yang berbeda pula. Kematian
Pangeran Kodok dan Ida Ayu Manik dari generasi pertama; kematian Jegog,
kedua-dua orang tuanya, dan Ida Bagus Baskara dari generasi kedua; kematian Ida
Ayu Cemeti dari generasi ketiga; dan kematian Prami dari generasi keempat
merupakan kematian tidak wajar yang dalam cerita detektif dikatakan sebagai
kematian misterius. Hampir semua kematian fisik tokoh terjadi di sungai Badung
akibat tergelincir, terseret arus, atau menenggelamkan diri sedangkan kematian
kedua-dua orang tua Jegog akibat tergilas mobil truk mundur.
Ketidakwajaran kematian fisik tokoh-tokoh ini
menghidupkan tatanan kebudayaan Bali sehingga perlu diadakan upacara mecaru atau
meruwat desa agar penduduk tidak terkena tulah dan terbebas dari kesialan oleh
dosa dan kotoran moral yang lekat pada keturunan pelakunya, dan upacara ngaben
atau pembakaran mayat sehingga abunya dapat dilarung. Upacara penangkal ini
dimaknai sebagai usaha penduduk desa untuk melanggengkan kehidupan fisik
mereka. Kematian fisik tokoh disamping berfungsi untuk menghidupkan kehidupan
fisik tokoh lain juga berfungsi untuk menggulirkan cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar