Tergoyahnya
Keyakinan
Karya: Hartana Adhi Permana
Hasan
adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampong di kota Bandung, Kampung
Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh. Sudah sedari
kecil hidupnya ditempuh dengan tasbih. Iman Islamnya sangat tebal. Lukisan
inilah yang menggambarkan latar keagamaan dalam kehidupan Hasan, kehidupan yang
bernaung Islam.
Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah agama semua tentang ajaran – ajaran agamanya makin menempel terus di dalam hatinya. Sampai – sampai Hasan menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik.
Hasan
kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota Bandung dengan
tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor jawatan
pemerintah,sebagai penjual tiket kapal di Kota Praja. Di tempat penjualan tiket
inilah Hasan bertemu orang – orang yang akhirnya mengubah jalan hidupnya.
Berawal dari pertemuannya dengan Rusli, temannya pada saat bersekolah di
Sekolah Rakyat. Rusli mengajak untuk bertamu ke rumahnya dan terlebih lagi ada
perasaan tertentu yang menghinggapinya kala bertemu dengan Kartini, yang
merupakan saudara angkat Rusli. Hasan jadi sering mampir ke tempat Rusli.Dan
mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli dan Kartini, dan kawan-kawan
mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis.
Hasan
yang dahulunya tetap mampu hidup sebagaimana biasa di desanya walaupun berada
di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Hal yang utama adalah
menyangkut sisi relijiusitas yang selama ini sanggup dipegang teguhnya. Semakin
sering ia berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli dan
kawan-kawannya, juga semakin akrab ia dengan mereka, mulai semakin tak perlahan
Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis akan sangat
menubruk pemahaman keagamaan yang sangat tradisionalnya Hasan. Dan ini juga tak
berlangsung mudah.
Pada
awalnya Hasan masih sangat keras untuk berusaha melawan jalan pikiran
kawan-kawan marxisnya. Hal ini ditunjukkan dengan tekadnya suatu kali untuk
menyadarkan Rusli guna kembali ke jalan yang benar. Dengan semangat ia
mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat.Hasan menyerah, ia terus
menggabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus tambah terpengaruh. Sewaktu
suatu saat kembali ke rumah orang tuanya di Desa Panyeredan, kebetulan bersama
Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang paling gila), ia bahkan berani
berteus terang pada kedua orang tuanya tentang pemahaman keimanan terbarunya.
Dan tentu saja untuk itu Hasan harus membayar dengan perpisahan untuk
selamanya.
Namun
ketika menceburan Hasan ke dalam lingkungan Marxis, ia sebetulnya juga tak
sepenuhnya sanggup dan mau untuk mengikuti ideologi tersebut. Keberadaan
seorang Kartinilah yang menjadi perangsang baginya untuk terus ada di komunitas
yang membuat ia kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif dalam berbagai
saling lempar wacana yang ada. Hingga akhirnya Hasan kawin dengan Kartini dan
pada awalnya berbahagia sentosa raya. Tentu, tak lama pula, datanglah juga masa
sengsara, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar. Dan pertengkaran inipun
berujungkan perpisahan. Sumber konfliknya adalah, utamanya, ketidaksukaan Hasan
pada gaya hidup modern Kartini. Hasan masih memendam cara pikir yang
konservatifnya ternyata. Dan memang begitulah. Dalam keterlibatan ia
berkecimpung di dunia pemikiran kaum “atheis”, ia masih sangat mendekap erat
pandangan-pandangan masa lalunya. Dan pertentangan pikiran ini cukup menyiksa
hari-hari Hasan, yang hanya sanggup diobati, awalnya, dengan impian akan
keanggunan Kartini, tetapi selain itu Hasan pun berhadap dengan penderitaan
fisik berupa penyakit paru-paru yang dideritanya.
Suatu
hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat memperkosa
Kartini, dalam marah, ketika berjalan mencari Anwar, ia ditembak oleh tentara
Jepang ( Kusyu Heiho ) yang menuduhnya mata-mata. Hasan tersungkur oleh
terjangan peluru dan diakhir hayatnya ini Hasan masih sempat mengucapkan Allahu
Akbar sebagai tanda keimanannya.
Tema
yang diangkat novel ini adalah persoalan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Novel Atheis ( 1949 ) karya Achdiat K. Mihardja adalah karya sastra yang
mengetengahkan perkembangan awal abad ke – 20, yakni pergeseran gaya hidup
tradisional ke gaya hidup yang modern. Atheis menyoroti kebiasaan umum dalam
menanamkan ajaran Islam secara dogmatis. Atheis mengambil tema benturan
Islamisme yang ditanamkan secara dogmatis melawan komunisme. Sifat keberagamaan
dalam novel ini terasa begitu kental hampir di setiap bagiannya. Seperti dalam
kutipan :
“Sesungguhnya, semua itu meminta
cara. Meminta cara oleh karena hidup di dunia ini berarti menyelenggarakan
segala perhubungan lahir batin, antara kita sebagai manusia dengan sesama
makhluk kita dengan alam beserta pencintanya. Dan penyelenggaraan semua
perhubungan itu meminta cara. Cara yang sebaik – baiknya, seadil – adilnya,
seindah – indahnya, setepat – tepatnya, tapi pun sepraktis – praktisnya, dan
semanfaat – manfaatnya bagi kehidupan segenapnya.”
( Atheis, hal. 9 )
Hal
ini menggambarkan tentang kehidupan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya.
Banyak
pelajaran yang bisa kita dapatkan dari novel Atheis ini. Dalam novel ini kita
seakan – akan diingatkan, tentang kehidupan orang yang begitu fanatik dalam
menjalankan agamanya, orang – orang yang hanya memikirkan urusan akhirat saja.
Padahal Tuhan menyuruh manusia beribadah dengan tidak melupakan kewajibannya
sebagaimana manusia di dunia. Ketaatan Hasan bersembahyang, melakukan ibadah
semata – mata karena ketakutannya pada neraka yang selalu dipikirkannya, bukan
ketakutan akan Tuhannya. Seperti ditulis dalam halaman 20 :
“Dalam khayalku sebagai anak kecil,
segala dongeng itu alangkah hidupnya, seolah – olah aku sudah betul – betul
melihat neraka.
Aku merasa takut. Menggigil
ketakutan. Merapatkan badanku kepada badan Ibu yang sedang mendongeng itu. Ibu
memeluk aku. Dibujuk – bujuknya aku,”Tidak usah engkau takut – takut, asal
engkau jangan nakal. Mesti selalu turut kepada perintah ayah dan ibu, kepada
orang – orang tua, dan mesti rajin bersembahyang dan mengaji.”
Achdiat
seolah ada di samping kita bercerita tentang pemeluk agama yang keliru mengkuti
tradisi semata. Membuat kita sadar bagaimana menjalankan agama yang
sesungguhnya.
Kemudian
kita juga diberitahukan jangan tergantung pada cinta yang didasari nafsu
duniawi. Cinta mengubah Hasan menjadi lupa diri. Karena cintanya kepada
Kartini, ia telah menyingkirkan cintanya terhadap Tuhannya dan orang tuanya.
Seperti dalam kutipan di bawah ini, bagaimana kuatnya pengaruh Kartinin
terhadap kehidupan Hasan :
“Terasa sekali betapa besarnya perubahanku
dibanding dulu. Dulu artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku
selalu kusesuaikan dengan “pendapat umum”, terutama dengan pendapat para ahli
ulama. Aku selalu berhati – hati jangan sampai menjadi noda dalam pendangan
umum, alias “klaim alim – ulama” itu. Tapi sekarang pandangan umum itu sudah
tidak begitu kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini.”
( Atheis, hal. 108 )
Sebenarnya
cinta itu bukan berarti rasa sayang terhadap lawan jenis saja, tetapi untuk
Tuhan kita. Cinta itu harus dibarengi dengan akal, pikiran, dan keimanan yang
kokoh agar cinta tidak memberi kesesatan dalam hidup kita.
Latar
( setting ) adalah waktu, tempat, atau lingkungan terjadinya peristiwa. Tempat
penceritaan novel adalah di Jawa Barat dan khususnya di Kota Bandung . Hal ini
bisa dilihat dari kutipan isi novel, yaitu :
“Di lereng gunung Telaga Bodas di
tengah – tengah pegunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung,
bersembunyi di balik hijau pohon – pohon jeruk Garut.” (
Atheis, hal. 16 )
Dapat
kita ketahui jeruk Garut berasal dari Jawa Barat karena Garut adalah nama salah
satu kota di sana, dan pegunungan Priangan terdapat di kota Bandung. Pernyataan
itu dipertegas lagi dalam kalimat berikut :
“Aku tunduk saja. Mengerti aku,
bahwa orang tuaku itu takut kalau – kalau aku akan menjadi buaya atau akan
tersesat ke jalan pelacuran. Maklumlah kota Bandung.” (
Atheis, hal. 26 )
“Stasiun Bandung sudah samara –
samara diselimuti oleh senja, ketika kereta api dari Cibatu masuk. Matahari
sedang mengundurkan diri, pelan – pelan dan hati – hati seperti pencuri yang
hendak meninggalkan kamar untuk menghilang ke dalam gelap.
Kota Bandung tidak seperti tiga
tahun yang lalu. Pada senja hari yang indah seperti itu, di zaman yang lalu
kota itu seolah – seolah mulai berdandan. Lampu – lampu listrik di jalan –
jalan, di toko – toko dan di rumah – rumah mulai dipasang, seakan – akan
manusia bersedia – sedia untuk mulai berjuang membantu Ormurd, dewa terang,
dalam perjuangannya yang abadi melawan Ahtiman, dewa gelap.”
( Atheis, hal.224 )
Latar
waktu cerita ini terjadi dari tahun 1940 – an ketika Belanda dan Jepang mulai
memperebutkan Indonesia sebagai tanah jajahannya. Sampai massa menjelang
proklamasi kemerdekaan ketika perang dunia II mulai. Hal ini dibuktikan dari
tanggal pernikahan Hasan dan Kartini yaitu tanggal 12 Februari 1941. dan
dijelaskan dalam novel pada halaman 171 bahwa pemerintah Hindia – Belanda tekuk
lutut kepada kekuasaan balatentara Dai Nippon dengan tidak memakai syarat apa –
apa. Selain itu, akhir hayat Hasan, dia dibunuh oleh Kusyu Heiho ( yaitu
tentara Jepang ) karena dianggap mata – mata.
Latar
sosial ( lingkungan ) dapat kita bedakan. Saat usia anak – anak dan remaja
Hasan tinggal bersama orang tuanya yang pengaruh agamanya sangat kental.
Bandung juga mampunyai latar budaya yang unik, karena hampir semua penduduknya
adalah penganut agama yang taat. Dapat dilihat dalam kutipan :
“Ayah
dan ibuku tergolong orang yang sangat
saleh alim. Sudah sedari kecil jalan hidupnya ditempuhya dengan tasbeh dan
mukena. Iman Islamnya sangat tebal.” (Atheis,hal. 16 – 17 )
Lukisan
ini memberikan gambaran latar belakang keagaaman yang melatarbelakangi
kehidupan tokoh Hasan sebagai bagian kehidupan suatu keluarga yang beragama
Islam.
Sedangkan pada saat dia tinggal di Bandung, dia memasuki latar sosial yang berbeda. Orang – orang yang tidak peduli pada Tuhan, orang – oran yang bebas ( kapitalis ) menjadi teman dalam pergaulannya. Orang yang seperti Anwar yang menganggap “Ik ben een god in het diepst van migh gedach ten” ( dalam pikiranku yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan), di halaman 104. dan pernyataan di bawah ini yang memperkuat latar sosial tersebut :
“Juga dalam hal musik dan seni umumnya
Rusli ternyata mempunyai pengetahuan dan pemandangan yang luas. Apa yang
kuanggap sebagai buah “kebudayaan kapir”; oleh Rusli disebut buah “kebudayaan
burjuis”, yang katanya dengan sendirinya akan hilang apabila masyarakat
kapitalis sekarang sudah berganti menjadi masyarakat sosialis. Sebab, katanya
pula, seperti cabang – cabang kebudayaan lainnya seni dan musik pun adalah
hasil masyarakat. Masyarakatnya kapitalis, kebudayaan pun kapitalisme. Demikian
selanjutnya,… ( Atheis, hal. 93 )
Dalam
novel ini pengarang menempatkan sudut pandangnya sebagai tukang cerita, di mana
di beberapa bab dalam novel ( pada bab I, II, dan bab XIII ), pengarang pun
ikut masuk di dalam cerita tersebut. Dari awal sampai akhir pengarang tetap
konsekuen dengan sudut pandangnya. Pengarang tidak menggubris/ menguak tentang
dirinya, tetapi menceritakan tokoh utama/ sentral dari cerita tersebut. Yang
diperkuat dengan kutipan :
Pendek kata, saya akan berusaha
supaya sedapat mungkin saya bisa memberi lukisan yang tidak begitu banyak
menyimpang dari kejadian – kejadian yang sebenarnya tentang pengalaman –
pengalaman Hasan itu, supaya karangannya betul – betul merupakan karangan yang
bersifat “Dichtung und Wahreit”.( Atheis, hal. 197 )
Selain
itu dalam novel banyak menggunakan kata “aku”. Hal ini terjadi karena dalam
menuturkan kisahnya ini pengarang menduduki posisi tempat tersendiri di dalam
cerita. Kadang – kadang pengarang melibatkan diri di dalam cerita dan pada
cerita yang lain, ia berada di luar cerita sebagai pengamat. Jadi novel ini
menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal.
Alur
novel ini disajikan secara sorot balik ( flash back ), sebuah gebrakan baru era
tahun ’45.
Teeuw melukiskan alur cerita novel Atheis sebagai berikut :
Teeuw melukiskan alur cerita novel Atheis sebagai berikut :
[
C { B ( A ) B } C ]
Bagian
A merupakan bagian dari novel yang berisi riwayat pelaku utama ( tokoh utama ),
yaitu Hasan. Bagian ini bermula dari bab III sampai bab XII, yaitu dikisahkan
dalam bentuk “aku”, yaitu Hasan.
Bagian
B, baik sebelum maupun sesudah A merupakan kisah pertemuan dan perbincangan
pengarang dengan Hasan. Bagian ini diceritakan juga dalam bentuk “aku”, tetapi
“aku” adalah pengarang bukan Hasan. Bagian – bagian ini hanya sedikit, B yang
pertama meliputi bab II, sedangkan B yang kedua meliputi bab XII. Bab XII ini
merupakan pertemuan pengarang dengan Kartini, ketika Hasan menghilang.
Sedangkan bagian C kedua – duanya merupakan cerita pengarang tentang Hasan yang
diperolehnya dari teman – teman dekat Hasan. Bagian C pertama terdiri atas bab
I, yang hakikatnya merupakan kelanjutan bagian C kedua yang terdiri atas bab
XIV dan XV. Maksudnya adalah bagian C terakhir ( bab XIV dan XV ) merupakan
bagian ketika Hasan meninggalkan rumah dan mencari Anwar dengan penyakitnya
yang tak kunjung sembuh, kemudian Hasan ditembak mati oleh tentara Jepang dan
di bagian C pertama adalah Kartini, Rusli, dan pengarang mendapatkan kabar
kematian Hasan. Ceritanya dibalik menjadi alur sorot balik.
Gaya
bahasa adalah pencerminan kepribadian pengarang. Dalam novel Atheis, Achdiat
banyak menggunakan majas personifikasi seperti :
Matahari sedang mengundurkan diri
pelan – pelan dan hati – hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar
untuk hilang dalam gelap. ( Atheis, hal. 6 )
Kemudian
pada hal 123 :
Kalau dulu aku hidup di dalam
ketenangan hati seperti air di danau, maka air itu seakan – akan sudah mendesah
– desah penuh dinamik seperti air di sungai gunung.
Kemudian
pengarang juga menggunakan bahasa Belanda untuk kalimat yang ingin
dipertegasnya, seperti :
In de nood leerf men bidden (
Kesusahan hidup mendorong kita sembahyang ). ( Atheis, hal.
20 )
Ik ben een god in het diepst van
mijn gedach ten ( dalam pikiranku yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan ).
( Atheis, hal .104 )
Soal percabulan, Dat is het echte
leven ( itulah hidup yang sebenar – benarnya ).
( Atheis, hal. 226 )
Tokoh
Utama ( Protagonis ) adalah Hasan, karena novel ini banyak menceritakan tentang
kehidupan Hasan, bagaimana Hasan dari seorang yang taat beragama menjadi
seorang Atheis karena orang – orang disekitarnya, dan Hasan adalah tokoh yang
berhubungan dengan seluruh tokoh lain, seperti pengarang, Kartini, Rusli,
Anwar, orang tua Hasan, Rukmini. Adapun sifat – sifat Hasan adalah :
Seperti namanya pula, rupa, dan
tampang Hasan pun bisa sederhana. Hanya badannya kurus, dan karena kurus itulah
maka nampaknya seperti orang yang tinggi, mata, dan pipinya cekung portrayal of
throught steam. ( Atheis, hal. 13 )
Menunjukkan
bagaimana seorang Hasan yang sederhana dan tubuhnya kurus. Hasan juga seorang
yang kurang teguh pendirian, seperti dikutip di bawah ini:
Dia seorang pencari. Dan sebagai
seorang pencari, maka ia selalu terombang – ambing dalam kebimbangan dan
kesangsian. Kesan ia bukan seorang pencari yang baik.
( Atheis, hal. 13 )
Hasan
juga seorang yang fanatik dengan agamanya, yang dibuktikan dalam kutipan :
Kadang – kadang aku tidak bisa menyembunyikan kebencian kepada orang yang tidak saleh atau kurang iman.
… berpuasa tujuh hari tujuh
malam. Hasan kemudian menyelesaikan ritualnya mandi di kali Cikapundang selama
40 kali, satu malam dan sembahyang Isya sampai shubuh.
(Atheis, hal. 28 – 29 )
Kemudian
tokoh lawannya adalah Kartini, Rusli, Anwar, yang sifatnya akan dijelaskan satu
persatu.
a. Kartini
Kartini
adalah wanita korban Siti Nurbaya dipaksa kawin oleh ibunya dengan seorang
rentenir Arab tua yang kaya. Suka belajar dan menempuh hidup kebarat – batan
daripada “penjara timur kolot” menurutnya ( dalam Atheis, hal. 34 ). Kartini
seorang yang berideologi tegas dan radikal. Etikanya menurut feodal/ burjuis,
merupakan wanita yang berpikiran modern. Kartini adalah seorang Athei ( tidak
percaya akan keberadaan Tuhan dan agama )
b. Rusli
Rusli
adalah teman kecil dari Hasan. Dari kecil Rusli adalah anak yang nakal, jarang
sembahyang ( Atheis, hal. 33 ). Rusli juga seseorang yang dapat menghargai
orang lain dan sopan, ditunjukkan dalam kutipan berikut :
Tentu
saja saudara Hasan tidak akan membiarkan pendapat saya itu. Itu saya dapat
mengerti dan hargai, dan memang tak asah saudara Hasan menerima segala apa yang
saya katakan itu. ( Atheis, hal. 77 )
Rusli
juga seseorang yang mudah mempengaruhi orang lain. Seperti dalam kutipan :
Karena kepandaian Rusli menguraikan pelbagai soal hidup, baik soal – soal kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan lain – lain yang selama itu tidak pernah menjadi soal bagiku dan agama. ( Atheis, hal. 104 )
Rusli
juga seorang Atheis ( tidak percaya akan adanya Tuhan dan agama ).
c. Anwar
Anwar
adalah rekan dari Rusli dan Kartini. Anwar adalah seniman anarkhis dan ramah.
Seperti dikutip, bagaimana fisik dari Anwar :
Ia pemuda yang cakap rupanya.
Kulitnya kuning seperti kulit orang Cina dan matanya pun agak sipit. Mungkin ia
keturunan Cina/ Jepang. Ia berkumis kecil seperti sepot sapu lidi masuk ter dan
janggutnya jarang – jarang seperti akar yang liar. Rambutnya belum bercukur.
( Atheis, hal. 101)
Dan
juga disebutkan bahwa Anwar adalah seorang yang periang dan selalu beranggapan
bahwa Tuhan itu adalah aku sendiri ( telunjuknya sendiri menusuk dadanya ) dalam
Atheis, hal. 104.
Anwar
adalah inididualis anarkhis dan suka memaksakan kehendaknya. Dibuktikan pada
kutipan di bawah ini :
Ia suka sekali mendesak – desakkan
kehendak atau pendapatnya sendiri. Dalam hal ia selalu agresif. Selalu polemis
dan mengemukakan dirinya sendiri, seolah – olah dialah saja yang paling pintar,
paling benar dan tak diinsyafinya agaknya, bahwa kebenaran itu terlalu besar
untuk dimonopoli oleh hanya 1 orang saja, seorang Anwar.
( Atheis, hal 130 )
Ada
juga tokoh bawahan seperti Rukmini merupakan wanita penganut agama Islam yang
taat, anak seorang raden. Tidak kaku dalam pergaulan, selalu riang dan ramah.
Suka sekali bercakap –cakap dan pandai berdandan. Cita – citanya dalah mengabdi
dan memajukan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar