Cinta dalam Ruang Terbatas
Oleh: Hartana Adhi Permana
Siti
Nurbaya (Kasih Tak Sampai), adalah roman yang paling populer di antara
roman-roman dan novel yang pernah terbit di Indonesia. Pengarangnya seorang
sastrawan kelahiran Padang 7 Agustus 1889, Marah Rusli. Penulis fiksi Indonesia dengan gaya yang kuat. Romannya penuh dengan gagasan
yang mendahului zaman dia hidup. Dia menggugat kekolotan kaum bangsawan,
keburukan poligami, serta masalah-masalah sosial lain dalam lingkungannya guna
melahirkan sebuah reformasi sosial. Buku ini pertama kali terbit tahun 1922
oleh Balai Pustaka. Karena popularitas buku ini, maka tahun-tahun awal terbinya
disebut zaman Siti Nurbaya.
Pengarang
ini telah menamatkan SD di Padang pada tahun 1904 dan menamatkan Sekolah Raja
(Hoofdenscool) di Bukit Tinggi pada tahun 1910. Setelah tamat Sekolah Dokter
Hewan di Bogor pada tahun 1915, ia diangkat menjadi adjunct dokter hewan di
Sumbawa Besar, kemudian (1916) menjabat Kepala perhewanan di Bima. Tahun 1918
pindah menjadi kepala peternakan hewan kecil di Bandung,
kemudian mengepalai daerah perhewanan di Cirebon.
Tahun 1919 menjabat kepala daerah perhewanan di Blitar, tahun 1920 menjadi
asisten leraar Kedokteran Hewan Bogor, tahun 1921 menjadi dokter hewan di
Jakarta, tahun 1925 pindah ke Tapanuli.
Sejak
tahun 1929 sampai datang revolusi 1945 menjadi dokter hewan kotapraja Semarang. Selama revolusi
tinggal di Solo, kemudian bekerja pada ALRI di Tegal. Tahun 1948 diangkat
menjadi lektor di Fakultas Dokter Hewan Klaten dan dalam tahun 1950 kembali ke Semarang. Sejak tahun
1951 menjalani masa pensiun di Bogor,
tetapi masih tetap menyumbangkan tenaganya di Balai Penelitian Ternak Bogor
sampai akhir hayatnya.
Di
samping profesinya sebagai dokter hewan, Marah Rusli terkenal pula sebagai
sastrawan karena romannya yang berjudul Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai).
Siti Nurbaya adalah masterpiece
Marah Rusli. Bisa dipastikan tidak satupun orang Indonesia modern yang tidak
mengetahui roman setebal 271 halaman ini. Bahkan istilah Siti Nurbaya dicerap
kedalam bahasa Indonesia keseharian sebagai majas yang merujuk pada bentuk
perkawinan yang dipaksakan. Bahkan di Padang, sosok Siti Nurbaya dihadirkan secara riil melalui
penamaan sebuah jembatan dan sebuah makam yang diyakini adalah makam tokoh
roman yang bersangkutan.
Siti
Nurbaya telah hadir di sekolah-sekolah sejak pertama diterbitkan tahun 1920
oleh Balai Pustaka. Isinya tentang kisah cinta melodramatis antara Siti Nurbaya
& Syamsul Bahri. Namun orang tua Siti
Nurbaya memilih menikahkan anaknya dengan Datuk Maringgih. Roman ini
dipadu kuat dengan kritik sosial pengarang terhadap situasi adat yang
mengungkung Kemerdekaan
Perempuan di zaman itu. Marah Rusli kemudian wafat 17 Januari 1968.
Di Padang, Siti Nurbaya hadir seperti sosok riil. Ada jembatan atas namanya,
ada pula makam lengkap dengan cungkup dan kelambunya. Yang menarik beberapa
lama setelah roman itu lahir terjadi perubahan dalam masyarakat Minangkabau
terutama berkaitan dengan kawin paksa. Roman ini kemudian menjadi counter
culture, yang mengejek setiap orang tua ketika hendak memaksa anak
perempuannya kawin dengan perjodohan paksa: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Bahkan 80 tahun kemudian Dewa 19
pernah membuat lagu berjudul “Cukup Siti Nurbaya” yang juga terinspirasi oleh
roman Siti Nurbaya.
“Roman Siti Nurbaya berkisah tentang percintaan melodramatis Siti
Nurbaya dengan Samsul Bahri. Namun orang tua Siti tak menyetujui. Siti pun
menikah dengan Datuk Maringgih orang tua kaya berhati licik. Siti akhirnya
meninggal diracun anak buah Datuk Maringgih. Syamsul pun mati. Siti Nurbaya
menarik karena roman ini mampu membangun pemahaman baru akan kegelisahan perempuan terhadap adat dan
kebudayaan yang mencengkram mereka. Cerita ini sekaligus menggambarkan
pengorbanan perempuan Siti Nurbaya untuk kedua orangtuanya dengan
menikahi Datuk kaya demi melunasi hutang orang tuanya.” (tempo)
Bagi yang tidak pernah membaca roman ini secara utuh,
menganggap bahwa kisah Siti Nurbaya adalah kisah kawin paksa. Yang sebenarnya
adalah terpaksa kawin. Siti Nurbaya terpaksa kawin dengan seorang dengan datuk
Maringgih demi membayar hutang orangtuanya.
Kisahnya, Siti Nurbaya dan Samsulbahri sejak kecil sudah
berteman bahkan satu sekolah karena rumah mereka berdekatan. Ketika tumbuh
menjadi remaja, di antara keduanya tumbuh rasa saling mencintai. Hubungan dua
remaja ini mendapat restu dari orangtua kedua belah pihak. Kemudian Samsulbahri
melanjutkan studinya di Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.
Sementara itu, ayah Siti Nurbaya, Baginda Sulaiman,
mengalami kebangkrutan dalam usaha perdagangannya. Karena itu, ia terlilit
hutang pada Datuk Maringgih, seorang lanjut usia nan kaya tapi sangat kikir.
Dengan segala cara Datuk Maringgih menagih piutangnya pada Baginda Sulaiman,
namun tidak bisa dibayar. Karena tidak bisa membayar hutang, Baginda Sulaiman
diminta untuk menyerahkan anaknya Siti Nurbaya untuk menikah dengan Datuk
Maringgih.Siti Nurbaya pun terpaksa dinikahi si kakek Datuk Maringgih.
Suatu hari, Samsulbahri mudik dari Jakarta. Ia pulang berlibur ke kampungnya di Padang. Ia sudah tahu
kalau Siti Nurbaya sudah menikah dengan si kakek Datuk Maringgih. Namun ia
berusaha untuk bisa bertemu dengan mantan kekasihnya Siti Nurbaya. Maka
keduanya melakukan pertemuan secara rahasia dan akhirnya diketahui oleh Datuk
Maringgih. Akibatnya, terjadi pertengkaran. Mendengar kejadian itu, ayah
Samsulbahri yang kebetulan seorang penghulu di Padang, merasa telah dipermalukan oleh
anaknya. Samsulbahri kemudian diusir untuk kembali ke Jakarta. Mengetahui Samsulbahri telah kembali
ke Jakarta,
Siti Nurbaya secara diam-diam menyusulnya. Namun tindakan itu diketahui Datuk
Maringgih melalui kaki tangannya. Dengan berbagai fitnah dan memperalat polisi,
kaki tangan Datuk Maringgih berhasil membawa pulang Siti Nurbaya ke rumah
Datuk.
Akibat tidak tahan dengan kenyataan hidupnya sebagai
suami Datuk Maringgih, Siti Nurbaya kemudian mati setelah memakan lemang
beracun yang sengaja dijajakan oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Berita
kematian itu sampai juga ke telingan Samsulbahri. Karena kecewa dan putus
asanya, Samsulbahri mencoba bunuh diri namun tidak berhasil. Namun, ia harus
meninggalkan bangku sekolahnya di Jakarta
dan masuk dinas militer.
Pada suatu waktu, terjadi kerusuhan di Padang karena banyaknya rakyat yang tidak mau
membayar pajak yang ditagih pemerintah Belanda. Untuk mengatasi kerusuhan itu,
pemerintah Hindia Belanda mengutus pasukan pengamanan dari Jawa, sehingga
terjadi pertempuran sengit. Ternyata pemberontakan itu didalangi oleh Datuk
Maringgih. Tak disangka, Datuk Maringgih bertemu dengan Samsulbahri yang
berpangkat dan nama Letnan Mas. Samsulbahri berhasil menembak Datuk Maringgih.
Sialnya, sebelum Datuk Maringgih meregang nyawa, ia sempat menebas Letnan Mas
sehingga harus dirawat di rumah sakit. Dalam perawatan itu, Letnan Mas meminta
dokter agar memanggil Penghulu Kota Padang bernama Sutan Mahmud Syah. Di rumah
sakit, Letnan Mas menceritakan riwayatnya lalu menghembuskan nafas terakhir.
Setelah meninggal, Sutan Mahmud Syah baru tahu kalau Letnan Mas sebenarnya adalah anaknya, Samsulbahri. Karena kesal dan sedih, pada beberapa hari kemudian Sutan Mahmud Syah meninggal dunia.
Setelah meninggal, Sutan Mahmud Syah baru tahu kalau Letnan Mas sebenarnya adalah anaknya, Samsulbahri. Karena kesal dan sedih, pada beberapa hari kemudian Sutan Mahmud Syah meninggal dunia.
Buku yang
berjudul Siti Nurbaya ini berhasil menempatkan diri sebagai puncak roman di
antara roman-roman lain yang dianggap orang sebagai puncak roman dalam Sastra
Indonesia Modern. Penilaian itu tidak didasarkan pada temanya, tetapi
berdasarkan pemakaian bahasa dan gayanya yang tersendiri. Buku ini menggunakan
bahasa melayu. Oleh karena itu, orang melayu pasti akan lebih mudah membaca dan
segera mengerti isinya. Karena terkenalnya sampai-sampai zaman itu dinamai zaman Siti Nurbaya.
Roman karyanya
ini berhasil pula merebut hadiah tahunan dalam bidang sastra, yang diberikan
oleh pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1969.
Dalam
karya-karyanya berjudul Siti Nurbaya, Marah Rusli ingin merombak adat yang
berlaku pada masa itu dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia. Pelaku utamanya pada roman ini adalah Siti Nurbaya, Samsulbahri, dan
Datuk Maringgih.
Membaca roman
Siti Nurbaya kita diajak mengikuti liku-liku kehidupan masyarakat Padang pada masa itu,
khususnya kisah cinta yang tak kunjung padam dari sepasang anak manusia, Siti
Nurbaya dan Samsulbahri.
Pengarang
mengajak kita untuk memetik beberapa nilai moral dari romannya yang terkenal
ini, antara lain :
- Demi
orang-orang yang dicintainya seorang wanita bersedia mengorbankan apa saja
meskipun ia tahu pengorbanannya dapat merugikan dirinya sendiri. Lebih-lebih
pengorbanan tersebut demi orang tuanya.
- Bila asmara melanda jiwa
seseorang maka luasnya samudra tak akan mampu menghalangi jalannya cinta.
Demikianlah cinta yang murni tak akan padam sampai mati.
- Bagaimanapun
juga praktek lintah darat merupakan sumber malapetaka bagi kehidupan keluarga.
- Menjadi
orang tua hendaknya lebih bijaksana, tidak memutuskan suatu persoalan hanya
untuk menutupi perasaan malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan yang
tak terhingga.
- Dan kebenaran
sesungguhnya di atas segala-galanya.
- Akhir dari
segala kehidupan adalah mati, tetapi mati jangan dijadikan akhir dari persoalan
hidup.
Tetapi yang saya sayangkan adalah novel ini seringkali dijadikan
bahan untuk menyerang konsep dalam Islam yang memperbolehkan poligami, padahal
jika kita pikir dengan akal sehat sebelum datangnya Islam seorang laki-laki
apalagi yang memiliki kedudukan tinggi (bangsawan) biasanya memiliki banyak
selir, bahkan raja-raja di Tiongkok ada yang memiliki lebih dari seribu selir.
Islam justru mengatur masalah-masalah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar