Hati
yang Haus Cinta
Oleh: Hartana Adhi Permana
Novel
Hati yang Damai diterbitkan pertama kali oleh Nusantara Bukittinggi tahun 1961,
kemudian mulai cetakan kedua tahun 1976 diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya
sejak tahun 2002 diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta. Dapat dipahami apabila
novel ini menjadi penting karena pengarang wanita pada masa itu masih terbilang
langka. Yang muncul pada waktu itu adalah Titis Basino, Surtiningsih, Hartini,
tetapi tidak tampak perkembangannya kemudian. Ternyata di antara pengarang
wanita masa 1960-an hanya Nh Dini yang masih terus menulis hingga usia lanjut
sejalan dengan ratusan pengarang wanita yang boleh diibaratkan anak-cucunya.
Buktinya, pada 5 Maret 2007 di Semarang Nh. Dini meluncurkan buku terbaru berjudul
La Grande Borne, serial terakhir dari kisah-kisah kenangannya.
Intisari novel Hati yang Damai
adalah kegalauan hati seorang istri penerbang yang bertemu lagi dengan
kekasih-kekasihnya justru di saat sang suami berada jauh di luar rumah. Namun,
pada akhirnya sang tokoh menemukan kedamaian hati dalam keluasan hati suaminya.
Kata Ajip Rosidi (1969: 178), kisah
ini sangat mengharukan dan ditulis dengan halus mengajuk hati wanita, sedangkan
Prihatmi (1977: 50) menyatakan bahwa novel ini mampu memukau perhatian pembaca.
Seorang yang lembut, jujur, sederhana, dan selalu memilih kedamaian hati telah
ditampilkan pengarang sebagai tokoh utama.
Tokoh utama itu adalah Dati yang
pada mulanya bercintaan dengan Sidik, tetapi Nardi sebagai sahabat Sidik
ternyata juga menaruh hati. Dati tidak mau melukai perasaan kedua pemuda itu
sehingga memutuskan hubungan dengan keduanya secara baik-baik, kemudian
berpindah ke kota lain dan akhirnya menikah dengan penerbang Wija. Dalam
perjalanan kehidupan Dati yang tenang, tiba-tiba muncul kembali Sidik sebagai
seorang pejabat berkedudukan tinggi, tetapi diketahui terbiasa tidur dengan
perempuan komersial yang berkelas.
Sejak kecil ia tidak cukup dapat
menerima dan mencurahkan cinta, juga kemanjaan. Tetapi, di luar rumah ia
dicintai dan dimanja banyak kawan. Maka, terjadilah cinta segi tiga. Lalu, ia
pun melarikan diri. Maksudnya agar tidak melukai hati salah seorang. Tetapi
dengan begitu ia melukai hati tiga orang; Sidik, Nardi dan ia sendiri. Dalam
pelariannya ia mendapatkan seseorang. Benarkah ia mencintainya? Inilah apa yang
dikatakannya.
“Apakah sebenarnya yang telah
kuberikan kepada Wija suamiku? Lelaki itu mengecap hidup dengan perempuan yang
memberinya keperawanan dan kesetiaan”. Kesetiaan? Masalahnya tidak berhenti di
sini. Pada suatu ketika secara tiba-tiba ia dihadapkan pada ketiga orang yang
terlibat dalam cintanya yang berkembang menjadi cinta segi empat.
Tidak
lama kemudian Wija mengalami kecelakaan dalam sebuah pendaratan pesawat
sehingga harus dirawat di rumah sakit. Secara kebetulan, dokternya adalah Nardi
yang dahulu pernah menaruh hati kepada Dati. Akan tetapi, Nardi dengan jujur
mengalami Dati sebagai istri Wija. Pada akhirnya, Dati tetap berada dalam
rangkulan kasih sayang Wija.
Meskipun novel itu terbilang pendek
atau ringkas, banyak peristiwa yang terjalin di dalamnya. Tergambar juga watak
manusia yang tidak semua dapat dibaca dari perbuatannya. Dapat dipastikan
gambaran tersebut memperkaya pengetahuan dan pengalaman batin pembaca. Oleh
karena itu, novel ini sepantasnya disimak dengan cermat sebagai modal awal
memahami karya Nh. Dini yang terbit kemudian, seperti Pada Sebuah Kapal,
Keberangkatan, La Barka, Jalan Bandungan, dan kisah-kisah kenangan seperti
Sekayu, Langit dan Bumi Sahabat Kami, dan terakhir La Grande Borne.
Pada dasarnya alur novel Hati yang
Damai memiliki adanya pertahapan seperti tahap perkenalan, konflik, klimak dan
penyelesaian. Tahap perkenalan, pada tahap ini tokoh utama “aku” diperkenalkan
kepada seorang pria yang bernama Sidik sebagai kekasih tokoh Aku. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut ini.
“Kau akan memperkenalkan istrimu
kepadaku? Kataku setelah kami berada terdiam sejenak. Sidik tidak menjawab.
“Aku harap kau memperkenalkannya kepadaku” ia tidak menjawab. Ia tetap berdiri
membelakangi pagar yang memisahkan rumah makan itu dengan landas terbuka di
belakangnya” (HYD; 1992: 5).
Kemudian perkenalan tokoh “aku”
diperjelas lagi oleh pernyataan lainnya. Hal ini dapat dilihat pada cuplikan
berikut ini.
“Memang ada apa-apa diantara kita.
“Ia kembali duduk dan matanya terpaku ke wajahku. “ada suatu pengenalan yang
tidak akan bisa diartikan orang lain. Ada pengenalan yang tidak akan bisa
diartikan orang lain. Ada pengenalan yang akan selalu menguatkan kita bersua
hingga kita terpaksa mengakui, bahwa kita dilahirkan hanya untuk menjadi satu.”
Matanya hitam dan dalam mencekamku kau mengeluh mengelakkannya (HYD; 1992: 6).
Pada tahap konflik sang tokoh utama tokoh
“aku” menolak ajakan temannya untuk ke luar malam. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada cuplikan berikut ini.
“Maka aku putuskan segalanya dengan perasaan yang gusar. Aku meninggalkan keduanya. Dengan begitu tiga hati telah kulukai. Sidik, Nardi, dan aku sendiri. Aku tinggalkan ibuku pindah ke tempat yang lain. (HYD: 1992: 19)
Pada
tahap klimaks ini dikisahkan tokoh “aku” yang merasa sedih kesal atas
perilakunya sendiri yang mencintai orang lain dan serasa telah membunuh kedua
orang tuanya akibat perlakuannya yang kurang bagus, sedangkan suaminya sendiri
tidak dicintainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada cuplikan berikut
ini.
“Aku
mulai tidak bisa mengendalikan ketenagaanku. Tenagaku erat dengan kemudi. Resah
dan perasaan aneh mencekamku. Beginilah perasaan orang yang akan mati? Apakah ibuku
juga telah aku bunuh? Apakah perempuan yang telah mengandung dan membawaku ke
dunia itu ada perempuan yang telah mengandung dan membawaku ke dunia itu ada
dalam kumpulan asap yang akan ditinggalkan? Dati, maafkan aku, telah menjadi
pembunuh dan perusak tanganku sendiri dengan tiada semauku sendiri.” (HYD;
1992: 37).
Tahap
penyelesaian ini tokoh aku meminta damai dengan suaminya lagi dan menyesali
atas perbuatannya yang tidak baik lagi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
cuplikan berikut ini.
“Apakah
bisa diharapkan dari seseorang yang kembali dari perang? Aku mengalami sendiri
apa yang pernah kukatakan. Apakah yang aku harapkan daripadanya? Pesawatnya
tidak kembali ke pangkalan karena salah satu mesinnya tidak bekerja. Dia masih
mengadakan hubungan dengan pangkalan dua belas menit sebelum mendarat, diam,
apakah diyakini? Apakah bedanya tidak kembali ke pangkalan dan jatuh menjadi
puing dengan pesawatnya? (HYD; 1992: 72).
Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada cuplikan berikut ini.
“Aku tidak tahu berapa lama aku
tertidur. Setiap kali aku sadar aku melihat bayang-bayang yang tidak tampak
jelas mukanya. Samar-samar kudengar istri kapten di samping rumahku membujuk
anakku. Kemudian suara laki-laki. Dan kemudian sepi lagi. (HYD; 1992: 73).
Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilihat
cuplikan berikut ini.
“Dia dengan sukar mengucapkan kata-katanya.
Dan aku mendengarkan. Beban aku serasa kosong. Tubuhku serasa ringan. Aku
menyadarkan kepalaku ke kursi. Kulihat bayang-bayang yang bersimpang-siur di
depan dan sampingku (1992: 74).
Berbagai tokoh yang terlibat dalam novel
teks novel Hati yang Damai adalah sebagai berikut.
(1). Aku; merupakan tokoh utama dari
cerita tokoh novel Hati yang Damai.
(2). Sidik; seorang pria yang sangat
baik yang mencintai tokoh aku.
(3). Wija; merupakan pacar kedua dari
tokoh aku.
(4). Nardi; sahabat Sidik yang
diperkenalkan kepada tokoh aku.
(5). Asti; merupakan kakak ipar dari tokoh
sang aku.
(6). Atni; merupakan anak sulung dari
tokoh aku.
(7). Anto; anak kedua dari tokoh aku.
Deskripsi mengenai penokohan “aku” dapat
dilihat pada kutipan teks novel berikut ini.
“Aku hidup sadar dari hari ke hari dengan
kebahagiaanku. Aku mempunyai anak, aku mempunyai suami. Kedamaianku hanya
selintas-selintas, jika kamu berkumpul semua; anakku suamiku dan aku. Pekerjaan
suamiku merupakan bayangan yang menakuti perasaanku setiap saat. Juga keadaan merupakan
bayangan yang menakuti perasaanku setiap saat. Juga keadaanhati yang tidak bisa
dipercaya akhir-akhir ini semakin mencemaskan hatiku. Dan kini aku datang.
Adakah ini hanya bersebab kepadaku saja, aku sendiri?” (HYD;1992: 8).
Pemberian fisik tidak diungkapkan secara
eksplisit oleh pengarang, akan tetapi dalam hal psikis terlihat sangat jelas
bagaimanapun tokoh “aku” ini berusaha ingin mendamaikan kedamaian hati. Hal ini
tergambar pada kutipan berikut ini.
“Malam itu dalam kamarmu yang sempit
kita telah berjalan jauh, menjelajahi hidup. Itu berjalan pertama bagimu. Aku
tahu. Tapi aku tidak pernah mengatakan bahwa itu bukan malam pertama bagiku.
“Ia tiba-tiba telah berdiri dekat sekali denganku. Dan aku tidak mendengar yang
lainnya selain suaranya yang bening, tenang dan damai. Aku tidak melihat
lainnya selain dia, suamiku yang telah kembali dan mencintaiku. Aku tidak berani
menatapnya. Aku tundukkan kepalaku. (HYD; 1992: 82).
Selain itu tokoh “aku” merasa hidupnya lebih
damai dalam ini rohaninya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan
berikut ini.
“Kami berpandangan. Perkataannya amat
menunjang perasaan hatiku. Kuulurkan jari-jari tangankuke bibirnya, dan aku
peluk dia. Aku peluk dia erat. Kudapatkan kepalaku dengan terisak sebuah
kekuatan yang sejuk mengait perasaanku. Aku kemudian menyadari kedamaian dan
ketenangan yang dibawanya kepadaku (HYD; 1992: 82)
Tema yang terkandung dalam novel Hati
yang Damai mengisahkan hati yang haus akan cinta, dari hati seorang istri tentara
yang resah berkepanjangan, selain itu juga menggambarkan masalah cinta seorang
wanita yang ketakutan akan mengalami berbagai macam godaan untuk mempertegas
tema di atas dapat dilihat cuplikan berikut ini.
“Dalam pelariannya dapatkan seseorang.
“Apakah sebenarnya yang telah kuberikan kepada Wija suamiku? Laki-laki itu
mengecap hidup dengan perempuan yang memberinya keperawanan dan kesetiaan (HYD;
1992: 53).
Sedangkan yang berhubungan dengan tema
adalah gangguan dalam bercinta pada tokoh “aku”.
”Selalu dilanda kegelisahan dalam
bermain cinta di luar / di belakang suaminya. Ia berkali-kali bertemu mantan
pacarnya sehingga ia tergoda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada cuplikan
berikut ini.
“Aku tahu kau masih mencintainya. Tapi
aku juga tahu bahwa mencintai itu memang mudah. Untuk saling mengerti itu yang
sukar. Kudengar suamiku berkata, suaranya dengan terang. Aku melihat kepadanya.
Jadi ia tahu dan mengerti siapa Sidik. Dia pasti mengerti semaunya. Kulihat
Sidik terhenti di pintu. Antara kita ada pengertian yang besar, ada persamaan
yang besar. Hanya dari dulu ada satu beda. Aku mencintaimu dari kau tidak
mencintaiku.” (HYD; 1992: 81).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar