Menelaah Bahasa dan
Makna yang Terkandung dalam
Cerpen “Kuda Terbang
Maria Pinto” Karya Linda Christanty
Oleh: Hartana Adhi Permana
Mengapa sebuah karya patut untuk
diapresiasi oleh kita sebagai penikmatnya? Tentu, jawabannya
berbeda-beda. Yang jelas, tidak
ada salah satu di antara kita dapat memaksakan tafsir dan penafsiran
atas sistem tanda
yang seolah-olah bergerak masuk
menelikung, kemudian
bersemayam pada keyakinan setiap
manusia. Misalnya, ada yang berkata, “Saya membeli buku ‘Kuda Terbang Mario
Pinto’ karena ingin mengenang kembali pegasus kecil dan sama sekali bukan karena
Linda Chrystanti, si pengarangnya.”
Apa yang dapat kita katakan? Tentu,
kita hanya
akan tersenyum sambil berharap semoga si empunya berhasil mendapatkan apa yang
ia cari.
Tak ada yang salah. Jelas, tak ada yang salah karena
makna bersifat arbriter. Ia semena-mena.
Bahkan, Tuhan bisa
tewas dalam sekejap dalam genggaman
jari-jari kita. Tentu saja, itu terjadi
bila kita memang sungguh-sungguh menginginkannya. Sama seperti Nietzshe, kita
bisa sangat berkuasa atas apa saja. Sebab, memang ada kedaulatan berpikir atas
manusia selain tentunya ada juga aspek kesadaran yang menjadi standar nilai di
dalam mekanisme kehidupan itu sendiri. Dan makna bergerak sekaligus bersamaan
dengan sistem tanda dan tentunya juga bersamaan
dengan bagaimana kekuasaan yang ada
di sekeliling pemaknaan itu bekerja. Maka, ketika
sebuah karya berhasil menerobos sistem
pasar, dan telah berhasil menunjukan
kemampuannya menancapkan kuku di ruas-ruas ranah publik, ini menjadi hal
penting dan patut kita bicarakan. Sebab, sebuah karya atau sesuatu –apapun
ketika-, berada di ruang itu,
akan memperoleh kembali haknya yang hilang untuk,
minimal, dimaki. Apa pentingnya pemaknaan? Dan apa pentingnya kita membicarakan
apa pentingnya pemaknaan di sini?
Ah, tentu kita harus merelakan tak sedikit
waktu buat ini. Sebab,ini sama halnya
dengan persoalan pascamembaca, pascamelihat, dan pascamemilih.
Jelas, semua memiliki konsekuensi. Membaca adalah
hal yang mudah, tetapi memaknai adalah kerja yang menguras
energi beberapa kali lipat dari pada sekadar membaca. Dalam memaknai, kita dipaksa untuk mampu
merekonstruksi pemahaman. Sementara, konstruksi pemahaman sudah terlalu
lalu-lalang dalam kehidupan. Kita masih
pula diharuskan
untuk menetapkan pilihan
atau bagian mana yang kita percayai.
Pemaknaan mengandaikan pemahaman meski dalam banyak
hal memahami berarti ‘berdamai’. Tetapi, kita memperoleh tuntutan untuk menyatakan
gagasan sampai pada batas pemaknaan.
Sehingga, sistem pemaknaan juga adalah usaha
keberpihakan. Sebuah tindakan
politis dari tubuh kehidupan kita. Bagaimana
kedudukan karya? Dalam hal ini,
karya sastra. Sebuah kumpulan
cerpen `KudaTerbang Mario Pinto`
karya Linda Chrystanti. Apa perlunya, kita melakukan usaha pemaknaan dalam hal
ini? Apa menariknya seorang Linda Chrystanti dengan `Kuda Terbang`nya?
Karya
merupakan kumpulan sistem tanda yang dalam hal ini menggunakan bahasa nonverbal
sebagai medium utamanya. Bahwasanya, tulisan (cerpen) adalah media yang dipilih
Linda Chrystanti untuk mentransformasikan realitas yang berkembang di sekitarnya.
Sementara, bahasa sebagaimana kita ketahui adalah sebuah pernyataan sikap. Itu
adalah hal paling mudah yang dapat kita identifikasi. Meski demikian, ia
sesungguhnya adalah alat mobilisasi peran yang paling efektif yang dapat
digunakan untuk mendukung sebuah program kerja –jelas politis. Kerja-kerja ini
mengharuskan kita untuk mau mempelajari teks-teks budaya yang berkembang dan
sekian kemungkinan yang dihasilkannya. Pada bahasa ada, gerak perlawanan
sebagai sebuah upaya merenkonstruksi realitas melalui pernyataan yang diamini
sang pengarang (author). Bahwasanya, di dalamnya, termaktub paham nilai yang
jika di-metafora-kan akan menjadi bendera yang dikibarkan si pengarang. Pada
Linda, kita akan mengidentifikasi kecenderungan yang ada sekaligus menjawab
bagaimana konsistensinya dalam hal tersebut. Yang akan kita gunakan sebagai
tonggak -tolakan berfikir- adalah asumsi bahwa karya Linda sepenuhnya bertutur dengan
gaya psikologi nonmedik. Hal ini dapat dengan mudah kita lacak melalui
permainan kata yang digunakannya.
Selanjutnya,
kita akan melihat bagaimana sikap Linda sebagai author atas bahasa. Sastra-karya, sebagaimana fungsi kerja dalam
kehidupan, sudah sejak awal berdiri di antara silang lintas paham. Tetapi,
sebagaimana kita memahami dialektika triadik (triad dialectic) Berger; korelasi antara internalisasi,
eksternalisasi dan objektifikasi menjembatani ruas-ruas persoalan yang
ditimbulkan oleh pemahaman binner. Konsepsi dialektika triadik ini menjadi jalan
keluar di antara pertentangan binner. Ini semacam sintesa atas logika yin-yang yang menggenapi korelasi
kontradiktif. Sehingga, kini tidak menjadi penting, pernyataan -pun sekaligus
pertanyaan -; misalnya, apakah sastra merupakan representasi hidup atau justru sebaliknya.
Dengan dialektika triadik ini, kita diajarkan untuk tak menafikkan unsur kesejarahan
dalam turbulensi kehidupan seorang pengarang. Bahwa sesungguhnya, ada hal
penting dibalik sebuah kerja: bahwa hakikat menjadi sebuah dasar, das sein yang bukan beban atau kemudian
sering kita dengar dengan sebutan cemooh `tugas mulia manusia` yang kemudian
memang menjadi sebuah keharusan yang wajib. Wajib pada aras ini, diartikan sebagai
sebuah bagian yang tak mungkin terpenggal dari tubuh sosial manusia. Bahwa
kerja dan karya memiliki implikasi logis secara sosial, yakni pemenuhan
kesadaran sebagai seorang manusia yang mampu memanusiakan dirinya maupun
sekelilingnya.
Dalam
bahasa mudahnya, adalah, kesatuan / penyatuan makro dan mikrokosmik menjadi
sebuah harmonisasi yang dialektis. Dengan itu, kita akan mampu membedah
kedirian sebuah karya tak terlepas dari teks maupun konteks yang
menghinggapinya. Untuk itu, sungguh sangat membantu, misalnya strukturalisme
genetik yang dikembangkan Lucien Goldmann: bahwa untuk menjabarkan sebuah
kedirian karya kita akan sampai pada satu pemahaman yang lebih baik apabila
kita mampu merangkum kisi-kisi struktur karya, memahami subjek atau individu di
belakang karya tersebut sekaligus paham pandangan dunia yang melingkupi karya
tersebut. Nilai yang ditransformasikan dalam karya akan terungkap melalui
intimasi dengan teks dan konteks yang dibangun berdasar kesadaran. Sehingga,
tidak ada lompatan ekstrem yang meninggalkan lubang gelap dalam struktur
sejarah maupun kebudayaan kita yang berkembang. Dengan metode ini, kita bisa
tetap berjaga-jaga untuk sekadar sadar di tengah berbagai kemungkinan.
Kumpulan
cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” karya Linda Christanty ini memuat dua belas
cerpen. Semuanya bertema kemanusiaan. Variasi bahasan atas narasi besar
kemanusiaan ini dihadirkan beragam. Hubungan antara pengalaman kemanusiaan
dengan sejenis trauma politis ataupun sekadar berupa penghadiran latar
peristiwa politik dapat ditemukan pada cerpen “Makan Malam”, “Pesta Terakhir”,
“Danau”, “Rumput Liar”, dan “Makam ke Empat”. Lebih spesifik lagi, peristiwa
politis ini dihadirkan atau sangat dikaitkan dengan bentuk kejadian perang. Ini
terdapat pada cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”, “Perang”, “Joao”, dan
“Qirzar”. Berikut adalah sinopsis dari cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” karya
Linda Christanty:
Menjelang
senja Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang.
Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil
yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan
keras kepala. Ia tertegun, menengadah, mendekap senjata laras panjang otomatis,
dan teringat pesan komandannya, "Biarkan dia lewat, jangan menembak."
Menjelang
senja Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang.
Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil
yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan
keras kepala. Ia tertegun, menengadah, mendekap senjata laras panjang otomatis,
dan teringat pesan komandannya, "Biarkan dia lewat, jangan menembak."
Gaun lembut
Maria Pinto membelah anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Yosef
seperti terjebak cinta lama. Dalam baur rasa takut dan ingin, ia tak bisa lari.
Desis angin
makin kejam ketika sebuah kereta perang melayang mengikuti arah terbang kuda.
Dua pengawal—raksasa berkulit kelam, berambut terurai--menyertai perjalanan
rutin ini, menjaga junjungan mereka. Yosef membiarkan iring-iringan di langit
itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah, mendekap senjata.
Angin pun
berangsur tenang. Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah
gersang, dan gunung batu terjal di kejauhan kembali memenuhi penglihatannya bersama
kenangan pada gadis itu.
Kisah
tentang Maria pertama kali didengar Yosef dari teman yang lebih dulu dikirim ke
pulau ini, "Makanya kita sulit menang, karena para pemberontak itu punya
pelindung. Perempuan lagi. Huh! Menyebalkan."
Maria Pinto
semula hanya gadis biasa, sempat kuliah di fakultas sastra sebuah universitas
terkemuka di Jakarta dan bertahan sampai semester tiga, sebelum kembali ke
negeri jeruk dan kopi. Para penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang,
bunuh diri, menjadi gila, atau masuk hutan bersatu dengan babi liar dan rusa.
Malapetaka
tengah melanda negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para
pemimpin suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menahbiskan Maria
sebagai panglima dengan senjata sihir tua dan kuda terbang, karena dialah yang
terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi
pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan
nyali orang-orang yang bersandar pada hal-hal nyata; golongan yang mencampakkan
dongeng dan mimpi.
"Ketika
kabut datang, bergulung-gulung melewati medan pertempuran, anggota pasukan kami
satu demi satu mendadak gugur dengan luka tembak. Suatu hari kabut itu datang
lagi, bergulung-gulung di atas kami dan aku menembaknya, tanpa henti. Ketika
kabut lenyap, aku saksikan tujuh orang terkapar mati di tanah. Negeri itu
memang ajaib," kisah teman Yosef, tersenyum pahit.
Kini Yosef
terkurung dalam kereta yang melaju tengah malam dan gagal memejamkan mata. Rasa
kantuknya telah lenyap, bertukar rasa gusar. Kereta ini seperti melayang di
tengah gelap. Noktah-noktah cahaya dari perkampungan, seperti barisan
kunang-kunang muncul di jendela. Namun, selebihnya gelap pekat. Di sebelahnya
duduk perempuan yang asyik menyimak novel Stephen King—begitulah nama yang
tertera di sampul buku—dan sesekali tersenyum atau berseru takjub mendengar
kisah-kisahnya.
"Tapi,
saya tak pernah menembak Maria Pinto dan kuda terbangnya, tak akan, ....ia
sangat sakti, percuma saja," ujar Yosef pelan, nyaris bergumam.
Perempuan
muda itu terusik sebentar, lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula
ia kurang berminat mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil
menyaksikan penembak jitu memercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan
kasatmata. Tetapi, dia terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali,
inilah wajah orang yang hidup-mati dari perang.
Wajah lelaki
itu mirip boneka kain kanak-kanak yang terlalu disayang, meski sudah kumal dan
koyak-moyak tak dibuang ke tong sampah; wajah penuh luka jahitan. Sepasang
matanya sayu berhias bekas-bekas sayatan dekat alis, yang menyerupai sulaman
bordir asal jadi dan bermotif sulur di tangan pemula.
"Tadi
pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas.
Ibu saya trauma. Kasihan dia. Tapi, ini sudah pilihan," tutur Yosef,
memandang lurus ke depan.
Enam bulan
lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali
tanpa jantung, usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni.
Kini Yosef satu-satunya anak lelaki dalam keluarga.
"Petinya
berselubung bendera besar, besar sekali!" Ada nada bangga bercampur haru.
Perempuan
muda malah menggigil. Betapa sunyi mayat yang berongga!
"Kami
dari keluarga petani, miskin. Kamu enak bisa kuliah, punya uang untuk
jalan-jalan. Kami makan saja susah. Menjadi prajurit membuat kami merasa
terhormat. Orang-orang kampung menjadi segan." Kali ini ia pandangi wajah
teman duduknya, yang telah kembali menekuri buku.
Ia merasa
lega sudah membagi kisah-kisahnya yang terdengar lemah dan pengecut pada
perempuan muda ini. Seperti ungkapan menjijikkan dalam roman, ia merasa tenang
di sisinya, di sisi orang asing yang bertemu di perjalanan. Apakah ini pertanda
ia tengah bersiap menyongsong maut, lalu membuat pengakuan dosa serta jadi amat
perasa? Ah, bisikan maut sama sekali belum sampai sempurna.
Kereta terus
menembus ke pedalaman, melintasi laut, ladang garam, hutan jati, kebun, sawah,
dan perkampungan. Noktah-noktah cahaya timbul-tenggelam di bidang jendela.
Keniscayaan yang lain memendarkan nyeri lagi pada ulu hati.
"Saya
benar-benar mencintai kekasih saya. Tapi, sore ini saya benar-benar terpukul.
Keluarganya tak merestui hubungan kami. Kakak-kakaknya mengancam akan
mencelakai saya bila kami nekat juga. Salah seorang pamannya sangat dekat
dengan penguasa. Mungkin, gaji saya terlalu kecil dan hidup seperti ini membuat
keluarganya khawatir. Mungkin...," tutur Yosef, lirih.
Ia meraih
sepotong brownies dari kotak penganan, mengunyah pelan. Lorong kereta begitu
sunyi. Orang-orang lelap dalam selimut katun seragam biru tua. Dengkur halus
terkadang merayap dari kursi-kursi yang berdekatan, menyerupai rangkaian
olok-olok seorang kakek pada cucu tercinta.
"Ya,
mungkin tugas saya harus ditunda. Lagi pula di tengah masalah begini, saya jadi
tidak cekatan dan malas. Orang yang sedang bermasalah biasanya tak
diberangkatkan perang, bisa terbunuh secara konyol."
Tiba-tiba
angin berembus kencang di lorong itu. Ia berkawan dekat dengan angin, meresapi
desirnya yang tajam atau membuai, membaca tanda-tanda yang terkirim.
"Coba,
coba rasakan angin ini," bisiknya, menyentuh pundak perempuan muda.
"Ini
bukan angin, tapi udara sejuk dari pendingin," tukas perempuan itu.
"Bila
kita berada di posisi yang salah, bau tubuh kita akan tercium oleh musuh.
Dengan mudah keberadaan kita diketahui." Ia mulai cemas.
Ia selalu
waspada. Hanya satu kali khilaf dan akibatnya, memalukan.
Suatu malam
Yosef terpisah dari pasukannya sesudah kontak senjata dengan anggota
gerombolan. Ia berjalan sendiri menyusuri sungai di bawah kerlip bintang,
mencari perkampungan terdekat.
Menjelang
tengah malam, ia sudah mengendap-endap di belakang sebuah gubuk berdinding
alang-alang, bergerak dengan moncong senapan terarah ke seluruh penjuru. Tak
ada perkampungan, hanya gubuk terpencil di tepi hutan. Yosef berusaha mencuri
percakapan yang barangkali terjalin antara penghuni gubuk. Kesenyapan dan
kesabarannya saling beradu. Bunyi gesekan sayap-sayap jangkrik makin menggema,
mengerat sepi.
Yosef
memberanikan diri mendorong pintu gubuk itu dengan laras senapan, sambil
bersiap menarik pelatuk bila bahaya datang. Gubuk itu gelap-gulita. Ia
menyalakan pemantik. Pemandangan yang hadir membuat jantungnya berderak.
Seorang
gadis terbaring di lantai gubuk memeluk kuda kayu bersayap, mainan kanak-kanak.
Tenggorokannya bagai tercekik. Namun, tak urung ia mendekat, mengarahkan
senapan ke wajah gadis yang terlelap. Butir-butir keringat dingin mulai
mengembang pada pori-pori tubuhnya yang lelah.
Nyala
pemantik membuat Maria Pinto menggeliat, menatapnya lembut, dan membisu. Sang
panglima dan prajurit kini sama-sama sendirian, berhadap-hadapan. Maria Pinto
bangkit perlahan, menggerakkan tangan ke udara... dan ribuan kunang-kunang
berkumpul memberi cahaya dalam gubuk, menari, dan berpesta.
Maria Pinto
melepaskan gaun perinya yang putih. Tubuh telanjang gadis itu menyerupai patung
lilin para santa, lalu berangsur bening transparan. Ia bisa melihat jantung,
usus, paru-paru, dan tulang-tulang tengkorak gadis tersebut dengan jelas.
Kepala mungil yang cantik berubah membesar dengan pupil-pupil mata yang
menonjol serta kulit wajah mengeriput. Sekilas ia teringat film tentang makhluk
luar angkasa yang pernah ditontonnya di barak dulu.
Keesokan
hari, saat embun masih melekat pada pelepah-pelepah ilalang dan rumput, ia
sudah tersandar di muka pintu pos penjagaan setempat. Teman-temannya berlari
mendekat, memandang heran. Ia malah buru-buru bangun untuk memeriksa tanah
sekitar, tanpa berkata-kata. Teman-temannya bingung bercampur ngeri, mengira ia
hilang ingatan. Yosef telah raib berhari-hari.
Ia terus
membungkuk-bungkuk ke tanah. Tak ada jejak-jejak larsku di tanah yang lunak,
pikirnya, kecewa. Mungkinkah sang panglima membawanya dengan kuda terbang kayu
setelah melihat prajurit tolol pingsan di hadapannya? Mengapa Maria Pinto tak
membunuhnya? Mengapa ia begitu bodoh tak membidikkan senapan ke ubun-ubun gadis
itu?
Ia mulai
tertawa-tawa, makin lama makin keras. Kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu, kuda
kayu.... Yosef terus mengucapkan kata itu seperti mantra, berulang-ulang.
Perutnya yang kurus terguncang hebat, terpilin-pilin oleh rasa lucu tak
tertahankan. Dokter menyatakan dia terserang depresi berat, lalu mendesak
komandan pasukan memulangkannya ke zona tenang untuk istirahat sementara waktu.
Namun, mustahil meyakini ada zona yang benar-benar tenang di wilayah perang. Ia
segera dikirim pulang. Pemulihannya berlangsung cepat, tapi ia dialihtugaskan
ke bagian lain.
"Ini
rahasia saya, hanya antara kita," ujar Yosef, menyudahi kisahnya.
Perempuan
muda menghela napas panjang. Kisah cinta segi tiga yang rumit dan tragis,
pikirnya, sedih. Prajurit ini terombang-ambing antara pacarnya dan panglima
hantu. Dua-duanya sad ending.
Kereta
sebentar lagi mengakhiri perjalanan. Udara makin sejuk. Orang-orang mulai sibuk
merapikan rambut, blus, atau kemeja yang kusut, dan menggunakan lagi bahasa
tutur mereka. Dua pelayan pria mengumpulkan selimut-selimut penumpang dalam
kantong hitam besar, terseok-seok di sepanjang lorong.
"Apakah
mau menemani saya malam ini?" Yosef menatap perempuan itu, lurus-lurus.
"Saya ingin
menyelesaikan novel ini."
"Saya
ingin berjalan-jalan menenangkan pikiran."
"Semoga
Anda bisa bersenang-senang."
Mereka
berpisah, kembali menjadi asing satu sama lain.
Suatu siang
dalam bulan cerah Yosef Legiman mendaki anak-anak tangga gedung pencakar langit
di jantung kota, menenteng tas berisi senjata. Hampir sebulan ini dia mengintai
seseorang. Ia bersembunyi di salah satu lantai gedung itu, mengawasi sekeliling
dengan teropong inframerah, kemudian membiarkan angin menerpa tubuhnya. Ia
merasakan arah dan embusan angin, membiarkan sayap-sayap angin menyapu
kulitnya, lalu menetapkan posisi membidik yang tepat. Kesalahan membaca angin
bisa berakibat fatal. Musuh bisa menyusuri jejak-jejaknya dari aroma tubuh atau
amis darah luka yang mengelana dalam partikel-partikel udara. Namun, hidup dan
mati adalah bait-bait pantun yang berdekatan, sampiran dan isi yang terikat
dalam sajak. Ia siap menghadapi keduanya.
Langit biru
muda terlihat sepi. Yosef mulai memasang peredam suara di mulut senjata.
Matahari bersinar lunak. Ia kembali mengintai sasarannya.
Tirai sebuah
jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar, sejajar dengan tempatnya
berada. Seseorang terlihat mondar-mandir di kejauhan, berbicara pada dua teman.
Titik merah dalam lensa Yosef ikut bergerak. Pupil matanya menajam. Ia
membayangkan dirinya seekor elang. Kini sasarannya berdiri membelakangi
jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik merah pada
lingkaran, menyambar.
Kaca jendela
pecah berkeping di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur.
Yosef sudah
melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon seluler dan melapor pada sang
komandan.
Ketika
pertama kali melihat potret perempuan muda itu, Yosef sempat tercenung lama:
pemimpin para teroris. Ia teringat perempuan yang dijumpainya di kereta sebulan
lalu. Pastilah dia, pikir Yosef. Ya, dunia ini memang kejam pada serdadu. Ia
telah membunuh perempuan itu, melenyapkan nyawa orang yang menyimpan sebagian
rahasia hidupnya.
Angin
tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Jarum-jarum dingin menembus tulangnya.
Tubuh Yosef menggigil bercampur nyeri. Ketika hendak beranjak dari tepi
jendela, ia melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa
perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto tersenyum,
mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir, Yosef menyambut
jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, melihat
sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya.
Misalnya
saja, pada cerpen `Kuda Terbang Maria Pinto` yang mengambil ruang dan waktu di mana
aspek psikologis dari seorang manusia prajurit dari satuan gugus depan harus
memahami tugas dan kewajibannya. Bedanya, “Kuda Terbang Maria Pinto” mengambil setting Yosef Legiman. Seorang tokoh laki-laki
Jawa-Khatolik yang berangkat ke Timor-Timur demi menunaikan tugas
keprajuritannya.
Para
penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, atau masuk
hutan bersatu dengan babi liar dan rusa. Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya,
sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar memenuhi takdirnya.
Dukun-dukun suku menasbihkan Maria sebagai panglima dengan senjata sihir tua
dan kuda terbang, karena dialah yang terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak
saat itu Maria Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung
musuh di tiap zona, menciutkan nyali orang-orang yang bersandar padahal-hal
nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan mimpi.
Cerita
tersebut pada dasarnya merekam bagaimana unsur-unsur kewajiban militer yang pada
banyak sisi telah mengebirikan manusia sebagai subjek-individu. Bahwa telah
terdapat kontrak yang tak terelakkan, keharusan yang ada adalah semata sebuah
kewajiban. Dan, hal tersebut, yang pada dasarnya adalah sebuah kebijakan atau
instruksi struktural, menjadi mutlak dilaksanakan. Tidak ada lagi
subjek-individu yang mahardika.
Tirai
sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar. Seseorang terlihat
mondar-mandir, berbicara pada dua teman. Titik merah dalam lensanya ikut bergerak.
Pupil matanya menajam. Ia membayangkan dirinya seekor elang. Kini sasarannya
berdiri membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik
merah pada lingkaran, menyambar. Kaca jendela pecah berkepingan di gedung
seberang. Seseorang jatuh tersungkur dilantai. Ia sudah melaksanakan tugas.
Kini dinyalakannya telepon selular dan melapor pada sang komandan.
Pada
tataran ini, manusia digambarkan menjadi semacam boneka yang hanya mampu
mengikuti aturan main yang bahkan tidak ia buat. Kesadaran yang tak menjadi.
Bahkan, begitu mengerikan logika-logika macam ini berkembang. Hannah Arendt,
filsuf berdarah Yahudi yang pernah mengalami masa kekejaman Nazi, menyebutnya
sebagai banality of evil. Sebuah keadaan
di mana kejahatan yang mereka lakukan sepenuhnya diyakini sebagai suatu bentuk kerja
yang tak dapat digubah lagi sifatnya. Disiplin adalah agama, dan ketaatan
adalah iman.Yakni, sebuah usaha untuk menerima perintah tanpa sedikit pun
mengenal kata penolakan. Kini, segalanya bergerak menjadi rutinitas yang
termaklumi. Tentu, kita tak akan berusaha berlama-lama di ruang ini. Sebab,
yang kita bicarakan adalah bagaimana Linda menjabarkannya kesakitan-kesakitan
jiwa yang terjebak dalam raga yang penuh dengan tekanan sistemik sehingga ia
tak mampu menyatakan keutuhannya. Lalu bagaimana dia menggambarkan Yosef Legiman
pada akhirnya? Apakah semata dosa itu tertanggung pada pundaknya?