Minggu, 18 Desember 2011

Analisis Novel Atheis ( 1949 ) karya Achdiat K. Mihardja

Tergoyahnya Keyakinan
 Karya: Hartana Adhi Permana


Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampong di kota Bandung, Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh. Sudah sedari kecil hidupnya ditempuh dengan tasbih. Iman Islamnya sangat tebal. Lukisan inilah yang menggambarkan latar keagamaan dalam kehidupan Hasan, kehidupan yang bernaung Islam.

 Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah agama semua tentang ajaran – ajaran agamanya makin menempel terus di dalam hatinya. Sampai – sampai Hasan menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik.

Hasan kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor jawatan pemerintah,sebagai penjual tiket kapal di Kota Praja. Di tempat penjualan tiket inilah Hasan bertemu orang – orang yang akhirnya mengubah jalan hidupnya. Berawal dari pertemuannya dengan Rusli, temannya pada saat bersekolah di Sekolah Rakyat. Rusli mengajak untuk bertamu ke rumahnya dan terlebih lagi ada perasaan tertentu yang menghinggapinya kala bertemu dengan Kartini, yang merupakan saudara angkat Rusli. Hasan jadi sering mampir ke tempat Rusli.Dan mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli dan Kartini, dan kawan-kawan mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis.

Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sebagaimana biasa di desanya walaupun berada di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Hal yang utama adalah menyangkut sisi relijiusitas yang selama ini sanggup dipegang teguhnya. Semakin sering ia berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli dan kawan-kawannya, juga semakin akrab ia dengan mereka, mulai semakin tak perlahan Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis akan sangat menubruk pemahaman keagamaan yang sangat tradisionalnya Hasan. Dan ini juga tak berlangsung mudah. 

Pada awalnya Hasan masih sangat keras untuk berusaha melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya. Hal ini ditunjukkan dengan tekadnya suatu kali untuk menyadarkan Rusli guna kembali ke jalan yang benar. Dengan semangat ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat.Hasan menyerah, ia terus menggabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus tambah terpengaruh. Sewaktu suatu saat kembali ke rumah orang tuanya di Desa Panyeredan, kebetulan bersama Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang paling gila), ia bahkan berani berteus terang pada kedua orang tuanya tentang pemahaman keimanan terbarunya. Dan tentu saja untuk itu Hasan harus membayar dengan perpisahan untuk selamanya.

Namun ketika menceburan Hasan ke dalam lingkungan Marxis, ia sebetulnya juga tak sepenuhnya sanggup dan mau untuk mengikuti ideologi tersebut. Keberadaan seorang Kartinilah yang menjadi perangsang baginya untuk terus ada di komunitas yang membuat ia kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif dalam berbagai saling lempar wacana yang ada. Hingga akhirnya Hasan kawin dengan Kartini dan pada awalnya berbahagia sentosa raya. Tentu, tak lama pula, datanglah juga masa sengsara, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar. Dan pertengkaran inipun berujungkan perpisahan. Sumber konfliknya adalah, utamanya, ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup modern Kartini. Hasan masih memendam cara pikir yang konservatifnya ternyata. Dan memang begitulah. Dalam keterlibatan ia berkecimpung di dunia pemikiran kaum “atheis”, ia masih sangat mendekap erat pandangan-pandangan masa lalunya. Dan pertentangan pikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan, yang hanya sanggup diobati, awalnya, dengan impian akan keanggunan Kartini, tetapi selain itu Hasan pun berhadap dengan penderitaan fisik berupa penyakit paru-paru yang dideritanya.

Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat memperkosa Kartini, dalam marah, ketika berjalan mencari Anwar, ia ditembak oleh tentara Jepang ( Kusyu Heiho ) yang menuduhnya mata-mata. Hasan tersungkur oleh terjangan peluru dan diakhir hayatnya ini Hasan masih sempat mengucapkan Allahu Akbar sebagai tanda keimanannya.

Tema yang diangkat novel ini adalah persoalan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Novel Atheis ( 1949 ) karya Achdiat K. Mihardja adalah karya sastra yang mengetengahkan perkembangan awal abad ke – 20, yakni pergeseran gaya hidup tradisional ke gaya hidup yang modern. Atheis menyoroti kebiasaan umum dalam menanamkan ajaran Islam secara dogmatis. Atheis mengambil tema benturan Islamisme yang ditanamkan secara dogmatis melawan komunisme. Sifat keberagamaan dalam novel ini terasa begitu kental hampir di setiap bagiannya. Seperti dalam kutipan :

“Sesungguhnya, semua itu meminta cara. Meminta cara oleh karena hidup di dunia ini berarti menyelenggarakan segala perhubungan lahir batin, antara kita sebagai manusia dengan sesama makhluk kita dengan alam beserta pencintanya. Dan penyelenggaraan semua perhubungan itu meminta cara. Cara yang sebaik – baiknya, seadil – adilnya, seindah – indahnya, setepat – tepatnya, tapi pun sepraktis – praktisnya, dan semanfaat – manfaatnya bagi kehidupan segenapnya.” ( Atheis, hal. 9 )

Hal ini menggambarkan tentang kehidupan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya. 

Banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dari novel Atheis ini. Dalam novel ini kita seakan – akan diingatkan, tentang kehidupan orang yang begitu fanatik dalam menjalankan agamanya, orang – orang yang hanya memikirkan urusan akhirat saja. Padahal Tuhan menyuruh manusia beribadah dengan tidak melupakan kewajibannya sebagaimana manusia di dunia. Ketaatan Hasan bersembahyang, melakukan ibadah semata – mata karena ketakutannya pada neraka yang selalu dipikirkannya, bukan ketakutan akan Tuhannya. Seperti ditulis dalam halaman 20 :

“Dalam khayalku sebagai anak kecil, segala dongeng itu alangkah hidupnya, seolah – olah aku sudah betul – betul melihat neraka.
Aku merasa takut. Menggigil ketakutan. Merapatkan badanku kepada badan Ibu yang sedang mendongeng itu. Ibu memeluk aku. Dibujuk – bujuknya aku,”Tidak usah engkau takut – takut, asal engkau jangan nakal. Mesti selalu turut kepada perintah ayah dan ibu, kepada orang – orang tua, dan mesti rajin bersembahyang dan mengaji.”
 
Achdiat seolah ada di samping kita bercerita tentang pemeluk agama yang keliru mengkuti tradisi semata. Membuat kita sadar bagaimana menjalankan agama yang sesungguhnya.

Kemudian kita juga diberitahukan jangan tergantung pada cinta yang didasari nafsu duniawi. Cinta mengubah Hasan menjadi lupa diri. Karena cintanya kepada Kartini, ia telah menyingkirkan cintanya terhadap Tuhannya dan orang tuanya. Seperti dalam kutipan di bawah ini, bagaimana kuatnya pengaruh Kartinin terhadap kehidupan Hasan :

 “Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding dulu. Dulu artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku selalu kusesuaikan dengan “pendapat umum”, terutama dengan pendapat para ahli ulama. Aku selalu berhati – hati jangan sampai menjadi noda dalam pendangan umum, alias “klaim alim – ulama” itu. Tapi sekarang pandangan umum itu sudah tidak begitu kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini.” ( Atheis, hal. 108 )

Sebenarnya cinta itu bukan berarti rasa sayang terhadap lawan jenis saja, tetapi untuk Tuhan kita. Cinta itu harus dibarengi dengan akal, pikiran, dan keimanan yang kokoh agar cinta tidak memberi kesesatan dalam hidup kita.

Latar ( setting ) adalah waktu, tempat, atau lingkungan terjadinya peristiwa. Tempat penceritaan novel adalah di Jawa Barat dan khususnya di Kota Bandung . Hal ini bisa dilihat dari kutipan isi novel, yaitu :

“Di lereng gunung Telaga Bodas di tengah – tengah pegunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik hijau pohon – pohon jeruk Garut.” ( Atheis, hal. 16 )

Dapat kita ketahui jeruk Garut berasal dari Jawa Barat karena Garut adalah nama salah satu kota di sana, dan pegunungan Priangan terdapat di kota Bandung. Pernyataan itu dipertegas lagi dalam kalimat berikut :

“Aku tunduk saja. Mengerti aku, bahwa orang tuaku itu takut kalau – kalau aku akan menjadi buaya atau akan tersesat ke jalan pelacuran. Maklumlah kota Bandung.” ( Atheis, hal. 26 )

“Stasiun Bandung sudah samara – samara diselimuti oleh senja, ketika kereta api dari Cibatu masuk. Matahari sedang mengundurkan diri, pelan – pelan dan hati – hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar untuk menghilang ke dalam gelap.
Kota Bandung tidak seperti tiga tahun yang lalu. Pada senja hari yang indah seperti itu, di zaman yang lalu kota itu seolah – seolah mulai berdandan. Lampu – lampu listrik di jalan – jalan, di toko – toko dan di rumah – rumah mulai dipasang, seakan – akan manusia bersedia – sedia untuk mulai berjuang membantu Ormurd, dewa terang, dalam perjuangannya yang abadi melawan Ahtiman, dewa gelap.” ( Atheis, hal.224 )

Latar waktu cerita ini terjadi dari tahun 1940 – an ketika Belanda dan Jepang mulai memperebutkan Indonesia sebagai tanah jajahannya. Sampai massa menjelang proklamasi kemerdekaan ketika perang dunia II mulai. Hal ini dibuktikan dari tanggal pernikahan Hasan dan Kartini yaitu tanggal 12 Februari 1941. dan dijelaskan dalam novel pada halaman 171 bahwa pemerintah Hindia – Belanda tekuk lutut kepada kekuasaan balatentara Dai Nippon dengan tidak memakai syarat apa – apa. Selain itu, akhir hayat Hasan, dia dibunuh oleh Kusyu Heiho ( yaitu tentara Jepang ) karena dianggap mata – mata. 

Latar sosial ( lingkungan ) dapat kita bedakan. Saat usia anak – anak dan remaja Hasan tinggal bersama orang tuanya yang pengaruh agamanya sangat kental. Bandung juga mampunyai latar budaya yang unik, karena hampir semua penduduknya adalah penganut agama yang taat. Dapat dilihat dalam kutipan :

“Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh alim. Sudah sedari kecil jalan hidupnya ditempuhya dengan tasbeh dan mukena. Iman Islamnya sangat tebal.” (Atheis,hal. 16 – 17 )

Lukisan ini memberikan gambaran latar belakang keagaaman yang melatarbelakangi kehidupan tokoh Hasan sebagai bagian kehidupan suatu keluarga yang beragama Islam. 

Sedangkan pada saat dia tinggal di Bandung, dia memasuki latar sosial yang berbeda. Orang – orang yang tidak peduli pada Tuhan, orang – oran yang bebas ( kapitalis ) menjadi teman dalam pergaulannya. Orang yang seperti Anwar yang menganggap “Ik ben een god in het diepst van migh gedach ten” ( dalam pikiranku yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan), di halaman 104. dan pernyataan di bawah ini yang memperkuat latar sosial tersebut :

“Juga dalam hal musik dan seni umumnya Rusli ternyata mempunyai pengetahuan dan pemandangan yang luas. Apa yang kuanggap sebagai buah “kebudayaan kapir”; oleh Rusli disebut buah “kebudayaan burjuis”, yang katanya dengan sendirinya akan hilang apabila masyarakat kapitalis sekarang sudah berganti menjadi masyarakat sosialis. Sebab, katanya pula, seperti cabang – cabang kebudayaan lainnya seni dan musik pun adalah hasil masyarakat. Masyarakatnya kapitalis, kebudayaan pun kapitalisme. Demikian selanjutnya,… ( Atheis, hal. 93 )

Dalam novel ini pengarang menempatkan sudut pandangnya sebagai tukang cerita, di mana di beberapa bab dalam novel ( pada bab I, II, dan bab XIII ), pengarang pun ikut masuk di dalam cerita tersebut. Dari awal sampai akhir pengarang tetap konsekuen dengan sudut pandangnya. Pengarang tidak menggubris/ menguak tentang dirinya, tetapi menceritakan tokoh utama/ sentral dari cerita tersebut. Yang diperkuat dengan kutipan :

Pendek kata, saya akan berusaha supaya sedapat mungkin saya bisa memberi lukisan yang tidak begitu banyak menyimpang dari kejadian – kejadian yang sebenarnya tentang pengalaman – pengalaman Hasan itu, supaya karangannya betul – betul merupakan karangan yang bersifat “Dichtung und Wahreit”.( Atheis, hal. 197 )

Selain itu dalam novel banyak menggunakan kata “aku”. Hal ini terjadi karena dalam menuturkan kisahnya ini pengarang menduduki posisi tempat tersendiri di dalam cerita. Kadang – kadang pengarang melibatkan diri di dalam cerita dan pada cerita yang lain, ia berada di luar cerita sebagai pengamat. Jadi novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal.

Alur novel ini disajikan secara sorot balik ( flash back ), sebuah gebrakan baru era tahun ’45.
 Teeuw melukiskan alur cerita novel Atheis sebagai berikut :
[ C { B ( A ) B } C ] 

Bagian A merupakan bagian dari novel yang berisi riwayat pelaku utama ( tokoh utama ), yaitu Hasan. Bagian ini bermula dari bab III sampai bab XII, yaitu dikisahkan dalam bentuk “aku”, yaitu Hasan.

Bagian B, baik sebelum maupun sesudah A merupakan kisah pertemuan dan perbincangan pengarang dengan Hasan. Bagian ini diceritakan juga dalam bentuk “aku”, tetapi “aku” adalah pengarang bukan Hasan. Bagian – bagian ini hanya sedikit, B yang pertama meliputi bab II, sedangkan B yang kedua meliputi bab XII. Bab XII ini merupakan pertemuan pengarang dengan Kartini, ketika Hasan menghilang. Sedangkan bagian C kedua – duanya merupakan cerita pengarang tentang Hasan yang diperolehnya dari teman – teman dekat Hasan. Bagian C pertama terdiri atas bab I, yang hakikatnya merupakan kelanjutan bagian C kedua yang terdiri atas bab XIV dan XV. Maksudnya adalah bagian C terakhir ( bab XIV dan XV ) merupakan bagian ketika Hasan meninggalkan rumah dan mencari Anwar dengan penyakitnya yang tak kunjung sembuh, kemudian Hasan ditembak mati oleh tentara Jepang dan di bagian C pertama adalah Kartini, Rusli, dan pengarang mendapatkan kabar kematian Hasan. Ceritanya dibalik menjadi alur sorot balik.

Gaya bahasa adalah pencerminan kepribadian pengarang. Dalam novel Atheis, Achdiat banyak menggunakan majas personifikasi seperti :

Matahari sedang mengundurkan diri pelan – pelan dan hati – hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar untuk hilang dalam gelap. ( Atheis, hal. 6 )

Kemudian pada hal 123 :

Kalau dulu aku hidup di dalam ketenangan hati seperti air di danau, maka air itu seakan – akan sudah mendesah – desah penuh dinamik seperti air di sungai gunung. 

Kemudian pengarang juga menggunakan bahasa Belanda untuk kalimat yang ingin dipertegasnya, seperti :

In de nood leerf men bidden ( Kesusahan hidup mendorong kita sembahyang ). ( Atheis, hal. 20 )

Ik ben een god in het diepst van mijn gedach ten ( dalam pikiranku yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan ). ( Atheis, hal .104 )

Soal percabulan, Dat is het echte leven ( itulah hidup yang sebenar – benarnya ). ( Atheis, hal. 226 )

Tokoh Utama ( Protagonis ) adalah Hasan, karena novel ini banyak menceritakan tentang kehidupan Hasan, bagaimana Hasan dari seorang yang taat beragama menjadi seorang Atheis karena orang – orang disekitarnya, dan Hasan adalah tokoh yang berhubungan dengan seluruh tokoh lain, seperti pengarang, Kartini, Rusli, Anwar, orang tua Hasan, Rukmini. Adapun sifat – sifat Hasan adalah :

Seperti namanya pula, rupa, dan tampang Hasan pun bisa sederhana. Hanya badannya kurus, dan karena kurus itulah maka nampaknya seperti orang yang tinggi, mata, dan pipinya cekung portrayal of throught steam. ( Atheis, hal. 13 )

Menunjukkan bagaimana seorang Hasan yang sederhana dan tubuhnya kurus. Hasan juga seorang yang kurang teguh pendirian, seperti dikutip di bawah ini:

Dia seorang pencari. Dan sebagai seorang pencari, maka ia selalu terombang – ambing dalam kebimbangan dan kesangsian. Kesan ia bukan seorang pencari yang baik. ( Atheis, hal. 13 )

Hasan juga seorang yang fanatik dengan agamanya, yang dibuktikan dalam kutipan :

 Kadang – kadang aku tidak bisa menyembunyikan kebencian kepada orang yang tidak saleh atau kurang iman.

 … berpuasa tujuh hari tujuh malam. Hasan kemudian menyelesaikan ritualnya mandi di kali Cikapundang selama 40 kali, satu malam dan sembahyang Isya sampai shubuh. (Atheis, hal. 28 – 29 )

Kemudian tokoh lawannya adalah Kartini, Rusli, Anwar, yang sifatnya akan dijelaskan satu persatu.

a.       Kartini

Kartini adalah wanita korban Siti Nurbaya dipaksa kawin oleh ibunya dengan seorang rentenir Arab tua yang kaya. Suka belajar dan menempuh hidup kebarat – batan daripada “penjara timur kolot” menurutnya ( dalam Atheis, hal. 34 ). Kartini seorang yang berideologi tegas dan radikal. Etikanya menurut feodal/ burjuis, merupakan wanita yang berpikiran modern. Kartini adalah seorang Athei ( tidak percaya akan keberadaan Tuhan dan agama )

b.      Rusli

Rusli adalah teman kecil dari Hasan. Dari kecil Rusli adalah anak yang nakal, jarang sembahyang ( Atheis, hal. 33 ). Rusli juga seseorang yang dapat menghargai orang lain dan sopan, ditunjukkan dalam kutipan berikut :

Tentu saja saudara Hasan tidak akan membiarkan pendapat saya itu. Itu saya dapat mengerti dan hargai, dan memang tak asah saudara Hasan menerima segala apa yang saya katakan itu. ( Atheis, hal. 77 )

Rusli juga seseorang yang mudah mempengaruhi orang lain. Seperti dalam kutipan :

Karena kepandaian Rusli menguraikan pelbagai soal hidup, baik soal – soal kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan lain – lain yang selama itu tidak pernah menjadi soal bagiku dan agama. ( Atheis, hal. 104 ) 

Rusli juga seorang Atheis ( tidak percaya akan adanya Tuhan dan agama ).

c.       Anwar

Anwar adalah rekan dari Rusli dan Kartini. Anwar adalah seniman anarkhis dan ramah. Seperti dikutip, bagaimana fisik dari Anwar :

Ia pemuda yang cakap rupanya. Kulitnya kuning seperti kulit orang Cina dan matanya pun agak sipit. Mungkin ia keturunan Cina/ Jepang. Ia berkumis kecil seperti sepot sapu lidi masuk ter dan janggutnya jarang – jarang seperti akar yang liar. Rambutnya belum bercukur. ( Atheis, hal. 101)

Dan juga disebutkan bahwa Anwar adalah seorang yang periang dan selalu beranggapan bahwa Tuhan itu adalah aku sendiri ( telunjuknya sendiri menusuk dadanya ) dalam Atheis, hal. 104.

Anwar adalah inididualis anarkhis dan suka memaksakan kehendaknya. Dibuktikan pada kutipan di bawah ini :

Ia suka sekali mendesak – desakkan kehendak atau pendapatnya sendiri. Dalam hal ia selalu agresif. Selalu polemis dan mengemukakan dirinya sendiri, seolah – olah dialah saja yang paling pintar, paling benar dan tak diinsyafinya agaknya, bahwa kebenaran itu terlalu besar untuk dimonopoli oleh hanya 1 orang saja, seorang Anwar. ( Atheis, hal 130 )

Ada juga tokoh bawahan seperti Rukmini merupakan wanita penganut agama Islam yang taat, anak seorang raden. Tidak kaku dalam pergaulan, selalu riang dan ramah. Suka sekali bercakap –cakap dan pandai berdandan. Cita – citanya dalah mengabdi dan memajukan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar