Cinta Tumbuh dengan Seiringnya Waktu
Karya: Hartana Adhi Permana
Karya: Hartana Adhi Permana
Student Hijo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali
tahun 1918
melalui Harian Sinar Hindia, dan
muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra
perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Buku ini
diterbitkan kembali dengan dua versi pada tahun 2000, oleh Aksara Indonesia
dan Bentang, keduanya penerbit dari Yogya. (wikipedia)
Novel ini mencoba berkisah tentang awal mula kelahiran para
intelektual pribumi,
yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengontraskan
kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. Hingga menjadi masuk akal jika
novel ini kemudian dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni Balai Pustaka,
bahkan sampai saat ini.
Mas Marco secara lugas juga menunjukkan keberpihakannya kepada kaum bumiputra.
Ia menggunakan tokoh Controleur Walter sebagai tokoh penganut politik etis
yang mengkritik ketidakadilan kolonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia.
Novel yang menggambarkan tentang kehidupan kaum priyayi Jawa dengan
berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, seperti kemudahan menimba
pendidikan. Suasana masa-masa pergerakan, terutama Sarekat Islam, yang
merupakan organisasi masyarakat yang sangat popular.
Kisah diawali dengan rencana orangtua Hidjo menyekolahkan ke
Belanda. Ayah Hidjo, Raden Potronojo, berharap dengan Hidjo ke Belanda, dia
bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang
berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan,
tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang
yang dekat dengan gouvernement,
pemerintah kolonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo
khawatir melepas anaknya ke negeri yang dinilai sarat "pergaulan"
bebas.
Pendidikan di Belanda ternyata membuka mata dan pikiran yang sangat
besar bagi Hidjo. Hidjo sang kutu buku yang terkenal "dingin" dan
mendapat julukan "pendito" sampai onzijdig, banci, akhirnya pun terlibat
hubungan seksual di luar nikah dengan Betje, putri directeur salah satu maatschapij
yang rumahnya ditumpangi Hidjo selama studi di Belanda. Pertentangan batin
karena melakukan aib dan panggilan pulang ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo
untuk memutuskan tali cinta pada Betje.
Persoalan menjadi sedikit berliku ketika perjodohan dengan Raden
Adjeng Biroe yang masih sanak keluarga, meskipun sesungguhnya Hidjo terpikat
dengan Raden Adjeng Woengoe, putri Regent Jarak yang sangat cantik. Di akhir
cerita, ketegangan mendapat penyelesaian. Kebebasan memilih dan bercinta
diangkat ketika Hidjo tidak langsung setuju pada pilihan orangtuanya akan
tetapi mencari idamannya.
Rumus perjodohan berubah. Hidjo dijodohkan dan menikah dengan
Woengoe, sementara Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe.
Semua, baik yang menjodohkan dan yang dijodohkan, menerima dan bahagia. Betapa
cerita perjodohan tidak selalu berakhir dengan tangis dan sengsara. Juga
ditampilkan, bahwa mentalitas Nyai tidak selalu ada dalam diri inlander, yaitu
ketika Woengoe menolak cinta Controleur Walter.
Selain itu, pengalaman Hidjo di Negeri Belanda telah membuka
matanya. Ia melihat bahwa di negerinya sendiri bangsa Belanda ternyata tidak
"setinggi" yang ia bayangkan. Hidjo menikmati sedikit hiburan murah
ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau di
rumah tumpangan yang mustahil dilakukan di Hindia.
Tentunya banyak kesamaan dari
strukturnya antara novel “Student Hijau” dengan novel “Siti Nurbaya” yang telah
kita analisis minggu lalu. Di sini saya akan mencoba mencari persamaan dan
perbedaan dari strukturnya antara kedua novel ini. Persamaannya: Keduanya
sama-sama berbentuk novel. Sama-sama berbahasa Melayu dan mampu menarik
perhatian dunia kesusastraan. Keduanya bertemakan perjodohan, namun Student
Hidjo berakhir bahagia. Dalam novel ini Hidjo dijodohkan dengan Woengoe, lalu
Widojo dengan Biroe. Mereka semua saling mencintai satu sama lain. Sedangkan
Siti Nurbaya berakhir tragis. Siti Nurbaya yang dijodohkan dengan Datuk
Maringgih terpaksa melakukan hal tersebut untuk melindungi ayahnya. Hal ini
membuat akhir cerita cintanya menyedihkan. Dalam kedua novel tersebut,
sama-sama menonjolkan lokalitas dari Indonesia dan memaparkan kesantunan rakyat
pribumi terhadap orang lain. Sehingga hal ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa
cinta tanah air.
Sedangkan perbedaan dari strukturnya kedua novel ini adalah Student
Hidjo terbit pada tahun 1918. Siti Nurbaya terbit pada ahun 1922. Novel Student
Hidjo karya Marco Kartodikromo yang merekam semangat zaman kala itu, bersifat
pergerakan bumiputera mencari sikap politik yang baru. Pada awal dari cerita
novel ini menceritakan tentang Hidjo, intelektual pribumi. Selain mengungkapkan
kisah percintaan antar tokohnya, Mas Marco pun secara lugas menunjukkan
keberpihakannya kepada kaum pribumi. Di sini Ia memunculkan tokoh
Controleur Walter sebagai tokoh penganut politik etis yang mengkritik
ketidakadilan kolonial terhadap rakyat Jawa atau Hindia. Siti Nurbaya
mengugkapkan keadaan sosial yang mengharuskan orang miskin tunduk kepada orang
yang banyak uang. Hal ini dilakukan agar mereka dapat meminjam uang kepada
Datuk Maringgih.
Selain itu, ada nilai moral yang terkandung dalam kedua novel ini
diantaranya dalam novel Student Hidjo: Jika belajar harus sungguh-sungguh
jangan mudah tergoda oleh lingkungan. Kebaikan orang harus dibalas dengan
kebaikan pula. Cinta dapat tumbuh seiring berjalannya waktu. Sedangkan novel
Siti Nurbaya antara lain; Harus mampu mengorbankan apa pun demi orang yang dicintainya.
Menjadi lintah darat sangat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Sedangkan untuk latar belakang kesusastraan masing-masing novel ini
yaitu novel Student Hidjo dianggap sebagai sebuah Sastra Perlawanan. Sastra
yang melawan arus besar sastra Balai Pustaka ketika itu. Namun perkembangan
novel ini mendapat hambatan. Student Hidjo tidak lulus sensor dari penerbit
Balai pustaka. Hal ini membuat Student Hidjo dianggap bacaan liar atau
kesusastraan Indonesia yang tidak resmi. Sastra ini berjenis realisme sosialis.
Student Hidjo mengguncangkan dunia kesusastraan saat itu. Marco
Kartodikromo dengan karyanya Student Hidjo mengkontraskan kehidupan di Nederland dan Hindia Belanda.
Bahkan ada penerbit buku Indonesia Boekoe (I:Boekoe) memasukkan karya ini ke dalam bukunya Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut dibaca Sebelum Dikuburkan. Dalam buku ini mendapat penilaian dari Ismanto, Anton Kurnia, Muhidin M Dahlan, dan Taufik Rahzen. Student Hijo yang ditulis dengan bahasa Melayu rendah atau melayu pasar. Student Hidjo merupakan sebuah karya hasil hubungan kausal antara estetika dan kehidupan sosial, antara kesadaran dan basis material.
Sedangkan untuk novel Siti Nurbaya merupakan hasil karya dari Marah
Rusli yang lahir di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889 dan meninggal di Bandung
pada tanggal 17 Januari 1968. Pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada
1922. Novel ini menempatkan diri sebagai puncak roman di antara
roman-roman lain dalam Sastra Indonesia Modern. Penilaian tersebut berdasarkan
pemakaian bahasa melayu dan gayanya tersendiri. Hal ini mempermudah pembaca
mengerti isi critanya. Novel ini berhasil merebut hadiah tahunan dalam bidang
sastra oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969. Dalam Siti Nurbaya,
menekankan kehidupan masyarakat Padang, Marah Rusli pun merubah adat yang
berlaku pada masa itu yang dianggap melanggar hak asasi manusia.
Student Hidjo tentu saja tidak lulus sensor dari
penerbit Balai pustaka yang selama ini menentukan kesusastraan Indonesia yang
“resmi”. Student Hidjo merupakan karya sastra yang melawan arus besar
sastra Balai Pustaka ketika itu. Juga bagaimana sastra realisme sosialis lahir
dari perlawanannya terhadap karya sastara borjuis. Maka tidak salah, jika Student
Hijo serta karya sastra Marco Kartodikromo lainnya disebutkan sastra
perlawanan, atau istilah Eka Kurniawan dalam pengantar Dongeng Dari Sayap Kiri
sebagai Sastra Berpihak.
Tidak heran jika penerbit buku
Indonesia Boekoe (I:Boekoe) memasukkan karya ini ke dalam salah satu bukunya
“Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut dibaca Sebelum Dikuburkan”, meskipun
pemilihan tidak terlepas dari subjektivitas. Dalam buku ini, subyektivitas itu
dibangun oleh empat orang, yaitu An Ismanto, Anton Kurnia, Muhidin M Dahlan,
dan Taufik Rahzen. Sedangkan sebagian besar dari buku-buku yang hinggap dalam
pikiran dapat ditolak atau diterima dengan menggunakan beberapa ukuran.
Beberapa kriteria yang dipakai untuk memutuskan suatu karya sastra ke dalam
kelompok buku yang wajib dibaca adalah Pertama, tentu saja, buku itu adalah
buku karya sastra Indonesia—dalam pengertian yang paling luas, yang artinya
akan mencakup buku-buku sajak, novel, esei, catatan perjalanan, biografi,
cerita pendek, lakon/drama, fiksi, cerita silat, komik, dan sebagainya. Dengan
atribut “Indonesia” dimaksudkan bahwa buku itu pada mulanya ditulis dalam
bahasa Indonesia, Melayu Tinggi dan/atau Melayu Rendah/Pasar/Melayu Lingua
Franca. Student Hijo yang ditulis dengan bahasa Melayu rendah /melayu
pasar tentu masuk ke dalam kriteria yang pertama ini
Kedua, ia harus “menggoncang”
kesusastraan Indonesia. “Goncangan” itu harus timbul sebagai akibat dari daya
besar yang dimilikinya sebagai karya sastra. Student Hidjo tentunya sangat memenuhi kriteria yang kedua ini.
Tentunya kritia ini adalah kriteria yang lebih utama bila dibandingkan dengan
kriteria yang pertama. Novel yang berani mengkontraskan kehidupan di Nederland
dan Hindia Belanda mampu menggoncang kesusastraan Indonesia. Marco Kartodikromo
dengan karyanya Student Hijo memang terlalu jauh bila dibandingkan
dengan Maxim Gorki. Tetapi setidaknya keduanya memiliki persamaan yaitu
memiliki jiwa penolakan dan sikap untuk melakukan perlawanan terhadap sastra
dan seni pada umumuya yang borjuis, kelas atas, megah. Tak lain karya-karya
Balai Pustaka.
Dengan isinya yang melawan
pemeritahan kolonial Belanda, Student Hijo tentu saja disebut sebagai
“bacaan liar”. Penelitian mengenai “bacaan liar” dalam Student Hijo
pernah dilakukan secara komprehensif oleh Paul Tickell. Tickell menguraikan
struktur analisis antar teks, yakni Student Hidjo sebagai sebuah karya politik
yang ditulis oleh seorang penggerak pergerakan dengan Salah Asoehan yang
ditulis oleh Abdoel Moeis dan diterbitkan oleh Balai Poestaka. Dalam tesisnya
ini Tickell berhasil mengungkapkan hubungan "bacaan liar" dengan
pembacanya dan sekaligus membeberkan value (nilai) yang terkandung di dalam
teks Student Hidjo. Artinya, Student Hidjo merupakan sebuah karya hasil
hubungan kausal antara estetika dan kehidupan sosial, antara kesadaran dan
basis material. Selain itu Tickell juga berhasil menjawab bagaimana perspektif
negara kolonial dalam memandang "bacaan liar." Kekuasaan kolonial
memberi pandangan dan makna untuk "bacaan liar" sebagai bacaan yang
mengagitasi rakyat untuk melakukan "pemberontakkan," sehingga penulisnya
pun diberi "cap" pengarang liar.
Student Hijo, setidaknya menegaskan dirinya
sebagai sastra berlawanan ketika karya Mas Marco ini menyentuh dan merupakan
representasi masyarakat Indonesia ketika itu yang dijajah Belanda. novel ini
dengan sangat baik telah mencatat hiruk-pikuk suasana perjuangan bumi putera
pada masa awal. Cinta, pendidikan, politik, sosio-kultur, dan bahkan semangat
nasionalisme terjalin rapi dalam setiab babnya. Maka tidak berlebihan jika Nova
Christina/Litbang KOMPAS memberi komentar pada rubrik pustakaloka (KOMPAS,
Sabtu, 21 September 2002) bahwa, “Novel ini sebetulnya sudah membuka suatu soal
bahwa kesusastraan bukan sekadar penghibur, tetapi suatu wacana politik dan
sosial yang mengemban tugas menembus ruang-ruang publik. Pada gilirannya
kesusastraan adalah jalan menuju pembebasan dari belenggu ketertindasan.” Novel
inipun lahir sebagai sikap politik dari Mas Marco sendiri yang merupakan
aktivis revolusioner yang berpindah dari penjara ke penjara. Selain Student
Hijo, Sama Rata Sama Rasa, yang merupakan syair terkenal yang
menyuarakan kebencian pada kolonial adalah karyanya yang lahir di penjara.
Sikap politik dan perjuangannya melawan kolonial Belanda mengharuskannya
ditahan dan dibuang di Boven Digoel dan menghembuskan nafas terakhirnya disana.
Di antara karya-karya Marco
Kartodikromo, Student Hijo adalah karya sastra yang paling monumental.
Namun dalam buku Lintasan Sastra Indonesia Modern, Jacob Sumardjo mengatakan
bahwa karya Marco Kartodikromo yang terpenting adalah Rasa Merdika atau
juga disebut Hikayat Soedjanmo. Roman ini menunjukkan adanya pengaruh
politik dan komunisme dalam diri Mas Marco. Sebelum menulis Student Hijo, Marco
Kartodikromo menerbitkan sebuah novel kontroversial, Mata Gelap, novel
ini penuh dengan pornografi sehingga memicu reaksi keras dari masyarakat.
wah analisis yang luarbiasa bagus ^-^
BalasHapusTerima kasih.
Hapussemoga bermanfaat.
analisisnya merinci banget :D
BalasHapussiapa yg menanggapi novel ini bang
BalasHapusHasil cara menanggapi novel ini ya mana sih saya kelas 9 ada pertanyaan cara menanggapi novel karya hidjo
BalasHapusSaya sbg guru sangat terbantu dg analisis yg disampaikan , trm ksh
BalasHapusSimpulkanlah kedua teks tangapan lukisan afandi dan novel "student hijau"
BalasHapusMakna dari setiap paragraf nya apa ya kk
BalasHapusPanjang kali lebar, gc dot jawabannya
BalasHapus