Keganasan
Kuasa Sang Feodal Jawa
Karya: Hartana Adhi Permana
Suatu
hari dia dikawini oleh seorang pribumi pejabat pemerintah kolonial yang tidak
dia kenal. Apa yang dia tahu hanyalah
dia harus taat dan hormat pada suaminya yang dipanggil bendoro (sebutan
kehormatan untuk kaum feodal Jawa). Sampai menikah dan punya anakpun dia tidak
memiliki hubungan hati ke hati dengan suaminya. Tidak ada hubungan manusiawi.
Di rumah tempat tinggalnya ada bagian di mana dia tidak pernah menginjakkan
kaki, bahkan masih ada ruangan yang baginya tetap asing selamanya. Di rumah
kabupaten itu ada beberapa anak yang tidak ada ibunya karena mereka sudah
dicerai sedangkan anak-anak itu diasuh pembantu.
Suatu
hari datang Mardinah, seorang pelayan baru. Dia anak seorang jurutulis dari
kota. Sikapnya berani kepada Gadis pantai. Belakangan terungkap bahwa dia
diutus Bendoro Putri Bupati Demak untuk mengupayakan agar anak Bendoro Putri
bisa dikawini oleh suami Gadis pantai. Mardinah diberi janji apabila berhasil
maka dia akan diambil jadi istri kelima. Secara ekonomi dan sosial memang gadis
pantai mengalami kemajuan. Dia naik kelas sosial dan ekonomi. Ketika dia diberi
ijin pulang ke desanya untuk menengok orang tuanya, orang se-desa menyambut
meriah dan memperlakukannya dengan istimewa. Dia membiayai pesta dan dia beri
kain kepada tetua kampung.
Suatu
saat Gadis pantai hamil dan beberapa bulan kemudian melahirkan seorang anak
perempuan. Jenis kelamin perempuan ini membuat suaminya kecewa. Tidak lama
kemudian orang tua Gadis pantai datang menjenguk anak cucunya. Bendoro
memanggil bapak Gadis pantai ke dalam rumah. Ketika keluar wajahnya sudah suram
karena Gadis pantai sudah dicerai. Bendoro memberi uang dan dia harus membawa Gadis
pantai meninggalkan rumah Bendoro segera, sedangkan bayinya harus ditinggal dan
akan di asuh pembantu. Sampai di rumah Gadis pantai tidak mau tinggal. Dia
memilih pergi. Selama sebulan dia masih sering lewat depan rumah Bendoro, tapi
setelah itu tidak lagi.
Novel
Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, merupakan novel pertama dari trilogi
yang ditulisnya, sebuah novel tanpa terselesaikan, karena dua buku kelanjutan
dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan tradisi
aksara yang masih membuta. Novel ini bercerita mengenai relasi antara mas
nganten dengan pembesar yang “memeliharanya”. Pembesar atau Ndoro merupakan
orang Jawa yang berdarah biru yang memiliki korelasi dengan pemerintah Belanda.
Novel ini sangat kritis sekali membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Pada
dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah
dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki
pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat mencolok, bahwa status sosial
sangatlah penting di masa itu. Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang
suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap
rakyat bawahnya, termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai
Mas Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu saja.
Novel
ini menggunakan teknik penceritaan orang ketiga mahatahu yang memungkinkan
narator tidak terikat pada dunia cerita dan dapat bergerak bebas di dalamnya.
Gerakan itu antara lain dinyatakan dalam penempatan posisi dan jarak dari
narator terhadap dunia yang ada di dalam novel tersebut. Tokoh-tokoh dalam
novel ini, terutama tokoh yang berasal dari rakyat biasa, memperlihatkan sikap
mereka yang menentang dan akhirnya menerima begitu saja dalam menghadapi sikap
dan kuasa para pembesar Jawa, yang akhirnya membawa kesengsaraan dan
kenestapaan bagi mereka, dan tiada dampak sedikitpun bagi para pembesar karena
bagi para bendoro rakyat biasa adalah orang golongan bawah yang tak sederajat
dengan mereka. Bagi para bendoro (priyayi), rakyat jelata adalah budak yang
dapat mereka perintah dan perlakukan semaunya.
Dalam
struktur ruang dalam novel ini hanya banyak bergerak pada kamar dan ruang rumah
sang Bendoro saja. Hanya sedikit pergerakan di sebuah jalan yang menghubungkan
perkampungan nelayan dengan kota dimana Bendoro itu tinggal, dan juga kampung
nelayan itu sendiri. Dari situ kita bisa melihat betapa kuatnya kuasa sang
Bendoro. Segala aturan, norma dan tata karma yang tertanam kuat bersama
keangkuhan feodalisme Jawa pada masa itu. Gadis Pantai tak leluasa bergerak
bebas, sebebas usianya yang masih terlalu belia untuk mengerti mengapa ia
dijadikan Mas Nganten. Lingkungan pergaulan yang sangat diatur, tak boleh
berbicara dengan orang yang tak sederajat, tak boleh bergaul dan bercengkrama
dengan orang rendahan. Terlebih lagi, tak boleh keluar rumah tanpa ijin.
Pengekangan hak sebagai manusia yang bebas.
Di
dalam novel ini waktu terus bergerak maju, sesuai bertambahnya usia Gadis
Pantai. Masa lalu, masa sekarang dan masa depan sang Gadis Pantai tampil secara
terpisah dan tersusun rapi; tanpa saling membayangi, tanpa saling menghancurkan
dan membuat gerakan waktu yang terus bergerak maju. Sehubungan dengan struktur
waktu yang demikian, dengan menampilkan kisah pilu Gadis Pantai yang menjadi
Mas Nganten seorang Bendoro hingga pada akhir cerita yang tragis, dapat dilihat
bahwa novel ini bersikap kritis terhadap feodalisme Jawa pada masa itu. Betapa
kekuasaan, derajat dan harta adalah segala-galanya, dan manusia yang paling
beruntung adalah mereka yang berderajat tinggi dan bahkan mereka yang menjadi
kaki-tangan Belanda.
Dalam
novel ini pun terdapat pula isu-isu gender di dalamnya. Penindasan laki-laki
terhadap perempuan, pengekangan hak ibu terhadap anak dan tak ada jalan lain
untuk menyelesaikan masalah tersebut di dalam sistem feodalisme Jawa pada masa
itu. Laki-laki yang bebas berpoligami, dan perempuan dijadikan budak nafsu
baginya. Sang Bendoro bebas mengambil gadis manapun, siapapun dari kelas bawah
dan menjadikannya Mas Nganten, Bendoro pun berkuasa mencampakkannya begitu saja
dan mencari gadis lain untuk dijadikannya Mas Nganten, selama itu pula Bendoro
dianggap masih perjaka sebelum ia menikahi gadis yang sederajat atau sekelas
dengannya. Dan perilaku itu terus berlangsung hingga ia menikahi seorang gadis
yang sederajat dengannya. Pada akhirnya pula, ketika para Mas Nganten
melahirkan seorang anak, ia langsung menceraikannya dan mengambil anaknya itu.
Ia memisahkan ibu dengan anak. Terlebih lagi, anggapan rakyat feodal bahwa anak
laki-laki adalah anak yang bisa dibanggakan dan anak yang bisa meneruskan kekuasaannya,
sehingga anak perempuan itu seperti manusia yang menyusahkan, tak berdaya dan
tak dapat dibanggakan. Hal ini terlihat dari sikap sang Bendoro ketika ia tahu
bahwa Gadis Pantai melahirkan seorang bayi perempuan, betapa murkanya ia.
Secara struktural, dalam relasi-relasi konkret antar tokoh, novel ini cenderung
menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior di hadapan laki-laki. Tentu
saja, dari situ, novel ini mengandung banyak gagasan mengenai emansipasi
perempuan, pembebasan perempuan dari penindasan budaya yang patriarkis.
Sejak
semula novel ini menggambarkan betapa hebatnya feodalisme Jawa pada masa itu.
Dan juga menggambarkan bagaimana masyarakat setempat berlomba untuk menikahkan
anak gadisnya dengan para pembesar Jawa (Bendoro) dengan maksud untuk menaikkan
derajat, menjadi orang yang berderajat dan mendapatkan prestisi di kalangannya.
Selain itu juga, novel ini juga menggambarkan usaha-usaha masyarakat setempat
(terutama kalangan Bendoro atau priyayi) untuk menjadi sama dengan Belanda. Dari
makanan yang para priyayi makan, dari perangkat makan (seperti sendok-garpu,
pisau makan, serta piring yang digunakan), kebiasaan dan simbol-simbol budaya
yang ke-belanda-belandaan, hingga sampai kemampuan dalam berbahasa Belanda.
Hal
ini dapat kita lihat dari kutipan sebagai berikut.
“Seperempat jam
kemudian terdengar suara Bendoro Guru berbicara dengan bahasa yang mereka tak
kenal dan suara Agus Rahmat menjawab dalam bahasa yang mereka pu tidak kenal.
“Betapa hebatnya
Bendoro mengajar putera-puteranya,” kepala kampung berbisik. “Sekecil itu sudah
bisa bicara bahasa Belanda. Satu kata pun kita tak paham. Anakmu nanti,” kepala
kampung menghadapkan mukanya kepada Gadis Pantai, “juga bakal diajarkan seperti
itu.” Gadis Pantai Kecut, wajahnya meraih tangan emak dan menggenggamnya
erat-erat.” (Pramoedya, 2007:20)
“… Roti hangat yang
masih mengepul yang dikirimkan tadi dari bengkel roti, telah tersayat-sayat di
atas meja. Botol-botol selai, serbuk coklat, gula-kembang, perasan air jeruk,
krupuk udang, dan bubur havermouth, telah terderet diatas meja. Kopi
mengepul-ngepul dari cangkir porselen buatan Jepang. Sendok-garpu, pisau, semua
dari perak putih mengkilat berderet-deret memusingkan kepala Gadis Pantai.
Sebuah tempat buah dari perak begitu menyilaukan matanya. Otaknya
terpilin-pilin dan ia lapar. apia pa guna alat sebanyak itu dan serba
mengkilat?”
“…. Gadis pantai
menggigil. Ia tak tahu yang bernama coklat, gula-kembang, dan mana pula selai.”
(Pramoedya, 2007:42)
Dari
kutipan diatas dapat dilihat dengan jelas, betapa kemampuan berbahasa Belanda
itu menjadi sesuatu yang sangat mewah. Keinginan mereka selain mendapatkan
prestisi masyarakat dan juga menaikkan derajatnya, mengawinkan anaknya dengan
Bendoro adalah salah satu tujuan agar kelak anak yang dilahirkan oleh anaknya
(cucu) dapat hidup dan dibesarkan di lingkungan priyayi sehingga anak tersebut
dapat menjadi seorang pembesar pula.
Selain
itu juga, pola makan ala Eropa dengan mengkonsumsi roti dan bubur gandum
sebagai sarapan paginya, memberikan nilai-nilai sosial tersendiri bagi feodal
Jawa. Pada masa itu, beras nasi menjadi barang yang mewah, apa lagi roti. Tak
seorangpun dapat mencicipi roti dan bubur gandum terkeculai jika ia seorang
priyayi, orang berdarah biru (ningrat), orang Belanda, orang yang menjadi kaki
tangan Belanda, dan juga orang yang menjadi Mas Nganten bagi Bendoro. Mereka
(khususnya orang kalangan atas/priyayi) berusaha menyetarakan diri dengan
Belanda, setidaknya dalam pola makan tidaklah akan merugi karena mereka akan
diihat sebagai mahluk bermartabat karena bisa makan seperti orang Belanda, dan
menggunakan sendok-garpu seperti apa yang orang Belanda gunakan untuk menyuapkan
makanan ke dalam mulutnya.
Pola
pikir dan bahkan bentuk fisik pun tergambar dalam novel ini. Betapa sungguh
berbedanya tubuh seorang priyayi dengan rakyat jelata. Sehingga terlihat
sekalimana ia yang seorang priyayi dan mana pula ia seorang dari kalangan
bawah. Orang yang langsat adalah orang yang mulia, sedangan orang yang tubuhnya
terkelantang sinar matahari adalah hina. Seperti kutipan berikut.
“Waktu Bendoro
terlelap tidur, dengan kepala pada lengannya, ia mencoba mengamati wajahnya.
Begitu langsat, pikirnya. Orang mulia, pikirnya, tak perlu terkelantang di
terik matahari. Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan lemak
muda! Ia ingin rasai dengan tangannya betapa lunak kulitnya, seperti ia
mengemasi si adik kecil dulu. Ia tak berani. Ia tergeletak diam-diam di situ
tanpa berani bergerak, sampai jago-jago di belakang kamarnya mulai berkokok.
Jam tiga. Dengan sigap Bendoro bangun. Dan dengan sendirinya ia pun ikut serta
bangkit.” (Pramoedya, 2007:33)
Pentingnya
gaya hidup atau penampilan dalam novel ini tidak hanya terdapat dalam persoalan
hubungan rasial antara priyayi dengan rakyat biasa, melainkan juga dalam
persoalan hubungan sosial antar anggota masyarakat setempat itu sendiri. Gaya
hidup adalah indicator penting dari status sosial seseorang dan gaya hidup itu
pula lah yang menempatkan Bendoro ke dalam golongan masyarakat dengan status
sosial yang tinggi. Sedangkan, Gadis Pantai, walaupun ia telah dinikahi oleh
Bendoro dan tinggal di gedungnya, namun tetap saja ia dianggap sebagai
perempuan kelas rendah, sehingga membuatnya terjepit dalam status sosial yang
telah membiarkan ia lahir dan besar di dalamnya. Kekuatan tangan-tangan feudal
Jawa yang tak kan mampu terlawan bagi tangan-tangan semacam Gadis Pantai,
kepala kampung atau bahkan bapaknya sendiri.
Sungguh,
novel ini bentuk dari resistensi terhadap feodalisme Jawa pada masa itu.
Mengkritis feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Inilah
potret nasib buruk kaum perempuan desa di bawah feodalisme Jawa selama beberapa
abad bahkan sampai abad 20.
Roman
yang menjadi sekuel pertama dari trilogi roman keluarga ini adalah roman yang
indah dan mempesona. Pramodya berhasil membongkar dan menunjukkan kontradiksi
negative praktik feodalisme Jawa yang tidak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan.
Tentu saja, roman ini berhasil menusuk feodalisme Jawa tepat di jantungnya.
Pramoedya
Ananta Toer lahir pada tahun 1925 di Blora Jawa Tengah. Ia merupakan salah satu
sastrawan Indonesia yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di dalam penjara;
tiga tahun dalam penjara kolonial, satu tahun di masa Orde Lama, dan 14 tahun
pada masa Orde Baru tanpa proses pengadilan. Dalam masa-masa hidupnya di dalam
bui, Pramoedya menghasilkan beberapa karya, diantaranya adalah Tetralogi Buru
(Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Setiap
kali membaca tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer, kita pasti selalu merasa
kagum. Di setiap lembaran kita menemukan sesuatu. Bukan hanya bahasa saja yang
menarik tetapi juga idealisme. Karya-karyanya terlalu banyak melontarkan
humanisme. Pramoedya mengaku tema seperti itu dalam sebahagian besar tulisannya
banyak dipengaruhi oleh Multatuli, pengarang Max Havelaar yang mengatakan
bahawa tugas manusia adalah menjadi manusia. Beliau juga belajar tentang
humanisme daripada karya-karya John Steinbeck dan menelusuri ideologi daripada
penulis agung Rusia, Mar Xim Gorky.
Melalui
watak-watak tertentu, yang pastinya perwatakan dari golongan kelas bawah,
Pramodya mewujudkan watak hero yang menentang berbagai situasi yang tidak
manusiawi. Antaranya feodalisme priyayi Jawa, kolonialisme dan imperialisme.
Watak-watak hero itu akan mengkritik, membidas dan mengutarakan
pandangan-pandangan tertentu yang mewakili golongan masyarakat bawahan di Jawa.
Pandangan tidak manusiawinya feodalisme Jawa dikritik dengan begitu luas oleh
Pramoedya terutama dalam Gadis Pantai. Ia mengangkat kisah betapa rendahnya
seorang rakyat kecil hanya sama dengan sebilah keris pembesar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar