Minggu, 18 Desember 2011

Analisis Novel Ziarah 1960 Karya Iwan Simatupang


Menggenggam Kebebasan yang Tak Pasti
 Karya: Hartana Adhi Permana


Karya sastra Iwan Simatupang tahun 1960, 'Ziarah', merupakan karya sastra yang menarik dan berbeda dibandingkan dengan karya sastra Indonesia lainnya. Ziarah banyak mendapat kritik dari para pakar sastra karena isi ceritanya melibatkan budaya Barat dan menganggap Iwan Simatupang sebagai pengarang borjuis. Dalam penerbitannya, Ziarah mengalami kesulitan hingga akhirnya Ziarah dapat diterbitkan pada tahun 1969 berkat surat rekomendasi yang dikirim oleh HB. Jassin dan Bangun Siagian ke penerbit.

Novel “Ziarah” sulit dimengerti oleh pembaca biasa, sehingga untuk memahami Ziarah, pembaca perlu menggunakan kesadaran filsafat tentang kehidupan dan kematian manusia, pemberontakan, dan kesadaran sosial. Berdasarkan analisis, dapat diketahui Ziarah melanggar kaidah novel tradisional. Pengarang melakukan pemberontakan dalam sastra melalui tokoh pelukis yang tidak mau dijadikan budak birokrasi. Fiktif hilang pada identitas tokoh pelukis tidak dikenal. Kerangka dan waktu pada peristiwa pernikahan hanya sebagai simbolik. ia penganut aliran kesusastraan Perancis.

Sebelumnya saya akan menceritakan sinopsis dari novel “Ziarah” karya Iwan Simatupang sebagai berikut.

Di sebuah negeri yang bernama Kotapraja, terdapat seorang pelukis terkenal di seluruh negeri yang dibuat terkapar tidak berdaya alias shock dan trauma setelah ditinggal mati istrinya yang sangat dia cintai, istri yang dia kawini dalam perkawinan secara tiba-tiba. Suatu ketika Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya lukisnya yang memikat semua orang dijagat bumi ini yang mengakibatkan ia memiliki banyak uang dan membuat dia bingung. Karena kebingungannya ini sang pelukis berniat bunuh diri dari lantai hotel dan ketika terjun dia menimpa seorang gadis cantik. Dan tanpa diduga pula sang pelukis langsung mengadakan hubungan jasmani dengan si gadis di atas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang histeris dan akhirnya seorang brigadir polisi membawa mereka ke kantor catatan sipil dan mengawinkan mereka.

Pelukis merasa benar-benar kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati, pelukis pun langsung pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya tetapi tak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena pelukis tak tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada istrinya. Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat penguburan yang sah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat menjadi walikota setelah walikota pertama gantung diri karena tak bisa memecahkan masalah mengundang pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing) yang ikut menghadiri penguburan Istri pelukis.

Sampai akhirnya pengusaha penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan keputusan walikota akhirnya mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai, sang pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru membuat dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian pelukis memandangi keadaan sekitar yang penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut kemudian membakar gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan. Ziarah tanpa melihat makam istrinya.

Setelah itu hidup pelukis semakin tak tentu arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya di tikungan entah tikungan mana dan malam harinya di tuangkan arak ke perutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras. Hingga akhirnya datang opseter perkuburan yang meminta dia mengapur tembok perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa dia dicari.

Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan opseter perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga Walikota akan memberhentikan opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat pemberhentian kerja itu, Walikota malah mati sendiri karena kata-kata opseter tentang proporsi. Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri karena opseter pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja pada selembar kertas pada pegawainya.

Setelah beberapa hari pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari dia bergegas pulang sebelum 5 jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian mendatanginya dan ternyata pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa selain untuk kepentingan opseter sendiri, opseter ingin pelukis menziarahi istrinya yang sudah tiada itu. Keesokan harinya opseter ditemukan gantung diri. Pekuburan geger, tetapi hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan opseter berlangsung cepat. Setelah penguburan, pelukis bertemu maha guru dari opseter yang kemudian menceritakan riwayat opseter.

Pada akhirnya pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat istrinya.

Alur dalam novel ini memang sedikit membingungkan pembaca, pengarang sengaja menggunakan alur “Flash Back”. Pembaca diajak untuk mengernyitkan dahi karena cerita di awal novel bukanlah awal cerita, melainkan awal cerita baru diceritakan di bagian berikut dalam novel. Alias pembaca diajak ke waktu sebelumnya oleh pengarang dengan sentuhan filsafat yang amat menarik dan berkesinambungan.

Ini jelas terlihat di awal novel saat disebutkan sang pelukis begitu kehilangan setelah ditinggal mati istrinya, tetapi di bagian belakang malah pembaca diajak untuk mengikuti kisah pertemuan pelukis dengan istri, kehidupan mereka yang mengundang banyak pesona, dan saat-saat terakhir istrinya mati. Bukan hanya pelukis dan istri saja, tetapi pengarang juga mengajak pembaca untuk mengikuti kisah balik kehidupan opseter sebelum menjadi opseter.

Tema pada novel “Ziarah” ini adalah memberitahukan tentang kehidupan dan realitas dunia yang tidak memiliki dalamnya sebuah kepastian, selalu terjadi sebuah peristiwa kematian. Sesungguhnya manusia dapat menggenggam kebebasan dalam kedua tangannya sendiri, dan membentuk kebebasan yang dimilikinya menurut kehendaknya sendiri. Manusia dihadapkan pada sebuah kematian, dihadapkan pada batas akhir hidup, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang harus dijalani, sebagaimana kelahirannya sendiri.

Novel Ziarah karya Iwan Simatupang ini merupakan tipe novel sastra karena pengarang banyak menggunakan ungkapan-ungkapan ataupun konotasi,dan majas-majas terutama majas personifikasi serta terdapat juga istilah-istilah berbau filsafat yang diolah menjadi kesatuan kalimat yang benar-benar membawa pembaca ke arah pemikiran-pemikiran logis dan membenamkan pembaca dalam novel yang memiliki keindahan ilmu filsafat dari pengarang sendiri.

Bahasa dalam novel ini sangat penuh dengan ungkapan-ungkapan dan majas-majas sehingga menimbulkan keindahan bahasa. Selain itu, banyak pula terdapat istilah-istilah filsafat di dalamnya sehingga semakin menambah kememikatan terhadap novel “Ziarah” ini sastra karena penuh dengan ungkapan dan majas-majas. Ungkapan-ungkapan ataupun konotasi:

-          Pada kedua matanya yang redup, zenith bertemu nadir. (Simatupang, 2001:26)

-          Hanya untuk mempersaksikan sepasang merpati yang sedang asyik di atas aspal panas itu. (Simatupang, 2001:73)

-           Yang mulia ini bersama staf ahli-ahlinya juga cuma dapat garuk garuk kepala saja.( Simatupang, 2001:35)

-           Fraksi-fraksi pro dan kontra sama-sama tarik urat lehernya. (Simatupang, 2001:35)

-          ..seolah udara kutub menghembus masuk ke dalam tubuhnya melalui rongga mulutnya.( Simatupang, 2001:46)

Majas Personifikasi

-          Rasa riang mendaki dalam dirinya.( Simatupang, 2001:2)
-           Dia, Opseter berpikiran setan…( Simatupang, 2001:9)
-           …praktek-praktek menjilat atasannya…( Simatupang, 2001:20)
-           …mereke terbang ke pintu gerbang.( Simatupang, 2001:28)
Majas Hiperbola
-          Tuan adalah nabi seni lukis masa datang. (Simatupang, 2001:69)

Filsafat karena terdapat beberapa istilah filsafat di dalamnya.

-           …kebenaran dari jenis subtil, yakni: yang memperhitungkan apa yang disebut nuans. Ya! nuanslah yang terlalu sedikit sekali diperkirakan dalam undang-undang dasar tiap-tiap Negara. Dan kini, demi nuans itu, dia harus membangkang. (Simatupang, 2001:17)

-          Yes, truly; for, look you, the sins of the father are to be laid upon the children; therefore, I promise ye, I fear you. I was always plain with you, and so now I speak my agitation of the matter; therefore be of good cheer, for truly I think you are damn’d. The is but one hope in it that can do you any good; and that is but a kind of bastard hope neither. (Simatupang, 2001:38)

Ceritanya sangat menarik, sentuhan filsafat pengarang benar-benar tersaji dalam novel ini. Tak kurang dalam setiap bagian novel terdapat kalimat-kalimat yang merupakan ilmu filsafat. Contoh kalimat itu seperti “Balas dendam memerlukan persiapan, pemikiran, memerlukan sistem filsafat tersendiri yang merentangkan isi, tujuan, faedah dan dalih balas dendam itu nanti kepada dirinya sendiri, kepada anak cucunya dan apabila masih ada juga umat manusia dan kemanusiaan sesudah kurun sejarah kini juga kepada umat manusia dan kemanusiaan yang akan datang…(20)”. Juga dalam kalimat “selanjutnya,filsafat murni hanya didapat pada suasana disebelah dalam dari tembok-tembok itu…(46).

Gaya humor pengarang juga samar-samar,pembaca harus benar-benar mengerti maksud pengarang dulu sebelum dibuat tertawa membayangkan bahwa itu sangat lucu. Ada beberapa bagian dalam novel yang bisa dikatakan sebagai penunjuk bahwa pengarang memiliki daya humor yang cukup tinggi. Seperti saat ketika opseter dan walikota saling melihat bola mata. Dan saling terkejut dan saling berteriak. Tentu saja mengundang tawa bagi pelukis yang menyaksikannya…(14-15). Juga saat menceritakan kisah ketenaran pelukis, yang justru membuat dia hampir bunuh diri sebelum akhirnya mengawini seorang gadis…(68-74)

Dalam menghadirkan sebuah masalah pengarang tidak sungkan untuk mendramatisir, tapi endingnya juga sangat mengaggumkan. Karena dengan penambahan cerita yang didramatisir itu justru semakin membuat semangat pembaca. Ini terlihat saat menceritakan kematian walikota setelah gemetar mendengar kata-kata proporsi dari opseter..(18-26) dan saat sang istri kehilangan giginya…(90-91) yang dibuat begitu terasa dihati pembaca.

Dalam analisis novel “Ziarah” yang saya buat ini dapat disimpulkan bahwa:

(1). Ziarah karya Iwan Simatupang mengandung pemikiran budaya Barat karena ia termasuk pengagum karya Camus dan Sartre (Prancis), gaya novelnya modern dan sederhana, ceritanya berdasarkan kehidupan biografinya. (2). Ziarah merupakan hal baru dalam karya sastra Indonesia karena sebagai karya roman yang menarik dan lucu sulit dimengerti oleh pembacanya. (3). Tema Ziarah mengenai kesadaran filosofi (membahas kehidupan dan kematian) dan kesadaran sosial. (4). Ziarah menyembunyikan makna dengan menggunakan simbol yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian

11 komentar:

  1. pengen baca lagi (pernah baca tahun 80an) memang pusing, dimana bisa saya dapatkan novel tsb dan harganya? tks.
    Syekhieran@gmail.com

    BalasHapus
  2. Saya sudah baca novelini sejak tahun 80an sampais ekarang entah berapa kaliulang. Setiap saya baca ulang saya menemukanhal baru, seperti membaca novel baru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Pak, sama saya juga selalu memndapatkan hal-hal yang baru...

      Hapus
  3. @unknown: Saya dapatkan di perpustakaan Unpad mas/mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas, klo gak ada yg asli, fotocopynya juga boleh, nanti biaya fc & ongkirnya saya ganti. syekhieran@gmail.com / HP.085821129123, d.a. PT.PLN (Persero) AP2B jl. Mistar Cokrokusumo km,39 Gardu Induk Cempaka Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Terima kasih.

      Hapus
    2. Saya juga pinjam ke perpustakaan Unpad di Fakultas Ilmu Budaya, belum punya buku aslinya..

      Hapus
  4. Novel Ziarah sdh 2 kali kubeli dan 2 kali dipinjam oleh entah siapa waktu itu, sekarang sulit ditemukan. Mungkin, ada di perpustakaan fakultas sastra yg di mana saja. Isinya, usaha serius dari pengarangnya memperkenalkan filsafat eksistensialisme yg dia peroleh dari karya2 Albert Camus, Sartre, dll ketika Iwan belajar filsafat di Perancis. Nyata benar penghayatan Iwan si manusia "tamu", manusia "hotel", dan "tdk pernah merasa "home" saat bersama isterinya si putri Perancis yg dikaruniai 2 anak, Ion dan Ino, yg kemudian ditinggal istri karena meninggal dan membuat Iwan sangat kehilangan. Penghayatannya pd filsafat eksistensialisme begitu kental diramu lagi dengan biografinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak, pas waktu saya menganalisisnya saya dapatkan buku ini di Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta..

      Hapus