Sajak Gadis Dan Majikan
Janganlah tuan seenaknya
memelukku.
Ke mana arahnya, sudah cukup aku
tahu.
Aku bukan ahli ilmu menduga,
tetapi jelas sudah kutahu
pelukan ini apa artinya…..
Siallah pendidikan yang aku
terima.
Diajar aku berhitung, mengetik,
bahasa asing,
kerapian, dan tatacara,
Tetapi lupa diajarkan :
bila dipeluk majikan dari
belakang,
lalu sikapku bagaimana !
Janganlah tuan seenaknya
memelukku.
Sedangkan pacarku tak berani
selangsung itu.
Apakah tujuan tuan, sudah cukup
aku tahu,
Ketika tuan siku teteku,
sudah kutahu apa artinya……
Mereka ajarkan aku membenci dosa
tetapi lupa mereka ajarkan
bagaimana mencari kerja.
Mereka ajarkan aku gaya hidup
yang peralatannya tidak berasal
dari lingkungan.
Diajarkan aku membutuhkan
peralatan yang dihasilkan majikan,
dan dikuasai para majikan.
Alat-alat rias, mesin pendingin,
vitamin sintetis, tonikum,
segala macam soda, dan ijazah
sekolah.
Pendidikan membuatku terikat
pada pasar mereka, pada modal
mereka.
Dan kini, setelah aku dewasa.
Kemana lagi aku ‘kan lari,
bila tidak ke dunia majikan ?
Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Aku bukan cendekiawan
tetapi aku cukup tahu
semua kerja di mejaku
akan ke sana arahnya.
Jangan tuan, jangan !
Jangan seenaknya memelukku.
Ah, Wah .
Uang yang tuan selipkan ke behaku
adalah ijazah pendidikanku
Ah, Ya.
Begitulah.
Dengan yakin tuan memelukku.
Perut tuan yang buncit
menekan perutku.
Mulut tuan yang buruk
mencium mulutku.
Sebagai suatu kewajaran
semuanya tuan lakukan.
Seluruh anggota masyarakat
membantu tuan.
Mereka pegang kedua kakiku.
Mereka tarik pahaku mengangkang.
Sementara tuan naik ke atas
tubuhku.
(W. S. Rendra)
Puisi
yang berjudul “Sajak Gadis dan Majikan” karya W.S. Rendra ini menceritakan
tentang seorang pembantu yang diperlakukan secara tidak wajar oleh majikannya
sendiri. Dia merasa risih karena majikannya memeluknya. Dia dipeluk bukan
karena dia mendapat hadiah dari majikannya, tetapi ada maksud lain dari pelukannya
tersebut. Dia merasa sial karena selama
dia belajar, dia hanya mendapatkan ilmu yang biasa saja tetapi dia tidak tahu
ilmu bagaimana caranya menolak bila dipeluk oleh majikannya dari belakang.
Majikannya
telah membuatnya semakin tidak nyaman. Dia sudah tahu maksud dari majikannya
telah menyiku tetenya. Dia sangat kecewa pada majikannya karena pacarnya pun
tidak pernah memperlakukannya sedemikan itu.
Orang-orang
mengajarkan dia bagaimana caranya untuk membenci dosa, tetapi dia tidak
diajarkan bagaimana caranya mencari pekerjaan yang layak untuknya. Dia
diajarkan gaya hidup yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan tapi hanya
peralatan yang dihasilkan oleh majikannya dan yang hanya dikuasai oleh
majikannya. Melihat dari diksinya “Alat-alat rias, mesin
pendingin, vitamin sintetis,
tonikum, segala macam soda, dan
ijazah sekolah ” telah nampak bahwa dia adalah seorang pegawai salon. Pendidikan menuntutnya
untuk terikat pada pasar mereka yaitu pada modal mereka.
Dia telah dewasa. Dia tidak tahu
apalagi pekerjaan yang pantas untuk dirinya. Maka dari itu salah satu pilihan
nya adalah menjadi seorang bawahan yang harus nurut pada majikannya.
Dia tidak ingin diperlakukan
seenaknya. Dia bukan seorang yang banyak tahu tetapi dia cukup tahu bahwa
pekerjaannya akan mengarah pada majikannya. Dia sudah menolak semua yang
diperbuat majikannya tetapi apa daya uang yang diselipkan ke behanya adalah hasil
dari pendidikannya. Begitulah dengan yakin majikannya memeluknya. Perut
majikannya yang buncit menekan perutnya. Mulut majikannya yang buruk telah
menciumnya. Semua seperti sah-sah saja majikan memeperlakukan bawahannya. Para anggota
masyarakat membantu kebusukan majikannya. Mereka menarik pahanya untuk
mengangkang dan majikannya turun naik di atas tubuhnya.
W.S. Rendra sangat berani
menampilkan diksi yang sangat vulgar. Dia merupakan sastrawan yang hebat. Saya
kagum akan karya-karya yang ditulis oleh beliau. Dia seakan-akan menyindir akan
realita kehidupan yang biasanya orang bawahan selalu diperlakukan secara tidak
adil oleh atasannya. Kekuasaan seolah-olah menjadi syarat akan semua keinginan
untuk selalu terwujud.
Kepada
Istriku
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul di dinding-dinding gua
pandanglah dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia
langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata
(Sapardi
Djoko Damono)
Puisi
yang berjudul “Kepada Istriku” karya Sapardi Djoko Damono ini menceritakan
tentang kesetiaan seorang suami tehadap istrinya. Dia meminta istrinya untuk
melihat apa yang masih ada. Pandanglah dia sebelum dia hilang dari pandangan
istrinya. Sebelum pohon-pohon di luar tinggal namanya saja tetapi keindahannya
telah hilang.
Pandanglah
dia dengan cinta walau semua telah sepi adanya. Ketika istrinya menanayakan
tentang kesetiaanya, langit pun menjawab dengan warna birunya dan bumi pun
menjawab dengan seberkas bunga yang hanya untuknya.
Sapardi
Djoko Damono merupakan sastrawan yang puitis. Dia sangat pandai merangkai kata
untuk dijadikan sebuah puisi yang indah. Pada puisi yang berjudul “Kepada
Istriku”ini dia berhasil menuangkan isi hatinya yaitu untuk setia pada seorang
istri. Dia ingin membuat istrinya percaya padanya walaupun semuanya terasa
telah berbeda.
Ibuku
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan
ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu.
Aku pun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat
yang belum kukenali. Ketika bangun, kurasakan basah
di celana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.
Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal
dan bodoh, jangan membantah guru dan menyanggah buku.
Ibu hanya mengecup jidatku: Buka hidupmu dengan buku.
Pada saatnya beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa
Selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru.
Sambil menahan airmata, ibu memeluk dan menciumku:
Pergilah. Terbanglah. Aku pun terbang bersayapkan buku
ke antah-berantah yang bagiku sendiri masih entah.
Ketika suatu saat aku pulang ke rumah ibu,
ibu sudah menjadi buku yang tersimpan manis di rak buku.
(Joko Pinurbo)
Puisi yang berjudul “Ibuku” karya
Joko Pinurbo ini menceritakan tentang kasih sayang seorang Ibu terhadap
anaknya. Puisi ini sangat menyentuh hati. Bagi siapa saja yang membaca atau
mendengar puisi ini pasti air matanya akan berkaca-kaca atau malah mungkin ada
yang menangis.
Diawali dengan ibu yang suka
membacakan buku untuk menghantar tidurnya. Dia terbuai mendengarkan ibunya
membaca buku sambil membayangkan dan bertanya apabila ada yang tidak
dimengerti. Dia pun terlelap dalam mimpi, ketika bangun dia merasa celananya
sudah basah. Ternyata dia ngompol dalam dekapan ibunya.
Lalu, bila dia pamit sekolah,
ibunya tidak pernah lupa bilang yaitu jangan nakal di sekolah dan jangan bodoh.
Dan jangan pernah membantah guru dan menyanggah buku. Ibu megecup jidatnya dan
berpesan untuk membuka hidup dengan buku.
Ketika umurnya telah dewasa dia harus meninggalkan ibunya sebab tak
selamanya dia hidup dengan belaian ibunya. Dia harus mencari jati dirinya.
Sambil menahan air mata, ibu memeluk dan menciumnya. Ibunya berpesan lagi yaitu
pergilah dan terbanglah. Dia pun pergi dan terbang dengan berbekal ilmu yang
tak tahu harus kemana dia berpijak.
Namun, saat dia sudah kembali pulang ke rumah ibunya, ibunya sudah meninggal
dalam keadaan damai di sisi Tuhan.
Joko Pinurbo merupakan sastrawan yang hebat. Dia sanggup
menghipnotis pembaca untuk bisa larut dalam lantunan syair-syair yang ditulisnya.
Puisi ini penuh dramatis. Saya sendiri sebagai pembaca sempat terhanyut suasana
yang ada dalam puisi tersebut. Sungguh. Dia adalah sastrawan yang menakjubkan.