Minggu, 18 Desember 2011

Analisis Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer



Keganasan Kuasa Sang Feodal Jawa
Karya: Hartana Adhi Permana



           Suatu hari dia dikawini oleh seorang pribumi pejabat pemerintah kolonial yang tidak dia kenal.  Apa yang dia tahu hanyalah dia harus taat dan hormat pada suaminya yang dipanggil bendoro (sebutan kehormatan untuk kaum feodal Jawa). Sampai menikah dan punya anakpun dia tidak memiliki hubungan hati ke hati dengan suaminya. Tidak ada hubungan manusiawi. Di rumah tempat tinggalnya ada bagian di mana dia tidak pernah menginjakkan kaki, bahkan masih ada ruangan yang baginya tetap asing selamanya. Di rumah kabupaten itu ada beberapa anak yang tidak ada ibunya karena mereka sudah dicerai sedangkan anak-anak itu diasuh pembantu.

Suatu hari datang Mardinah, seorang pelayan baru. Dia anak seorang jurutulis dari kota. Sikapnya berani kepada Gadis pantai. Belakangan terungkap bahwa dia diutus Bendoro Putri Bupati Demak untuk mengupayakan agar anak Bendoro Putri bisa dikawini oleh suami Gadis pantai. Mardinah diberi janji apabila berhasil maka dia akan diambil jadi istri kelima. Secara ekonomi dan sosial memang gadis pantai mengalami kemajuan. Dia naik kelas sosial dan ekonomi. Ketika dia diberi ijin pulang ke desanya untuk menengok orang tuanya, orang se-desa menyambut meriah dan memperlakukannya dengan istimewa. Dia membiayai pesta dan dia beri kain kepada tetua kampung.

Suatu saat Gadis pantai hamil dan beberapa bulan kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Jenis kelamin perempuan ini membuat suaminya kecewa. Tidak lama kemudian orang tua Gadis pantai datang menjenguk anak cucunya. Bendoro memanggil bapak Gadis pantai ke dalam rumah. Ketika keluar wajahnya sudah suram karena Gadis pantai sudah dicerai. Bendoro memberi uang dan dia harus membawa Gadis pantai meninggalkan rumah Bendoro segera, sedangkan bayinya harus ditinggal dan akan di asuh pembantu. Sampai di rumah Gadis pantai tidak mau tinggal. Dia memilih pergi. Selama sebulan dia masih sering lewat depan rumah Bendoro, tapi setelah itu tidak lagi.

Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, merupakan novel pertama dari trilogi yang ditulisnya, sebuah novel tanpa terselesaikan, karena dua buku kelanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Novel ini bercerita mengenai relasi antara mas nganten dengan pembesar yang “memeliharanya”. Pembesar atau Ndoro merupakan orang Jawa yang berdarah biru yang memiliki korelasi dengan pemerintah Belanda. Novel ini sangat kritis sekali membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Pada dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat mencolok, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu. Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya, termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu saja.

Novel ini menggunakan teknik penceritaan orang ketiga mahatahu yang memungkinkan narator tidak terikat pada dunia cerita dan dapat bergerak bebas di dalamnya. Gerakan itu antara lain dinyatakan dalam penempatan posisi dan jarak dari narator terhadap dunia yang ada di dalam novel tersebut. Tokoh-tokoh dalam novel ini, terutama tokoh yang berasal dari rakyat biasa, memperlihatkan sikap mereka yang menentang dan akhirnya menerima begitu saja dalam menghadapi sikap dan kuasa para pembesar Jawa, yang akhirnya membawa kesengsaraan dan kenestapaan bagi mereka, dan tiada dampak sedikitpun bagi para pembesar karena bagi para bendoro rakyat biasa adalah orang golongan bawah yang tak sederajat dengan mereka. Bagi para bendoro (priyayi), rakyat jelata adalah budak yang dapat mereka perintah dan perlakukan semaunya.

Dalam struktur ruang dalam novel ini hanya banyak bergerak pada kamar dan ruang rumah sang Bendoro saja. Hanya sedikit pergerakan di sebuah jalan yang menghubungkan perkampungan nelayan dengan kota dimana Bendoro itu tinggal, dan juga kampung nelayan itu sendiri. Dari situ kita bisa melihat betapa kuatnya kuasa sang Bendoro. Segala aturan, norma dan tata karma yang tertanam kuat bersama keangkuhan feodalisme Jawa pada masa itu. Gadis Pantai tak leluasa bergerak bebas, sebebas usianya yang masih terlalu belia untuk mengerti mengapa ia dijadikan Mas Nganten. Lingkungan pergaulan yang sangat diatur, tak boleh berbicara dengan orang yang tak sederajat, tak boleh bergaul dan bercengkrama dengan orang rendahan. Terlebih lagi, tak boleh keluar rumah tanpa ijin. Pengekangan hak sebagai manusia yang bebas.

Di dalam novel ini waktu terus bergerak maju, sesuai bertambahnya usia Gadis Pantai. Masa lalu, masa sekarang dan masa depan sang Gadis Pantai tampil secara terpisah dan tersusun rapi; tanpa saling membayangi, tanpa saling menghancurkan dan membuat gerakan waktu yang terus bergerak maju. Sehubungan dengan struktur waktu yang demikian, dengan menampilkan kisah pilu Gadis Pantai yang menjadi Mas Nganten seorang Bendoro hingga pada akhir cerita yang tragis, dapat dilihat bahwa novel ini bersikap kritis terhadap feodalisme Jawa pada masa itu. Betapa kekuasaan, derajat dan harta adalah segala-galanya, dan manusia yang paling beruntung adalah mereka yang berderajat tinggi dan bahkan mereka yang menjadi kaki-tangan Belanda.

Dalam novel ini pun terdapat pula isu-isu gender di dalamnya. Penindasan laki-laki terhadap perempuan, pengekangan hak ibu terhadap anak dan tak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah tersebut di dalam sistem feodalisme Jawa pada masa itu. Laki-laki yang bebas berpoligami, dan perempuan dijadikan budak nafsu baginya. Sang Bendoro bebas mengambil gadis manapun, siapapun dari kelas bawah dan menjadikannya Mas Nganten, Bendoro pun berkuasa mencampakkannya begitu saja dan mencari gadis lain untuk dijadikannya Mas Nganten, selama itu pula Bendoro dianggap masih perjaka sebelum ia menikahi gadis yang sederajat atau sekelas dengannya. Dan perilaku itu terus berlangsung hingga ia menikahi seorang gadis yang sederajat dengannya. Pada akhirnya pula, ketika para Mas Nganten melahirkan seorang anak, ia langsung menceraikannya dan mengambil anaknya itu. Ia memisahkan ibu dengan anak. Terlebih lagi, anggapan rakyat feodal bahwa anak laki-laki adalah anak yang bisa dibanggakan dan anak yang bisa meneruskan kekuasaannya, sehingga anak perempuan itu seperti manusia yang menyusahkan, tak berdaya dan tak dapat dibanggakan. Hal ini terlihat dari sikap sang Bendoro ketika ia tahu bahwa Gadis Pantai melahirkan seorang bayi perempuan, betapa murkanya ia. Secara struktural, dalam relasi-relasi konkret antar tokoh, novel ini cenderung menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior di hadapan laki-laki. Tentu saja, dari situ, novel ini mengandung banyak gagasan mengenai emansipasi perempuan, pembebasan perempuan dari penindasan budaya yang patriarkis.

Sejak semula novel ini menggambarkan betapa hebatnya feodalisme Jawa pada masa itu. Dan juga menggambarkan bagaimana masyarakat setempat berlomba untuk menikahkan anak gadisnya dengan para pembesar Jawa (Bendoro) dengan maksud untuk menaikkan derajat, menjadi orang yang berderajat dan mendapatkan prestisi di kalangannya. Selain itu juga, novel ini juga menggambarkan usaha-usaha masyarakat setempat (terutama kalangan Bendoro atau priyayi) untuk menjadi sama dengan Belanda. Dari makanan yang para priyayi makan, dari perangkat makan (seperti sendok-garpu, pisau makan, serta piring yang digunakan), kebiasaan dan simbol-simbol budaya yang ke-belanda-belandaan, hingga sampai kemampuan dalam berbahasa Belanda.

Hal ini dapat kita lihat dari kutipan sebagai berikut.

“Seperempat jam kemudian terdengar suara Bendoro Guru berbicara dengan bahasa yang mereka tak kenal dan suara Agus Rahmat menjawab dalam bahasa yang mereka pu tidak kenal.

“Betapa hebatnya Bendoro mengajar putera-puteranya,” kepala kampung berbisik. “Sekecil itu sudah bisa bicara bahasa Belanda. Satu kata pun kita tak paham. Anakmu nanti,” kepala kampung menghadapkan mukanya kepada Gadis Pantai, “juga bakal diajarkan seperti itu.” Gadis Pantai Kecut, wajahnya meraih tangan emak dan menggenggamnya erat-erat.” (Pramoedya, 2007:20)

“… Roti hangat yang masih mengepul yang dikirimkan tadi dari bengkel roti, telah tersayat-sayat di atas meja. Botol-botol selai, serbuk coklat, gula-kembang, perasan air jeruk, krupuk udang, dan bubur havermouth, telah terderet diatas meja. Kopi mengepul-ngepul dari cangkir porselen buatan Jepang. Sendok-garpu, pisau, semua dari perak putih mengkilat berderet-deret memusingkan kepala Gadis Pantai. Sebuah tempat buah dari perak begitu menyilaukan matanya. Otaknya terpilin-pilin dan ia lapar. apia pa guna alat sebanyak itu dan serba mengkilat?”

“…. Gadis pantai menggigil. Ia tak tahu yang bernama coklat, gula-kembang, dan mana pula selai.” (Pramoedya, 2007:42)

Dari kutipan diatas dapat dilihat dengan jelas, betapa kemampuan berbahasa Belanda itu menjadi sesuatu yang sangat mewah. Keinginan mereka selain mendapatkan prestisi masyarakat dan juga menaikkan derajatnya, mengawinkan anaknya dengan Bendoro adalah salah satu tujuan agar kelak anak yang dilahirkan oleh anaknya (cucu) dapat hidup dan dibesarkan di lingkungan priyayi sehingga anak tersebut dapat menjadi seorang pembesar pula.

Selain itu juga, pola makan ala Eropa dengan mengkonsumsi roti dan bubur gandum sebagai sarapan paginya, memberikan nilai-nilai sosial tersendiri bagi feodal Jawa. Pada masa itu, beras nasi menjadi barang yang mewah, apa lagi roti. Tak seorangpun dapat mencicipi roti dan bubur gandum terkeculai jika ia seorang priyayi, orang berdarah biru (ningrat), orang Belanda, orang yang menjadi kaki tangan Belanda, dan juga orang yang menjadi Mas Nganten bagi Bendoro. Mereka (khususnya orang kalangan atas/priyayi) berusaha menyetarakan diri dengan Belanda, setidaknya dalam pola makan tidaklah akan merugi karena mereka akan diihat sebagai mahluk bermartabat karena bisa makan seperti orang Belanda, dan menggunakan sendok-garpu seperti apa yang orang Belanda gunakan untuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

Pola pikir dan bahkan bentuk fisik pun tergambar dalam novel ini. Betapa sungguh berbedanya tubuh seorang priyayi dengan rakyat jelata. Sehingga terlihat sekalimana ia yang seorang priyayi dan mana pula ia seorang dari kalangan bawah. Orang yang langsat adalah orang yang mulia, sedangan orang yang tubuhnya terkelantang sinar matahari adalah hina. Seperti kutipan berikut.

“Waktu Bendoro terlelap tidur, dengan kepala pada lengannya, ia mencoba mengamati wajahnya. Begitu langsat, pikirnya. Orang mulia, pikirnya, tak perlu terkelantang di terik matahari. Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan lemak muda! Ia ingin rasai dengan tangannya betapa lunak kulitnya, seperti ia mengemasi si adik kecil dulu. Ia tak berani. Ia tergeletak diam-diam di situ tanpa berani bergerak, sampai jago-jago di belakang kamarnya mulai berkokok. Jam tiga. Dengan sigap Bendoro bangun. Dan dengan sendirinya ia pun ikut serta bangkit.” (Pramoedya, 2007:33)

Pentingnya gaya hidup atau penampilan dalam novel ini tidak hanya terdapat dalam persoalan hubungan rasial antara priyayi dengan rakyat biasa, melainkan juga dalam persoalan hubungan sosial antar anggota masyarakat setempat itu sendiri. Gaya hidup adalah indicator penting dari status sosial seseorang dan gaya hidup itu pula lah yang menempatkan Bendoro ke dalam golongan masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Sedangkan, Gadis Pantai, walaupun ia telah dinikahi oleh Bendoro dan tinggal di gedungnya, namun tetap saja ia dianggap sebagai perempuan kelas rendah, sehingga membuatnya terjepit dalam status sosial yang telah membiarkan ia lahir dan besar di dalamnya. Kekuatan tangan-tangan feudal Jawa yang tak kan mampu terlawan bagi tangan-tangan semacam Gadis Pantai, kepala kampung atau bahkan bapaknya sendiri.

Sungguh, novel ini bentuk dari resistensi terhadap feodalisme Jawa pada masa itu. Mengkritis feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Inilah potret nasib buruk kaum perempuan desa di bawah feodalisme Jawa selama beberapa abad bahkan sampai abad 20.

Roman yang menjadi sekuel pertama dari trilogi roman keluarga ini adalah roman yang indah dan mempesona. Pramodya berhasil membongkar dan menunjukkan kontradiksi negative praktik feodalisme Jawa yang tidak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Tentu saja, roman ini berhasil menusuk feodalisme Jawa tepat di jantungnya.

Pramoedya Ananta Toer lahir pada tahun 1925 di Blora Jawa Tengah. Ia merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di dalam penjara; tiga tahun dalam penjara kolonial, satu tahun di masa Orde Lama, dan 14 tahun pada masa Orde Baru tanpa proses pengadilan. Dalam masa-masa hidupnya di dalam bui, Pramoedya menghasilkan beberapa karya, diantaranya adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

Setiap kali membaca tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer, kita pasti selalu merasa kagum. Di setiap lembaran kita menemukan sesuatu. Bukan hanya bahasa saja yang menarik tetapi juga idealisme. Karya-karyanya terlalu banyak melontarkan humanisme. Pramoedya mengaku tema seperti itu dalam sebahagian besar tulisannya banyak dipengaruhi oleh Multatuli, pengarang Max Havelaar yang mengatakan bahawa tugas manusia adalah menjadi manusia. Beliau juga belajar tentang humanisme daripada karya-karya John Steinbeck dan menelusuri ideologi daripada penulis agung Rusia, Mar Xim Gorky.

Melalui watak-watak tertentu, yang pastinya perwatakan dari golongan kelas bawah, Pramodya mewujudkan watak hero yang menentang berbagai situasi yang tidak manusiawi. Antaranya feodalisme priyayi Jawa, kolonialisme dan imperialisme. Watak-watak hero itu akan mengkritik, membidas dan mengutarakan pandangan-pandangan tertentu yang mewakili golongan masyarakat bawahan di Jawa. Pandangan tidak manusiawinya feodalisme Jawa dikritik dengan begitu luas oleh Pramoedya terutama dalam Gadis Pantai. Ia mengangkat kisah betapa rendahnya seorang rakyat kecil hanya sama dengan sebilah keris pembesar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar